Share

Bab 3

Seorang pria muda terlihat serius dengan tumpukan berkas yang menggunung, hampir menutupi sebagian wajahnya. Pulpen itu pasti akan menjerit jika ia bisa bersuara. Karena sejak pagi hingga hampir sore, ia digunakan. Bahkan makan siang telah lewat tiga jam yang lalu. Sementara si pemegang pulpen masih terus saja tenggelam dalam kesibukannya. Ikatan dasi telah mengendur, kancing kemeja juga telah terbuka, namun pria itu masih enggan untuk sekedar mengistirahatkan otak dan sejenak menghirup udara segar dengan ditemani cemilan mungkin. 

Tok ... tok ... tok ...

Ketukan pada pintu nyatanya tak mampu mengalihkan pandangan matanya dari tumpukan berkas itu. 

"Hemmm ... " jawabnya singkat.

"Selamat sore pak, Tuan Arkhan Wijaya datang berkunjung, beliau bersama Nyonya. Saat ini sedang menuju kemari," kata seorang Sekpri dengan berhati-hati. Pasalnya ia hafal betul dengan karakter keras bosnya itu. Tak suka diganggu jika sedang serius. Apalagi jika kesibukannya itu hingga mengalahkan jam makan siangnya.

"Haisshh ... " ucap pengusaha muda itu sambil sedikit menggebrak meja kerjanya, membuat Deri,sang sekpri sedikit terlonjak. Belum juga ia berkata apa-apa, tiba-tiba orang yang dimaksud sudah berada didepan pintu. 

Deri segera keluar dari ruangan itu, merasa sungkan karena sudah pasti kunjungan ini bukan dalam konteks pekerjaan. 

"Permisi Tuan," pamit Deri.

"Kamu tetap disini saja ... , aku akan membicarakan mengenai kepemilikan perusahaan ini kedepannya. Jadi kamu berhak tau, karena kamu adalah sekretaris pribadi anak bandel ini," kata Tuan Wijaya sambil melirik putranya. Sementara Derry nyaris tertawa saat ia mendengar julukan baru yang diberikan untuk CEOnya. Rafin Adi Wijaya, seorang pria berusia 26 tahun yang saat ini menjabat sebagai CEO di "Wijaya Corp." Ia memiliki kakak perempuan yang telah menikah dan kini tinggal di luar negri. Jerman. Dan sekarang sudah memiliki seorang anak lelaki berusia 4 tahun.

"Rafin ... , sini duduk dekat mama," sapa mamanya dengan senyuman lembutnya, membuat Rafin luluh dan menuruti kemauan mamanya. 

"Apa kabar ma," ucapnya sambil mencium pipi wanita setengah baya itu. Namun begitu, mamanya terlihat masih cantik dan elegan, meskipun gurat halus telah terlihat di daerah-daerah tertentu di wajahnya.

"Baik sayang, kenapa kau terlihat agak kurus?" tanya wanita itu sambil menangkup wajah sang putra.

"Jangan terlalu memaksakan diri dalam bekerja, ingat makan dan istirahat nak," tambah Ny. Wijaya.

"Proyek penting mah, biar lekas kelar," jawabnya santai.

"Kamu harus secepatnya menikah Fin, berikan cucu laki-laki untukku, dan kepemilikan perusahaan ini kuserahkan padamu. Tapi jika kau tak mau menikah, maka bulan depan papa akan mengadakan rapat direksi dan menyerahkan perusahaan ini pada kakakmu Klara," ucap Tuan Wijaya membuat keputusan. 

Rafin yang mendengar itu langsung membulatkan matanya, terkejut.

"Mana bisa begitu pa ... , aku yang berusaha mempertahankan agar perusahaan ini tidak jatuh bahkan profit bulanan selalu naik selama aku pegang, lalu dengan seenaknya papa memberikan perusahaan ini pada kakak!" potong Rafin dengan sarkas. 

"Papa nggak mau tau, pokoknya kamu harus segera menikah. Makanya keluar ... , lihat dunia. Nggak cuma ndekem aja di belakang kertas, cari gadis dan nikahi," ucap Tuan Wijaya tak mau tau dengan respon putranya yang melongo karena tak habis pikir dengan apa yang yang baru saja dikatakan oleh papanya.

