Tak berpikir lama, aku segera menyalakan fitur rekam suara untuk percakapan via telepon demi berjaga-jaga. Siapa tahu, ada kata-kata Abi yang bisa kujadikan bukti. Klu sudah mulai terungkap soalnya. Dia menyuruhku berkaca segala. Itu artinya … dia pasti sudah tahu tentang pernikahan tersebut!
“Subhanallah! Kata-kata Abi sangat indah didengar. Persis penuturan motivator di televisi. Memangnya aku salah apa hingga harus bercermin segala? Lapor polisi? Aku yang akan melaporkan ke polisi terlebih dahulu atas tuduhan perzinahan dan penelantaran keluarga!” Aku memekik sinis. Meluahkan segala kedongkolan di dalam hati yang kini terluka. Kalian mau lapor polisi? Memangnya aku tidak bisa?
“Jaga bicaramu, Mila! Semenjak menganggur, kelakuanmu tambah menjadi-jadi! Ternyata kami tidak salah memilih untuk menjadikan Adelia mantu. Dia lebih pantas mendampingi Faisal. Dia mandiri, punya penghasilan, mapan, dan bukan benalu sepertimu! Dia jauh lebih berkelas!” Desisan Abi semakin membuat jantungku tambah berdegup kencang.
Mandiri? Punya penghasilan? Mapan? Aku benalu? Wow! Sangat wow kata-kata mutiara Abi. Persis ucapan orang yang tak mengecap bangku sekolahan dan ilmu agama. Dia yang melabeli dirinya pak haji. Marah apabila tak disematkan gelar haji di depan namanya atau jika orang luput memanggilnya pak haji. Ternyata, di balik sikap sok alimnya di depan publik, tersimpan penyakit hati yang kronis!
“Oh, jadi karena masalah uang, toh? Tega-teganya Abi dan Ummi menjual anak sendiri demi materi. Lagipula, yang menyuruhku resign dulu siapa? Kalian, kan? Kalian yang membujukku agar aku berhenti bekerja sampai orangtuaku sempat marah dan mendiamiku beberapa waktu. Setelah aku berhasil hamil serta melahirkan, kalian hantam lagi aku dengan tuduhan bahwa aku ini benalu! Hati kalian kotor dan culas, Bi!” ucapku kesal dengan penuh percik kemarahan di jiwa.
“Terserah apa katamu! Yang jelas, tuduhan perzinahan yang kamu katakan tadi salah besar! Anak seorang alim dan haji-hajjah seperti kami tak akan pernah berzina! Mereka menikah baik-baik dan punya buku nikah. Ingat, itu!”
“Buku nikah? Dari mana dia mendapatkan buku itu?” Kedua alisku mencelat bersamaan. Syok. Mana bisa orang menikah resmi untuk kedua kalinya tanpa mendapatkan persetujuan dari istri pertama? Ini aku yang bodoh atau Abi yang sedang berusaha menipuku?
“Pertanyaan orang dungu! Itulah mengapa aku menyuruh Faisal untuk menikah lagi. Supaya dia semakin tidak terperangkap hidup bersama wanita rendahan sepertimu!”
“Rendahan? Jodoh itu cerminan! Kalau aku rendahan, anak Abi pun juga rendahan!” makiku balik.
“Oh, mohon maaf! Anak semata wayangku laki-laki yang cerdas! Buktinya, dia menuruti nasihat kami. Menikahi Adelia yang kaya raya dan cantik demi memperbaiki keturunan. Untuk pertanyaan bodohmu tadi, apa perlu kujelaskan bahwa pernikahan mereka itu legal dan sah? Jadi, bersiap-siaplah. Besok kamu akan ditangkap oleh polisi atas tuduhan pengrusakan dokumen penting!”
“Bukan aku yang bodoh, tapi kalianlah yang sudah kesurupan setan!” hardikku sambil mundur beberapa langkah ke belakang demi menghindari panasnya api yang semakin membara di hadapan. “Kalian lupa, bahwa menikah untuk kedua kalianya secara resmi di KUA harus melampirkan surat keterangan tidak keberatan dari istri pertama. Lantas, dari mana Faisal dan Adelia bisa mendapatkan surat nikah dari KUA jika aku tak pernah sama sekali menyetujui poligami tersebut? Kalian semua akan kulaporkan ke polisi atas tuduhan pemalsuan dokumen dan penipuan!”
