“Ah! Panas!”
Teriakan gadis malang yang malam itu tengah memenuhi permintaan ayahnya untuk mengantarkan kue ke kediaman Wijaya. Semua orang langsung terlihat panik, tak terkecuali bagi pelayan yang tidak sengaja menumpahkan teh panas di tubuhnya, pelayan tersebut buru-buru minta maaf dan mengelap teh panas yang mengguyur tubuh Vida.
"Naya, kamu ini apa-apaan? Lihat, bajunya jadi basah, bagaimana jika tubuhnya juga melepuh?" hardik sang nyonya rumah, wajahnya juga terlihat cemas.
"Maaf Nyonya, maaf, saya tidak sengaja. Mbak, maafkan saya, saya tidak sengaja, izinkan saya melihat apakah kamu terluka? Biar saya bisa segera mengobati."
Vida yang masih tampak syok dan kepanasan membiarkan saja ketika pelayan yang bernama Naya membuka kancing kemeja kotak-kotak yang ia kenakan.
"Untung tidak melepuh, tapi ini rasanya pasti sangat panas, sebaiknya Mbak Vida melepas baju, agar saya dapat memeriksa mana saja yang terluka." Naya berucap panik ketika melihat kulit pundak dan dada Vida memerah.
"Tidak perlu, lebih baik saya pulang saja, baju saya sudah terlanjur basah, biar saya sekalian hujan-hujanan," tolak Vida kembali menutup tubuh bagian atas yang terbuka.
Bibir nyonya rumah terlihat mengerucut, memperlihatkan ketidaksetujuan, dan kembali berucap dengan sedikit memaksa juga dibumbui rasa khawatir. "Jangan menolak, aku sungguh sangat tersinggung. Bagaimana aku bisa membiarkanmu pulang dengan keadaan kacau? Biarkan pelayan mengeringkan bajumu, dan mengoleskan salep pendingin di tubuhmu."
Mendengar ucapan perempuan sepuh yang menatap dengan kilat mata dalam, Vida pun terdiam dan mengangguk pelan.
Kilat mata jernih nyonya tua beralih pada Naya, dan berucap. "Naya, antar Vida ke kamar sisi kanan lantai dua, agar dia bisa membersihkan diri disana."
Naya langsung mendongak dengan kelopak mata melebar, 'kamar sisi kanan lantai dua? Bukankah itu kamar tuan muda? Apakah nyonya besar ingin menggiring gadis ini ke ranjang cucunya?'
Meski sedikit bingung, tapi Naya segera mengantar Vida pada kamar yang disebut nyonya rumah.
Melalui pantulan cermin kamar mandi yang sangat luas dan juga mewah, Vida menatap pundak dan dada sebelah kanan yang tampak merah dan memprihatinkan.
Dia berdecak kesal beberapa kali, merutuki nasib sialnya hari ini. Seharian belum istirahat, hujan malah turun dengan begitu deras hingga dia tidak bisa segera pulang, dan sekarang dia malah terguyur teh panas, menciptakan rona suram di wajah cantik, yang biasanya selalu menampakan binar keceriaan.
"Tau begini, aku pasti sudah menolak mengantar kue ke kediaman Wijaya," gerutu Vida kesal.
Vida mulai menarik bathrobe warna putih yang sangat kebesaran di tubuh rampingnya, guna menutupi pundak dan dada yang memerah. Ketika Vida berjalan keluar dari dalam kamar mandi, wanita itu terkejut kala melihat sang pelayan yang menunggunya dengan salep di tangannya.
Seusai pelayan itu membantunya mengoleskan salep di tempat Vida terkena air panas dan pergi, kilat mata Vida mulai mengedar memindai kamar yang ditata dengan sangat simpel dan juga sederhana, namun Vida tidak menaruh kecurigaan sama sekali jika pemilik kamar tersebut adalah seorang laki-laki.
Tiba-tiba, Vida merasakan kering di tenggorokannya, dia sangat haus. Hingga saat melihat gelas kaca yang teronggok bisu di atas nakas, dia tak bisa menahan diri untuk meneguk cairan bening dari dalam gelas sampai tandas.
Bibirnya melengkung puas karena dahaganya terobati. Namun, entah mengapa, wanita itu justru merasakan kelopak matanya memberat, sehingga Vida menjatuhkan dirinya ke kasur empuk di belakangnya.