Rafin lantas melempar pandangan memelas pada mamanya, berharap mendapat pembelaan dari wanita cantik itu. Namun harapannya ternyata musnah saat dilihat mamanya hanya mengedikkan bahu dengan wajah menyesal dan menggelengkan kepala.

"Ma ... ," ucap Rafin.

"Maafkan mama sayang."

***

Rafin lantas membanting tubuhnya di sandaran sofa, dilonggarkannya kerah yang sudah longgar, bakan kini ia menggulung lengan kemejanya hingga siku. Ruangan mendadak gerah setelah kepergian orang tuanya. Deri terlihat masih setia menemaninya. Bingung dengan apa yang harus ia perbuat untuk atasannya itu. 

"Ingin ku buatkan kopi?" tawar Deri takut-takut, demi melihat wajah atasannya yang kusut seperti kanebo kering.

"Hmmm ... ," jawab Rafin malas. 

"Ok ... !" kata Deri yang langsung melesat ke mini pantry di ruangan itu.

***

"Der ... , menurutmu apa yang harus kulakukan?" tanya Rafin pada sekprinya. Sebenarnya Derry ini teman saat kuliah dulu, sebutan formal hanya berlaku dalam lingkungan kerja. Diluar, mereka adalah sahabat. Hal inilah yang membuat sekpri kali ini bertahan lama, karena biasanya jabatan sekpri hanya bertahan dua minggu saja, karena karakter Rafin yang terlalu keras dan sukar untuk menerima pendapat orang lain. Terlalu arogan dan kasar saat berbicara. Meskipun karakter Rafin sebenarnya lebih banyak diam dan cenderung tertutup.

"Ya kawin aja bos, hamilin, lalu lahir cowok, dapet deh itu surat kepemilikan perusahaan babe. Kelar," ucap Deri sekenanya. 

"Kamu kira ayam? main kawin aja!" bentak Rafin yang terlihat sebel dengan jawab sahabatnya.

"Pacar bos ... mana pacar ... ? Nikahin kan beres."

" Pergi !" kata Rafin ketus.

"Iya deh ... " kata Derry yang kemudian berdiri, beranjak dari duduknya yang nyaman. Melangkah menuju pintu keluar sambil ngedumel nggak jelas dengan bibir mengerucut.

"Mau kemana?" tanya Rafin heran.

"Lhah, katanya tadi suruh pergi ... " ujar pemuda itu dengan wajah polos.

"Maksud aku ... , pacarku pergi. Bukannya kamu yang pergi ... !" kata Rafin dengan geregetan.

"WHAT!?" tanya Deri berteriak kaget karena Anggita kekasih Rafin pergi.

"Kenapa bisa?" tambahnya penasaran. Sementara itu, Rafin terlihat sedih saat membahas tentang wanita yang kini telah pergi meninggalkannya.

"Dia lebih memilih karir modelnya dari pada harus menikah denganku secepatnya," ucap Rafin sendu.

Deri mencoba untuk mencerna semua kata-kata atasan sekaligus sahabatnya itu. Masih tak habis pikir dengan jalan pikiran Anggi yang lebih memilih karir daripada menikah dengan Rafin.

Padahal ia sangat tahu, bagaimana liku-liku kisah mereka berdua, karena baik Rafin ataupun Anggita adalah teman satu kampusnya dulu.

Kisah putus nyambung yang berulang-ulang dan Anggita yang depresi berat jika mereka sedang break, sungguh masih diingat oleh Deri. Bahkan hubungan mereka sudah berjalan lebih dari tujuh tahun.

"Bisakah kau mendapatkan gadis sewaan untuk kau nikahi atau semacamnya?" tanya Deri asal.

" Kamu gila ya? mana ada yang seperti itu!" tanya Rafin tambah dongkol.

"Ya ... kali aja ada bos ... " jawab asisten pribadinya.

***

DIN DIIIN !!!

Suara klakson mengejutkan Mila yang berjalan sendiri di trotoar, membuatnya harus menoleh ke arah sumber suara. Ternyata sebuah mobil yang cukup dikenalnya membuat detak jantungnya seolah berhenti berdetak.

