Bekerja di PDP seperti mendapat hadiah utama sebuah undian bagi Raika. Selain karena ini pekerjaan pertamanya, izin untuk bekerja menjadi rintangan terberat gadis itu. Rintangan untuk mendapat izin tersebut bukan berasal dari ayahnya, melainkan dari ketiga kakaknya.
Bukan hal mudah untuk membujuk ketiga kakaknya, apalagi kakak sulung Raika sangat tidak setuju Raika bekerja. Menurutnya, jika Raika bekerja maka kakaknya tidak akan bisa menjaga Raika. Yang tentu saja membuat gadis itu mual dan menganggap sikap Rasya berlebihan.
“Adek tuh nggak perlu kerja, udah kita aja yang kerja. Adek nanti tinggal minta aja kalau mau apa-apa.” Itu adalah ucapan Rasya saat pertama kali Raika mengutarakan keinginannya untuk bekerja.
Rasya menasihatinya ini itu hingga membuat Raika pusing. Berbagai alasan diutarakan Rasya mengenai resiko Raika jika bekerja nanti. Entah itu tentang pekerjaannya, jarak dari rumah ke kantor yang jauh, serta dunia kerja yang bisa saja kejam untuk Raika. Menurut Raika, kakaknya lebih banyak menakut-nakutinya dibanding menyemangatinya.
“Kak, tenang aja. Aku bisa jaga diri, kok. Aku bisa ngatasin masalah yang kakak khawatirin itu,” bujuk Raika untuk kesekian kalinya.
Kedua kakaknya yang lain sudah memberinya izin, namun Rasya selalu menjadi yang tersulit. Bagai menghadapi raja terakhir dalam video game.
“Oke, kakak kasih Adek izin untuk kerja. Tapi, Adek harus mau diantar-jemput gantian sama kita. Nggak ada penolakan.”
Tanpa berpikir panjang Raika menganggukan kepalanya tanda setuju. Tidak masalah. Bagi Raika mendapatkan izin bekerja lebih penting saat itu. Pekerjaan pertama yang selalu dinantikannya.
***
Raika menghela napas ketika memasuki ruangannya. Di sana sudah ada Hani yang sedang sarapan sambil menonton drama dari komputernya. Raika menyapanya dan berderap menuju kursi kerjanya yang berseberangan dengan Hani.
“Masih pagi, Mbak, tuh muka udah kusut kayak benang aja,” komentar Hani saat gadis itu duduk di kursi kerjanya. Raut kesal Raika sepertinya masih tersisa di wajahnya hingga Hani pun menyadari hal itu.
Raika tersenyum tidak enak dan menggumamkan kata maaf pada Hani.
“Kesel sama kakak-kakak, Teh.” Raika akhirnya membuka suara terkait wajah kusutnya. “Tadi pagi pas aku tidur, aku ngerasa pipi aku agak basah gitu. Eh, pas buka mata tahunya Kak Raihan. Mukanya deket banget sama pipi aku. Otomatislah aku teriak. Dan mereka malah bilang kalau aku lebay cuma karena mereka bangunin. Ada gila-gilanya emang mereka.” Gadis itu menarik garis miring menggunakan telunjuk kanannya di dahi.
Bukannya bersimpati atau kasihan, Hani justru tertawa. Sejak mengetahui bahwa ketiga kakak Raika cukup protektif pada Raika, wanita asal Jakarta itu merasa memiliki kebahagiaan sendiri. Menurutnya ketiga kakak Raika ini unik dan tidak biasa. Setiap cerita yang Raika sampaikan tentang ketiga kakaknya membuat Hani tidak pernah bosan mendengarnya.
“Si Teteh malah ketawa,” protes Raika dengan bibir mengecimus.
“Abisnya itu kelakuan kakak-kakak lo selalu out of the box, sih,” sahut Hani sesaat setelah tawanya mereda. “Mereka enggak risih apa, ya, nyium-nyium lo begitu?”
Raika kembali mengusap pipinya dengan rasa jijik menggelikan. “Tau deh, Teh, aku aja heran. Makanya tadi aku marah sama mereka karena-“ Raika menjeda kalimatnya karena rasa syok yang masih tersisa. “Ya ampuunn, harusnya bukan aku gitu loh yang mereka cium. Tapi pacarnya!” ujar Raika sedikit frustrasi.