‘Mengapa … aku mengantuk sekali?’ batinnya, tepat beberapa detik sebelum dirinya terlelap.
***
“Selamat ulang tahun, Davin!”
Confetti meledak begitu saja ketika seorang laki-laki berpostur tinggi yang memiliki paras tampan di garis wajahnya yang tegas membuka pintu. Ucapan selamat ulang tahun bersahut-sahutan menggema dari mulut para asisten, tukang kebun, dan juga nenek Wijaya. Menciptakan lengkungan senyum pada bibir tipis yang sangat manis.
Begitu lucu, di usianya ke-27 tahun, dia masih mendapatkan kejutan ala anak TK. Tapi demi menyenangkan hati sang nenek dia pura-pura bahagia, karena hanya nenek Rumi satu-satunya keluarga yang dimiliki.
Usai melakukan ritual acara ulang tahun sederhana yang begitu menggelikan, Nenek Rumi bergegas menggiring cucunya menuju ruang makan. Berbagai macam hidangan yang sudah dipersiapkan, terlihat memenuhi meja makan dan masih tampak hangat.
Pria tampan tersebut segera melepas jas dan juga dasi yang ia kenakan agar lebih santai. Tangannya juga menyingsingkan lengan kemeja putih yang ia kenakan, kemudian meraih piring dan mulai bersantap malam.
"Davin, nenek sudah menyiapkan hadiah untukmu di kamar, aku harap kamu tidak terlalu lelah malam ini, karena besok akan menjadi hari yang sibuk untukmu," ucap sang nenek seusai makan malam dilakukan.
Davin terlihat menaikan alis, ada getaran aneh yang tersirat dari ucapan sang nenek, ia juga bisa menangkap senyum Naya yang begitu rumit, namun ia terlalu lelah untuk berpikir lebih, jadi dia menjawab. "Terima kasih, Nek. Aku akan beristirahat. Selamat malam."
Dari sisi ruangan, terlihat pintu kokoh yang terbuka, menampakkan sang pemilik kamar tengah berjalan santai sembari melepas kancing kemeja putih yang terlihat mahal dan juga rapi. Davin segera melempar kemeja putihnya di sofa, dan berbalik menuju ke ranjang membiarkan otot liat yang tidak berbenang miliknya terbuka. Tapi matanya mulai memicing mendapati ada seseorang yang menguasai ranjangnya.
Perlahan ia mendekat, menyaksikan rambut hitam panjang tampak terurai berantakan dari wanita yang masih tak sadarkan diri tersebut. Tubuhnya yang mungil dan sangat ramping, membuat garis leher bathrobe kebesaran yang ia kenakan tak mampu menutupi pundak dan juga dada bagian atas, dimana ada rona kemerahan di sela kulit putih nan mulus. Dan tentu saja Davin juga tahu, jika bathrobe yang perempuan itu kenakan adalah miliknya.
Tubuh Davin yang sedari tadi tidak nyaman karena rasa panas yang tiba-tiba hadir setelah makan malam, kini malah semakin menjadi, namun pikirannya masih waras dan dilingkupi rasa penasaran pada sosok yang terbaring di ranjang.
'Jadi kamu, hadiah ulang tahunku?'
