Share

Bab 5. Si Protektif Rasya

Bekerja di PDP seperti mendapat hadiah utama sebuah undian bagi Raika. Selain karena ini pekerjaan pertamanya, izin untuk bekerja menjadi rintangan terberat gadis itu. Rintangan untuk mendapat izin tersebut bukan berasal dari ayahnya, melainkan dari ketiga kakaknya.

Bukan hal mudah untuk membujuk ketiga kakaknya, apalagi kakak sulung Raika sangat tidak setuju Raika bekerja. Menurutnya, jika Raika bekerja maka kakaknya tidak akan bisa menjaga Raika. Yang tentu saja membuat gadis itu mual dan menganggap sikap Rasya berlebihan.

“Adek tuh nggak perlu kerja, udah kita aja yang kerja. Adek nanti tinggal minta aja kalau mau apa-apa.” Itu adalah ucapan Rasya saat pertama kali Raika mengutarakan keinginannya untuk bekerja.

Rasya menasihatinya ini itu hingga membuat Raika pusing. Berbagai alasan diutarakan Rasya mengenai resiko Raika jika bekerja nanti. Entah itu tentang pekerjaannya, jarak dari rumah ke kantor yang jauh, serta dunia kerja yang bisa saja kejam untuk Raika. Menurut Raika, kakaknya lebih banyak menakut-nakutinya dibanding menyemangatinya.

“Kak, tenang aja. Aku bisa jaga diri, kok. Aku bisa ngatasin masalah yang kakak khawatirin itu,” bujuk Raika untuk kesekian kalinya.

Kedua kakaknya yang lain sudah memberinya izin, namun Rasya selalu menjadi yang tersulit. Bagai menghadapi raja terakhir dalam video game.

“Oke, kakak kasih Adek izin untuk kerja. Tapi, Adek harus mau diantar-jemput gantian sama kita. Nggak ada penolakan.”

Tanpa berpikir panjang Raika menganggukan kepalanya tanda setuju. Tidak masalah. Bagi Raika mendapatkan izin bekerja lebih penting saat itu. Pekerjaan pertama yang selalu dinantikannya.

***

Raika menghela napas ketika memasuki ruangannya. Di sana sudah ada Hani yang sedang sarapan sambil menonton drama dari komputernya. Raika menyapanya dan berderap menuju kursi kerjanya yang berseberangan dengan Hani.

“Masih pagi, Mbak, tuh muka udah kusut kayak benang aja,” komentar Hani saat gadis itu duduk di kursi kerjanya. Raut kesal Raika sepertinya masih tersisa di wajahnya hingga Hani pun menyadari hal itu.

Raika tersenyum tidak enak dan menggumamkan kata maaf pada Hani.

“Kesel sama kakak-kakak, Teh.” Raika akhirnya membuka suara terkait wajah kusutnya. “Tadi pagi pas aku tidur, aku ngerasa pipi aku agak basah gitu. Eh, pas buka mata tahunya Kak Raihan. Mukanya deket banget sama pipi aku. Otomatislah aku teriak. Dan mereka malah bilang kalau aku lebay cuma karena mereka bangunin. Ada gila-gilanya emang mereka.” Gadis itu menarik garis miring menggunakan telunjuk kanannya di dahi.

Bukannya bersimpati atau kasihan, Hani justru tertawa. Sejak mengetahui bahwa ketiga kakak Raika cukup protektif pada Raika, wanita asal Jakarta itu merasa memiliki kebahagiaan sendiri. Menurutnya ketiga kakak Raika ini unik dan tidak biasa. Setiap cerita yang Raika sampaikan tentang ketiga kakaknya membuat Hani tidak pernah bosan mendengarnya.

“Si Teteh malah ketawa,” protes Raika dengan bibir mengecimus.

“Abisnya itu kelakuan kakak-kakak lo selalu out of the box, sih,” sahut Hani sesaat setelah tawanya mereda. “Mereka enggak risih apa, ya, nyium-nyium lo begitu?”

Raika kembali mengusap pipinya dengan rasa jijik menggelikan. “Tau deh, Teh, aku aja heran. Makanya tadi aku marah sama mereka karena-“ Raika menjeda kalimatnya karena rasa syok yang masih tersisa. “Ya ampuunn, harusnya bukan aku gitu loh yang mereka cium. Tapi pacarnya!” ujar Raika sedikit frustrasi.