Hani menopangkan kedua tangannya di dagu seraya memikirkan pertanyaan yang ingin ia ajukan pada Raika. “Kalau inget lagi soal janji mereka, apa mereka nggak ada niatan buat dilanggar aja gitu?
“Kayaknya nggak sih, Teh,” jawab Raika yakin. “Sampe sekarang aja aku nggak pernah liat mereka bawa cewek ke rumah atau sekedar denger mereka teleponan sama cewek, gitu. Eh, Kak Rama pernah beberapa kali, sih. Tapi itu juga nggak pernah ada yang awet,” ralatnya.
“Aneh juga sih, ya. Mereka ampe segitunya supaya lo bisa nikah duluan. Atau kalau nggak, kenapa nggak mereka aja yang nyariin cowok buat lo. Kan seenggaknya mereka bisa lebih menilai.”
“Ayah pernah nanyain gitu ke mereka, tapi Kak Rasya bilang dia percaya sama aku dan nggak mau bikin aku ngerasa terpaksa untuk nerima pilihan mereka,” tutur Raika dengan wajah tak habis pikir. “Ya, cuma itu dia, Teh, pengennya mereka kan gitu. Tapi tiap aku deket sama cowok mana pun nggak ada yang mereka suka,” keluh Raika.
***
“Kalau gitu coba lo-“
Tok..tok..tok..
Obrolan keduanya terputus karena seseorang mengetuk pintu.
“Pagi,” sapa suara berat tersebut, Aidan.
Raika segera menundukkan kepalanya. Gadis itu masih malu untuk bertemu Aidan karena kejadian kemarin. Apalagi hari ini Aidan terlihat begitu tampan dengan setelan kemeja pendek hitam dan celana bahan berwarna navy.
“Eh, pagi, Dan,” sahut Hani semangat.
“Pa-pagi, Pak,” sahut Raika berkebalikan dari Hani. Suara Raika lebih terdengar seperti bisikan.
Aidan mengulum senyumannya melihat reaksi Raika. Namun, lelaki itu kembali menatap Hani.
“Minggu depan saya mau bahas masalah keuangan sama kalian. Sekaligus cari tahu apa ada customer yang bermasalah dengan pembayaran,” ujar Aidan.
“Oh, kalau masalah pembayaran customer Raika yang ngurusin.” Mendengar Hani berbicara seperti itu Raika menegakan tubuhnya dan spontan menatap Aidan.
“Oh, gitu.” Aidan kini menatap ke arah Raika. “Kalau gitu kamu siapkan data-data customernya, ya. Nanti kita diskusikan.”
“Ba-baik, Pak,” sahut Raika gugup.
“Oke, kalau gitu. Selamat bekerja.
Aidan pun pergi dari ruangan keduanya. Raika menghela napas dan bahunya terkulai lemah.
“Lo kenapa sih? Barusan ada Aidan sikap lo kayak anak SD yang mau dimarahin gurunya aja,” ucap Hani menyadari sikap Raika.
“Aku jadi keinget lagi kejadian kemarin, Teh. Jadi, nggak tahu kenapa otomatis aja gitu langsung nunduk,” jelas Raika.
“Ya ampun, masih diinget aja. Aidannya aja biasa aja tadi. Udah ilangin pikiran itu, Ka. Gue yakin kok, Aidan juga udah lupa.”
“Aku juga mikirnya gitu, sih, Teh.”
“Iya, dong. Jangan sampe kejadian itu jadi ganggu kerjaan lo, Ka,” ujar Hani setengah menasehati.
Raika mengangguk setuju. Benar kata Hani, kejadian kemarin tidak boleh sampai mengganggu pekerjaannya. Pekerjaannya lebih penting dan ia harus bisa profesional dalam bekerja.
“Eh, Ka,” panggil Hani dengan senyum mencurigakan.
“Kenapa, Teh?”
“Ngomong soal Aidan, hari ini dia cakep banget, ya. Kulit putih dia cocok banget pake kemeja item gitu,” seloroh Hani membuat Raika membulatkan matanya.
“Ya Allah, Teh Hani! Inget anak sama suami di rumah!