"Aku harap Davin dan Vida dapat membuat cicit yang lucu dan menggemaskan untukku," ucap nenek Rumi tanpa rasa bersalah.Di sofa ruang tamu, perempuan sepuh yang rambutnya mulai memutih tampak duduk dengan tenang. Tapi tiba-tiba ujung bibirnya terangkat, menunjukkan senyum penuh arti yang begitu sumringah. Hal tersebut mengundang pelayan yang bernama Naya juga ikut tersenyum ketika melihatnya.Naya yang merupakan orang kepercayaan nyonya tua, tak bisa menyembunyikan pertanyaan yang hinggap di benaknya. "Nyonya besar Rumi, apakah tidak terburu-buru membawa gadis ke kamar mas Davin?"Nenek Rumi segera menyunggingkan tawa renyah. "Tentu saja tidak, Nay. Tidak ada kesempatan yang lebih berharga, dari pada saat ini. Aku yakin, ini akan menjadi hadiah ulang tahun terindah untuk Davin. Aku harap setelah ini, Davin bisa melupakan gadis yang selalu menggantungkan cintanya."Naya kembali tersenyum, dia bisa memaklumi kenekatan sang majikan, hingga terpaksa membuat trik yang sangat memalukan. Usi
"Davindra Wijaya, bersediakah kamu menjadi suami Lavida Veronika saat senang ataupun sedih, sehat ataupun sakit, kaya ataupun miskin, selama hidupmu." Sangat berat bagi Davin untuk mengeluarkan suara, tapi pada akhirnya dia menjawab, "Ya, saya bersedia." "Lavida Veronika, bersediakah kamu menjadi istri Davindra Wijaya, saat senang ataupun sedih, sehat ataupun sakit, kaya ataupun miskin, selama hidupmu." Sama halnya dengan Davin, tenggorokan Vida serasa tercekat ketika bersusah payah mengeluarkan kata, "Ya, saya bersedia." "Selamat, kalian adalah pasangan suami istri yang sah sekarang." Tepuk tangan meriah terdengar riuh dari para tamu undangan setelah Davin dan Vida mengikat janji suci pernikahan. Cincin pernikahan juga melingkar manis di jari mereka, mengundang senyum sekaligus kelegaan pada bibir nenek Rumi dan juga Danu. Dimana ada embun kebahagiaan yang berselimut keharuan di mata mereka. Tapi tidak dengan kedua mempelai yang tengah berdiri di pelaminan, mendung justru hingg
"Kekanak-kanakan." Davin bergumam lirih ketika tidak menemukan Vida di sampingnya saat terbangun di pagi hari. Bibirnya mencibir geli kala melihat bantal yang bertumpuk di tengah ranjang, dimana bantal tersebut selalu menjadi benteng pertahanan bagi Vida yang tidak ingin bersentuhan dengannya selama dua malam ini. Bukankah itu kekanak-kanakan? Suara bising pengering rambut segera menyambut ketika Davin memasuki kamar mandi, ia juga langsung mendapati Vida yang tengah berdiri di depan cermin, dimana benda itu kini memantulkan bayangan Vida dengan arah pandang yang tak dapat ditebak. Jelas istrinya sedang melamun, hingga sama sekali tak menyadari keberadaannya. Bahkan perempuan itu sempat bergumam lirih yang mengundang Davin menerbitkan senyum sengit di bibirnya. "Ah … jalani saja Vida, demi ayahmu, Ini hanya perlu waktu satu bulan. Kamu pasti bisa, yakin saja bahwa kamu tidak hamil anak pria sialan itu." Davin menegakkan wajahnya dengan angkuh, sengaja mengeluarkan suara serak deng
"Vid, motor lo kemana sih? Sekarang gak pernah bawa motor kalau ke kampus?" tanya Erick sembari membelah durian yang berukuran sebesar kepala manusia."Dijual," jawab Vida singkat tanpa menoleh pada Erick, lantas membuka mulut untuk memakan buah yang baunya sangat menyengat itu."Serius lo? Apa toko roti bokap lo, bangkrut? Hingga sampai jual motor segala." Lagi Erick bertanya, sembari mengunyah duriannya."Mau tau aja, apa mau tau banget?" Vida malah balik bertanya dengan mimik wajah yang menyebalkan, mengundang Erick untuk menipiskan bibir karena kesal."Bisa tidak, tanpa memberi gue wajah menyebalkan itu?"Vida hanya terkekeh melihat wajah jengkel Erick, begitu juga dengan Rion yang mulai ikut berkelakar."Bagaimana mau bawa motor? Orang pulang pergi dijemput pakai mobil mewah sekarang."Mata Erick melebar mengingat kebenaran yang diucapkan Rion, jiwa penasarannya meronta."Bener juga kata Rion. Siapa sih yang antar jemput lo setiap hari, Vid? Jangan-jangan lo cuma pura-pura kismin
