Pagi setelah sarapan Steve memanggil Alana ke ruang kerja. Dia sangat bahagia karena akhirnya bisa bersatu dengan putrinya setelah bertahun-tahun menunggu. Sangat berat bagi Steve harus berpisah dengan putri tunggalnya itu bertahun-tahun silam.Terlebih ketika mantan istrinya mempersulit komunikasi dan pertemuannya dengan Alana. Dia selalu mencoba bersabar dan mencari jalan keluar, tetapi tidak pernah berhasil. Dia juga tidak tahu apa saja yang Claudia cekokkan pada pikiran gadis itu.Karena makin lama hubungan Steve dan putrinya menjadi makin renggang. Dan Steve ingin memperbaiki hal itu. Dia tidak tahu apa yang telah dilakukan oleh Claudia, yang pasti itu sangat buruk jika Alana sampai kabur dan menemui dirinya.“Papa memanggilku?” tanpa dia sadari Alana sudah berdiri di ambang pintu.“Ya, masuklah. Ada yang ingin Papa bicarakan.”Alana duduk di sofa panjang, seperti biasa. Dan Steve berdiri dari meja kerjanya lalu duduk di samping Alana.“Mamamu menghubungi Papa. Sebenarnya dari se
Sudah dua minggu Alana tinggal bersama keluarga Papanya. Dan itu berarti sudah selama itu pula sejak dia meninggalkan rumah. Selama itu dia berusaha menyesuaikan diri dan beradaptasi. Alana bahkan sudah hafal dengan rutinitas masing-masing orang di rumah itu.Semua orang turun untuk sarapan pada pukul tujuh pagi, kecuali Braden yang terkadang bangun siang. Pukul setengah delapan Adrian dan Steve akan berangkat bekerja, karena kantor buka pada pukul delapan. Kadang mereka berangkat bersama, kadang juga sendiri-sendiri.Mereka menjalankan sebuah perusahaan pengolahan kayu, usaha yang Steve rintis bersama salah seorang rekan kerjanya, Anthony, yang merupakan mendiang suami Sherly.Setelah sarapan, kalau kebetulan bangun pagi, Braden juga biasanya akan langsung pergi entah ke mana. Sedangkan Sherly biasanya akan memeriksa keadaan dapur dan seluruh rumah. Membuat catatan resep, catatan belanja dan keuangan.Dia akan memastikan semua keadaan di rumah berjalan dengan baik. Dia juga sering se
Alana berbalik dan mendapati mimpi buruknya menjelma di hadapannya. “A-aku ... ““Siapa yang mengizinkanmu masuk kemari?!” Braden menatapnya dengan penuh amarah.Alana tidak tahu mengapa pemuda itu selalu saja berjalan tanpa suara. Hal itu selalu saja membuatnya terkejut. Apalagi memang sebelumnya Alana dengan sengaja membiarkan pintu kamar tetap terbuka, sehingga Braden bisa masuk tanpa dia ketahui sebelumnya.“Dan siapa yang memperbolehkanmu menyentuh barang-barangku?” Braden menyambar bingkai foto yang masih dipegang oleh gadis itu. “Keluar dari kamarku!”“Maafkan aku.” Alana mencari-cari keranjang baju yang tadi dibawanya.“Ku bilang keluar! Keluar sekarang juga!” Kali ini Braden menarik lengan Alana dan mendorongnya keluar untuk kemudian membanting pintu menutup tepat di depan wajah gadis itu. Alana terbelalak ngeri dengan apa yang terjadi.Dia tidak menyangka Braden akan kembali secepat itu. Dan dia menyalahkan dirinya sendiri yang mempunyai rasa ingin tahu sehingga berada di k
Braden mengancingkan resleting jaketnya dan menuruni tangga menuju lantai satu. Liburan telah berakhir dan dia harus kembali pada rutinitasnya sebagai mahasiswa. Braden mlirik jam tangannya. Pukul setengah sembilan pagi, masih satu jam sebelum kuliah dimulai.“Braden, tolong bawa Lana sekalian, ya. Pak Darmo sedang antar Om Steve ke bandara, jadi Lana tidak ada yang antar.” Kata Sherly yang tiba-tiba muncul.Pak Darmo adalah sopir di rumah itu, yang juga merangkap sebagai tukang kebun.“Dia kan bisa berangkat sendiri, Ma. Atau Mama saja yang antar,” jawab Braden.“Ya kan sekalian. Jadwal kuliah kalian kan sama hari ini. Tempat tujuan kalian juga sama. Jadi kenapa harus berangkat sendiri-sendiri? Lagi pula Lana kan masih baru di kota ini. Dia masih belum familier dengan jalanan di sini.”“Tidak bisa. Aku harus jemput teman.”“Teman yang mana? Jangan bohong kamu. Kamu kan tidak pernah jemput teman,” kata Sherly dengan tatapan menyelidik.“Aku tidak bohong, Ma. Untuk apa aku bohong?” Bra