***
“Jangan kelamaan lo keselnya, Ka,” tegur Hani pada Raika ketika mereka memasuki waktu pulang. Raika yang mengerti maksud Hani hanya mengangguk lemah dengan senyum dipaksakan. “Emang Neng kenapa?” tanya Bu Dina tidak mengerti sambil mengangkat tas untuk memasukan laptopnya. Hani pun menjelaskan pada Bu Dina mewakili Raika. Bu Dina mengerutkan keningnya. “Ada-ada aja, ya, kakak-kakaknya Neng.” Wanita berhijab itu menggelengkan kepalanya seraya tersenyum. “Iya, Bu. Masa saya udah segede gini masih dicium-cium kakaknya. Geli, Bu.” “Kalau sama pacar dicium juga seneng-seneng aja, ya, Neng,” goda Bu Dina membuat Raika tertawa kecil. “Bukan seneng lagi, Bu. Udah berbunga-bunga kalau dicium pacar mah,” imbuh Hani ditambah tawanya. Ketiganya mulai membereskan pekerjaan. Raika membuka ranselnya dan mengambil jaket, serta sarung tangan. Bu Dina, Hani, dan Raika keluar bersama. Mereka pun sempat berpapasan dengan beberapa
Menjadi anak perempuan satu-satunya, membuat Raika memiliki privilege tersendiri di rumah. Terutama keistimewaan yang sering ia dapatkan dari ketiga kakaknya. Entah dalam bentuk materi, kasih sayang, ataupun perhatian. Jika Raika ingin membeli sesuatu, gadis itu tidak perlu mengeluarkan uang sepeser pun. Kakak-kakaknya akan dengan sukarela membelikan apapun itu. Selama masih bisa mereka sanggupi dan bukan hal membahayakan. Raika tidak lagi minta dibelikan sesuatu sejak bekerja. Apalagi meminta hadiah dari ketiga kakaknya. Namun, ketiganya masih saja membelikan sesuatu yang sebenarnya tidak dibutuhkan gadis itu. Membuat Raika tidak enak untuk menolak apalagi mengembalikannya. “Uang punya Adek ditabung aja atau beli sesuatu yang memang Adek pengen. Untuk hal lain Adek minta aja ke Kakak. Kan kakak kerja juga untuk Adek.” Kalimat mengharukan Rasya itu membuat Raika trenyuh sekaligus merasa bersalah. “Nggak gitu juga dong, Kak. Kan kakak juga pas
Aidan Satya Assyraaf atau lebih sering dipanggil Aidan adalah lelaki dengan kehidupan mapan. Menjadi cucu dari pemilik perusahaan besar membuat Aidan menjalani hidup nyaman dan tidak kekurangan apapun. Ahmad Assyraaf, sang kakek, berhasil membangun perusahaannya menjadi sebesar sekarang agar keluarganya tidak memiliki hidup yang sulit dalam hal finansial maupun sosial. Aidan sendiri masuk ke perusahaan kakeknya setelah lulus kuliah. Lelaki 27 tahun itu memulai pekerjaannya dari bawah dengan menjadi sales marketing. Dan satu tahun yang lalu, lelaki itu diangkat menjadi manager penjualan. Meski terlihat sebagai sebuah nepotisme, tetapi Aidan tidak pernah main-main dengan pekerjaannya. Semua pekerjaannya dilakukan dengan sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab. Semua pekerjaan berjalan lancar sampai berita tentang pensiunnya BM cabang Bandung terdengar ke telinganya. Faris, paman sekaligus Direktur PDP meminta Aidan untuk menjadi Branch Manager
Tiga minggu berlalu dan Aidan sudah mulai beradaptasi dengan pekerjaan barunya. Pada minggu pertama, lelaki itu memulai pekerjaannya dengan berdiskusi bersama para teknisi dan bagian penjualan. Membahas kesulitan apa yang mereka hadapi dan keluhan apa yang sering diberikan oleh customer terkait mesin-mesin mereka.“Beberapa customer kadang nggak mau diganggu mesinnya pas mereka lagi beroperasi, Pak,” tutur salah satu teknisi, Yoga. “Padahal mereka nelepon karena mesinnya bermasalah.”Aidan terdiam sejenak. “Kamu udah cari solusi lain terkait hal ini?”“Udah, Dan. Saya ngasih solusi ke mereka untuk mematikan mesinnya hanya di saat itu aja. Tapi kata mereka produksi nggak boleh berhenti. Istilahnya buat mereka time is money,” Rudi menjawab pertanyaan tersebut dengan bahasa formal.“Apalagi di Cahaya Warna lebih aneh lagi, si bosnya minta kita cepet datang untuk benerin warna ya
Meski hampir satu bulan Aidan memimpin PDP Bandung, Raika masih belum terbiasa dengan keberadaan atasannya itu. Selain karena kejadian di restoran masih membuatnya malu. Raika pun belum bisa menatap Aidan secara langsung lebih dari lima detik. Wajah tampan lelaki itu sering membuat Raika lupa diri.Aidan memang bersikap seperti biasa, tidak pernah menggoda Raika apalagi bersikap genit. Aidan cenderung tenang dan kalem. Tapi, entah kenapa terkadang Raika merasa jika Aidan sering memperhatikannya. Apalagi jika lelaki itu sedang berada di ruangannya untuk membahas pekerjaan bersama Hani.Bukannya ge-er, tapi itulah yang dirasakannya selama hampir dua minggu ini. Terkadang terlintas di pikiran perempuan itu, apakah Aidan tahu sikapnya yang selalu menghindari lelaki itu? Hingga Aidan sengaja memperhatikannya dan sering mengajaknya bicara. Apa jangan-jangan itu sebagai sebuah penilaian Aidan pada pegawainya?Ah, harusnya Raika bersikap lebih baik lagi, bukan?