"Ayo, kita searah," ajak Pram padanya.

" Tidak, aku berjalan kaki saja." Mila mencoba untuk mengingkari sorak dihatinya. Sebenarnya ia sangat menginginkan kesempatan seperti ini, persis seperti yang pernah dikhayalkannya. Namun ia akhirnya menyadari bahwa ia tak lebih dari sekedar pungguk yang merindukan bulan. Baginya Pram adalah sesuatu yang mustahil. Maka ia kini berusaha untuk sedikit mengeraskan hati. Agar angan-angannya tak terlalu melambung tinggi.

Pram terlihat turun dari kendaraannya, melangkah mendekati Mila. Ia hendak melontarkan ajakannya kembali saat terdengar sebuah panggilan pada ponsel Mila.

" Assalamu'alaikum Ris ... " 

" ... "

"Baik, kakak segera pulang," kata Mila pelan, sedikit kaku.

"Bagaimana? mau ku antar pulang?" tanya Pras kembali.

Mila hanya mengangguk, ia terpaksa menerima tawaran dari atasannya itu. Ia ingin segera sampai di rumah, karena sesuatu yang gawat telah terjadi. 

"Ya Allah ... , lindungilah Riska ... " do'a Mila dalam hati. Ia terlihat gugup dan tidak tenang.

"Terjadi sesuatu dengan Riska?" tanya Pram mencoba untuk mencairkan suasana kaku di dalam mobil.

"Tidak. Tidak terjadi apa-apa. Riska baik-baik saja." Semoga. Batin Mila dalam hati. 

"Kalau begitu, bisakah kau menemaniku makan malam? tanya Pram kemudian.

" Tidak, maafkan aku kak, turunkan aku disini. Kakak makan saja, maaf aku tak bisa menemani," ucap Mila tak enak hati.

" Ok ... , kita teruskan perjalanan saja," kata Pram sambil tersenyum. Berkali-kali pria itu menangkap kegelisahan dari gerak-gerik Mila. Tak ada setengah jam, mereka telah sampai di depan rumah Paman Kasto. Mila segera keluar dan berlari menghambur ke dalam rumah. Sepi. Tak ada siapapun di sana. Riska juga tak terlihat. Mendadak hatinya merasa gelisah luar biasa. Ia segera berlari menuju kamar mereka. Dikunci dari dalam.

"Ris ... , Riska!" kata Mila berteriak panik memanggil adiknya. 

"Ini kakak Ris!" 

Dengan cepat kunci pintu terbuka. Kemudian dengan segera Mila memeluk adiknya.

"Kamu tak apa-apa kan Ris?" 

"Paman marah kak, dia mencari kakak," ujar Riska.

" Apa kamu di pukul?" tanya Mila khawatir.

" Tidak,"

" Alhamdulillah ... " Lega hati Mila mendengar jawaban dari adik kesayangannya. Apalagi saat dilihatnya gadis itu tak terlihat terluka atau kurang suatu apa.

"Sudah, jangan dipikirkan. Kamu belum makan kan? Sama, kakak juga belum. Setelah mandi, kita beli lauk di warung Mak Ranti, rumah ada nasi kan?" tanya Mila yang kemudian mendadak menyadari, bahwa tadi dia pergi begitu saja dari mobil Pram. Ia sungguh merasa tak enak hati, jelas-jelas tindakannya sangat tidak sopan.

"Maaf, aku tadi tidak sempat berpamitan. Terima kasih banyak atas tumpangannya." Ditekannya tanda send pada aplikasi berwarna hijau itu. Dan beberapa detik kemudian, warnanya telah berubah menjadi biru. 

"Tak apa, aku tau kau sedang tergesa-gesa. Lekaslah beristirahat. Jangan lupa makan. Semoga lekas membaik."

Desiran halus mendadak ia rasakan. Dadanya terasa menghangat, ia mencoba menahan senyumnya. Ada rasa aneh yang menyusup di hatinya. 

"MILA ... !" sebuah suara yang dikenalnya membuyarkan kehangatan hatinya, mendadak berganti dengan rasa khawatir.

  - TBC

By. Rinto Amicha

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status