Seperti kesepakatan, ketika berada di kampus Alana tidak pernah repot-repot menyapa saat bertemu dengan Braden. Dia juga bersikap seolah tidak mengenal pemuda itu. Dan Braden juga melakukan hal yang sama pada Alana.Sialnya, ternyata mereka berdua sering bertemu meski Alana sudah berusaha untuk menghindari hal itu.“Hei, lihat. Itu Kak Braden. Dia salah satu mahasiswa paling populer di jurusan kita.” Renata, teman yang baru dua jam terakhir dikenalnya, mencoba memberi tahu.“Oh, ya? Kenapa? Apa karena dia pintar?” tanya Alana sambil mengamati Braden yang berada di ujung lorong.“Tentu saja karena dia sangat tampan.”“Tampan? Dia?” tanya Alana keheranan, sejenak dia mengamati pemuda itu.Apa kau bercanda? Batin Alana. Dilihat dari sudut mana pun dia hanya terlihat menyebalkan.“Tentu saja. Sayang sekali dia sangat sulit didekati. Jadi kau tidak perlu repot-repot mendekati yang satu itu. Dia hanya akan membuatmu patah hati.”Oh, tidak akan. Yang akan kulakukan justru sebaliknya.Dari ke
Hari sudah cukup siang saat Braden membuka mata. Dia tidak turun untuk sarapan, karena ingin tidur lebih lama. Sinar matahari menerobos sela-sela tirai yang tidak tertutup rapat, membuatnya mengernyitkan dahi saat seberkas sinar jatuh ke matanya yang terpejam.Braden selalu menghabiskan pagi akhir pekan dengan tidur, karena semalaman begadang atau pergi nongkrong bersama teman-temannya. Dia berguling miring dan mengerjapkan mata. Menggeliat untuk melemaskan otot lalu menguap.Setelah mandi singkat baru dia turun ke bawah mencari sesuatu yang bisa dimakan. Di dalam lemari penyimpanan makanan Braden mengambil sepotong roti bakar yang kini sudah dingin.Lalu sepotong ayam goreng yang dimakannya sambil berjalan ke arah kulkas untuk menuang segelas susu putih rendah kalori dari kotak karton. Braden mendapati rumah kosong dan sepi, tidak seperti biasanya.Ke mana orang-orang?Setelah menelan beberapa teguk susu dingin, Braden mulai mendapatkan kesadaran penuh. Dan samar-samar dia mendengar
Braden mencium aroma harum saat memasuki rumah. Aroma itu bahkan samar-samar sudah tercium dari halaman depan saat dia baru datang. Dan di dapur Braden mendapati ibunya dan Alana sedang berkutat dengan adonan krim. Mereka berdua mengenakan celemek berenda bermotif bunga-bunga yang feminim.Di atas kabinet terdapat berbagai bahan dan cetakan kue, membuat dapur terlihat berantakan. Sudah sangat lama Braden tidak melihat ibunya memanggang kue. Ada seloyang brownis yang baru saja dikeluarkan dari cetakan dan masih menguarkan aroma wangi mentega.Mungkin itu salah satu alasan ibunya sangat mendambakan anak perempuan. Ada seseorang yang bisa diajaknya memanggang kue dan berbagi resep. Bukannya anak lelaki yang gemar berbuat onar dan hanya akan membuatnya sakit kepala.“Braden, kamu sudah pulang?” Sherly melirik sekilas putranya dan kembali meneruskan pekerjaannya.“Heemm ... “ gumam Braden sebagai jawaban.Braden bertemu pandang dengan Alana dan gadis itu memalingkan wajah, berpura-pura sib
“Jadi, itu alasanmu tidak memberi tahu kami selama ini? Kau tidak ingin semua orang tahu bahwa kau memiliki seorang saudara tiri?” tanya Jonathan.Braden menatap ketiga orang temannya yang berbaring telentang di tempat tidur seperti paus terdampar setelah makan seperti orang kesurupan.“Padahal kalau aku punya adik seperti Alana, aku akan memamerkannya pada semua orang. Aku akan membuat semua orang iri,” timpal Fero.“Kalau kau tidak mau, biar Alana jadi adikku saja. Aku sama sekali tidak keberatan memiliki adik seperti dia.” David menanggapi sambil menyalakan televisi.“Kalian tidak tahu saja. Dia itu menyebalkan. Dan dia juga manipulatif. Dia menggunakan wajah polos dan lugunya untuk memikat semua orang. Lihat saja diri kalian. Baru juga bertemu, kalian sudah menyukainya.” Ucap Braden uring-uringan.“Itu karena dia begitu manis dan menyenangkan. Ayolah, buka matamu kawan. Kau terlalu membenci ayah tirimu, sehingga kau juga membenci Alana.” Kata David sambil memindah-mindah saluran t