“Aku udah bilang ke Reza kalau toner bubuk itu sensi banget. Dia sih bilang iya, eh, tapi pas dia buka itu toner langsung nyembur. Kayak tepung yang ditiup. Kita semua kaget dong, dia apalagi. Itu muka si Reza udah kayak Smurf pokoknya. Biru bangeett.” Rudi sedang bercerita tentang teknisi baru yang terkena sial.Saat ini Aidan dan Rudi sedang berada di ruangan Bu Dina. Sekadar mengobrol disela bekerja.Semua yang ada di ruangan tertawa. Pasalnya, toner bubuk untuk mesin printing memang cukup rentan. Salah membuka, maka taburan bubuk tersebut akan bertebaran.“Kasian amat dia.” Hani memang merasa kasihan, namun tawanya tetap menggema.“ Asli. Itu tonernya kena baju dan celananya. Untung mukanya bisa dicuci.”“A Rudi parah, ih. Anak buahnya kena musibah malah ditawain,” omel Raika pada Rudi, padahal ia sendiri menutup mulutnya menahan tawa.A
"Nggak kemana-mana, Dek?" tanya Raihan duduk di sofasingledengan penampilan kasualnya. Kaosroundneckketat yang memperlihatkan ototnya dan celana denim. Raika yang sedang berbaring santai di sofa hanya menoleh sekilas. "Nggak, Kak. Di rumah aja hari ini. Lagian males kemana-mana juga," jawab Raika kembali memainkan ponselnya. Beberapa detik kemudian ponsel Raika berbunyi tanda telepon masuk. Melihat nama yang tertera di layarnya senyum Raika mengembang. "Assalamu'alaikum.." "Walaikumsalam. Kamu hari ini di rumah kan, Ka?" tanya seseorang dari balik telepon. "Iya, aku nggak kemana-mana kok. Mau ke rumah, Ki?" tanya Raika balik. "Iya, aku mau maen ke rumah. Ini aku baru mau jalan. Aku tutup, ya teleponnya. Assalamu'alaikum." "Iya. Hati-hati di jalan ya, Ki. Walaikumsalam." Raika menutup teleponnya dan bangun dari posisi berbaringnya menjadi duduk di sofa.
Ruangan Bu Dina hening seperti biasanya. Namun, hari ini beliau tidak ada karena sedang menghadiri sosialisasi dari kantor pajak mengenai peraturan terbaru. Beliau pun mengatakan pada Raika dan Hani jika dirinya tidak akan kembali ke kantor hari ini.Tok..tok..tok..Pintu ruangan mereka diketuk oleh seseorang hingga membuat keduanya menoleh. Aidan masuk ke ruangan mereka, namun masih berdiri di antara meja Raika dan Hani."Eh, Dan. Ada apa?" tanya Hani menghentikan pekerjaannya. "Duduk.” Lelaki itu duduk di kursi yang ada di antara meja Raika dan Hani."Ini laporan data penjualan kemarin udah saya periksa. Sisanya tolong dilengkapin aja." Aidan menyerahkan selembar kertas A4 pada Hani.Hani menerima kertas tersebut, sementara Raika tetap bekerja. Melihat Raika yang tampak serius dengan pekerjaannya, membuat Aidan tidak tahan untuk tidak menyapa gadis itu."Halo, Raika," sapa Aidan mendapat delikan geli dari Hani disela memerik