"Kak, apa yang kamu lakukan? Lepaskan aku!" pekik Vida mencoba mendorong Davin agar menjauh dari tubuhnya.Sayangnya Davin tidak mengindahkan pekikan Vida, dia malah membungkam mulut Vida dengan ciuman bertubi-tubi dan memagutnya dengan rakus, hingga hanya ada suara lenguhan tertahan yang keluar dari mulut Vida yang terbungkam.Vida berusaha keras menolak, dengan terus mendorong kuat tubuh tegap suaminya. Tapi sungguh menyedihkan ketika tenaga Vida tidak cukup kuat untuk melawan Davin, kini kedua tangan Vida malah dikunci di atas kepala hingga dia tak bisa berkutik. Bahkan tangan Davin semakin berani menjelajahi setiap jengkal tubuh Vida yang ramping.Vida benar-benar merasa sangat terhina, dia merasa sedang dilecehkan suaminya sendiri, di belakang orang lain yang jelas bisa melihat dan mendengar apa yang terjadi di jok mobil belakang.Tidak tahan lagi, Vida langsung menggigit bibir Davin, hingga Davin tersentak dan melepaskan pagutannya."B4jingan! Apa yang sedang kamu lakukan padaku
"Apa masih ada berkas yang harus ditandatangani?" tanya Davin sembari mengulurkan berkas yang sudah dia sahkan pada sekretarisnya."Tidak, Pak. Ini yang terakhir. Tapi nanti pukul 18.00 ada pertemuan dengan perwakilan dari perusahaan LT," terang Iko datar."Batalkan saja. Suasana hati istriku sedang buruk, bukankah aku harus menghiburnya sekarang?" tanya Davin yang dibumbui sedikit humor.Iko terkekeh.Memang tidak ada yang Davin tutup-tutupi dari sekretarisnya, bisa dibilang Iko adalah orang yang sangat Davin percaya. Hingga masalah percintaan pun kadang dia curhat dengan Iko, membuat sekretarisnya itu tak segan memberi saran meski tak diminta."Tapi, Pak. Apa tidak sebaiknya Anda memberi tahu Fani perihal nyonya? Takutnya dia akan salah paham jika mendengar dari orang lain."Jari Davin yang sedari tadi memutar-mutar bolpoin seketika berhenti. Hidung mbangirnya mengela napas panjang, dan mengembuskan perlahan, jelas ada beban yang sengaja dia pendam. Kemudian berucap lirih."Aku tida
Senyum seringai yang sangat menyebalkan tersungging dari bibir Davin kala meletakan sepiring nasi goreng pada meja makan."Aku tidak biasa melayani seseorang, tapi aku merendahkan tanganku yang agung untuk membuat nasi goreng, kamu tidak ingin memberi penghargaan?" ucap Davin datar meski masih terkesan sombong.Vida tidak bergeming, hatinya menolak menerima apapun pemberian Davin. Dia malah berbalik hendak meninggalkannya. Tapi langsung tersentak ketika Davin menariknya dengan cepat."Lepaskan aku!" Vida mencoba melepaskan diri dari cengkeraman Davin."Jangan menguji kesabaran ku, Vida. Kemasi barangmu dan ayo kita pulang," ucap Davin dingin dengan nada menekan."Jangan memaksaku. Aku tidak akan bergerak, meski kamu mengancam ingin menghancurkan toko ayahku. Aku tahu kamu hanya menggertak. Aku ingin bercerai." Nada yang dilontarkan Vida tak kalah dingin dengan ucapan Davin.Tapi alis Vida segera mengeryit kala melihat senyum penuh arti yang terbit di sudut bibir Davin.Davin melepaska
Davin dapat melihat dengan jelas perubahan di raut wajah Vida. Namun dia tidak peduli, pada kenyataannya dia memang mencintai Fani dan berniat menikahinya. Dia tidak masalah jika Vida mengetahui itu, lagipula Vida juga sudah tahu jika dia tidak menginginkannya, mereka hanya menjalani pernikahan sampai kontrak yang ditentukan selesai.Sementara Vida sendiri masih memikirkan ucapan laki-laki di depannya. Ingin bersikap acuh, tapi ternyata status istri yang dia sandang cukup mempengaruhi emosinya, istri mana yang tidak geram ketika mengetahui ada perempuan lain di kehidupan suaminya?Vida berdecak kesal dalam hati membayangkan jika itu benar, berarti Davin sama sekali tak layak untuk dipertahankan, Vida hanya berharap semoga dia tidak hamil agar segera terbebas dari Davin.Lamunan Vida berangsur-angsur menghilang ketika mendengar laki-laki yang tadinya menyapa kembali berkelakar, bahkan ucapannya kini berpindah menyerang Vida yang sebenarnya tidak ingin terlibat dengan siapapun di tempat