Hani menopangkan kedua tangannya di dagu seraya memikirkan pertanyaan yang ingin ia ajukan pada Raika. “Kalau inget lagi soal janji mereka, apa mereka nggak ada niatan buat dilanggar aja gitu?

“Kayaknya nggak sih, Teh,” jawab Raika yakin. “Sampe sekarang aja aku nggak pernah liat mereka bawa cewek ke rumah atau sekedar denger mereka teleponan sama cewek, gitu. Eh, Kak Rama pernah beberapa kali, sih. Tapi itu juga nggak pernah ada yang awet,” ralatnya.

“Aneh juga sih, ya. Mereka ampe segitunya supaya lo bisa nikah duluan. Atau kalau nggak, kenapa nggak mereka aja yang nyariin cowok buat lo. Kan seenggaknya mereka bisa lebih menilai.”

“Ayah pernah nanyain gitu ke mereka, tapi Kak Rasya bilang dia percaya sama aku dan nggak mau bikin aku ngerasa terpaksa untuk nerima pilihan mereka,” tutur Raika dengan wajah tak habis pikir. “Ya, cuma itu dia, Teh, pengennya mereka kan gitu. Tapi tiap aku deket sama cowok mana pun nggak ada yang mereka suka,” keluh Raika.

***

“Kalau gitu coba lo-“

Tok..tok..tok..

Obrolan keduanya terputus karena seseorang mengetuk pintu.

“Pagi,” sapa suara berat tersebut, Aidan.

Raika segera menundukkan kepalanya. Gadis itu masih malu untuk bertemu Aidan karena kejadian kemarin. Apalagi hari ini Aidan terlihat begitu tampan dengan setelan kemeja pendek hitam dan celana bahan berwarna navy.

“Eh, pagi, Dan,” sahut Hani semangat.

“Pa-pagi, Pak,” sahut Raika berkebalikan dari Hani. Suara Raika lebih terdengar seperti bisikan.

Aidan mengulum senyumannya melihat reaksi Raika. Namun, lelaki itu kembali menatap Hani.

“Minggu depan saya mau bahas masalah keuangan sama kalian. Sekaligus cari tahu apa ada customer yang bermasalah dengan pembayaran,” ujar Aidan.

“Oh, kalau masalah pembayaran customer Raika yang ngurusin.” Mendengar Hani berbicara seperti itu Raika menegakan tubuhnya dan spontan menatap Aidan.

“Oh, gitu.” Aidan kini menatap ke arah Raika. “Kalau gitu kamu siapkan data-data customernya, ya. Nanti kita diskusikan.”

“Ba-baik, Pak,” sahut Raika gugup.

“Oke, kalau gitu. Selamat bekerja.

Aidan pun pergi dari ruangan keduanya. Raika menghela napas dan bahunya terkulai lemah.

“Lo kenapa sih? Barusan ada Aidan sikap lo kayak anak SD yang mau dimarahin gurunya aja,” ucap Hani menyadari sikap Raika.

“Aku jadi keinget lagi kejadian kemarin, Teh. Jadi, nggak tahu kenapa otomatis aja gitu langsung nunduk,” jelas Raika.

“Ya ampun, masih diinget aja. Aidannya aja biasa aja tadi. Udah ilangin pikiran itu, Ka. Gue yakin kok, Aidan juga udah lupa.”

“Aku juga mikirnya gitu, sih, Teh.”

“Iya, dong. Jangan sampe kejadian itu jadi ganggu kerjaan lo, Ka,” ujar Hani setengah menasehati.

Raika mengangguk setuju. Benar kata Hani, kejadian kemarin tidak boleh sampai mengganggu pekerjaannya. Pekerjaannya lebih penting dan ia harus bisa profesional dalam bekerja.

“Eh, Ka,” panggil Hani dengan senyum mencurigakan.

“Kenapa, Teh?”

“Ngomong soal Aidan, hari ini dia cakep banget, ya. Kulit putih dia cocok banget pake kemeja item gitu,” seloroh Hani membuat Raika membulatkan matanya.

“Ya Allah, Teh Hani! Inget anak sama suami di rumah!

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status