Kata-kataku lantang. Tak ada sedikit pun gentar di batin apalagi raga. Aku semakin berani untuk menyalakan api permusuhan kepada orangtua Mas Faisal.
Di seberang sana, Abi diam. Dia tak menyahut ucapanku. Mungkin saja pria 62 tahun yang rambutnya telah penuh dengan uban dan kerap mengenakan peci putih ke mana pun tersebut sedang syok berat. Dia pikir, hanya dia yang pandai mengancam dan bersilat lidah?
“Ayo jawab, Bi! Jangan diam saja! Surat nikah itu dari mana? Siapa yang menerbitkan? Berapa uang yang kalian keluarkan demi mendapat surat bodong itu?” Terus-terusan kudesak beliau untuk menjawab pertanyaanku. Namun, tetap hening. Saat kucek layar ponsel, panggilan nyatanya masih terus berjalan. Belum diputuskan olehnya.
“Bukan hanya hukuman dunia yang bakal kalian dapat, Bi. Namun juga hukum akhirat! Kalian kompak membohongiku. Menipu dan menzalimiku, tanpa aku tahu di mana letak salahku selama ini. Ingat, hukum tabur tuai itu tetap berlaku! Hari ini kalian meludahiku, besok kalian akan diludahi balik entah oleh siapa. Yang jelas, aku tak akan bermain kotor. Lebih baik kuserahkan semua pada pihak kepolisian, ketimbang harus menambah dosa!” Habis-habisan aku menusuk Abi dengan rentetan kalimat pedas. Besar harapanku beliau memberikan perlawanan. Biar panas sekalian! Biar semakin terkuak kebenaran yang selama ini diam-diam mereka sembunyikan.
“Jaga bicaramu!” bentak Abi tiba-tiba. Namun, suaranya terdengar gemetar. Bernada seperti orang yang ketakutan.
“Kenapa malah menyuruhku menjaga bicara? Abi tidak mengerti bahasa Indonesia? Kan, aku tadi bertanya. Dapat dari mana surat nikahnya? Kenapa tidak dijawab? Malah menyuruh orang menjaga bicara!” Tak ada lagi sopan santun atau tata krama di sini. Persetan dengan kata tulah. Aku telanjur telah mereka dustai. Setiaku dikhianati dan mereka bongkar semua saat aku tengah menghadapi anak yang sakit. Apa salahnya bila aku melawan?
“Menantu sialan! Semoga kamu dan anakmu lekas mati! Kalau perlu malam ini juga kalian berdua mati! Bakar sekalian rumahmu, jangan hanya membakar pakaian dan ijazah anakku saja. Biar kalian puas!”
Gejolak amarah di dadaku semakin membumbung tinggi. Jangankan mengucap maaf, berbicara halus pun Abi maupun Ummi sudah tak bisa. Mereka hanya fokus menyalahkan dan merendahkanku.
Oh, baiklah Pak Haji yang terhormat! Kita lihat saja, siapa yang akan menjadi pemenang dalam pertarungan ini.
“Terima kasih atas doanya, Abi. Semoga kalian sekeluarga selalu sehat dan jauh dari mara bahaya.” Getir lidahku berucap. Kutahan kalimatku agar sebisa mungkin tak balik menyumpahi Abi. Untuk apa? Bukankah doa yang jelek akan kembali kepada si pendoa? Cukuplah bagiku berlindung pada Allah agar aku dan Syifa dijauhkan dari bala serta diberikan umur yang berkah. “Doa perempuan berhati busuk tidak akan dikabulkan oleh Allah! Malaikat sudah melaknatmu sebab durhaka pada suami!” Seenak jidatnya Abi berkata padaku. Seolah-olah dialah panitia surga. Orang kalau sudah merasa paling suci, memang mudah mencap orang lains sebagai pendosa. Hidupnya sibuk menilai, seakan manusia lain itu muridnya yang tengah ujian. Menjijikan! “
[Seorang istri apabila sudah kelewat batas sikapnya, tidak bisa dididik jadi perempuan salehah, dan tidak bersyukur WAJIB hukumnya dicerai.] Itulah sederet kalimat yang diunggah Mas Faisal di status Facebook miliknya. Degupan jantungku kian melesat cepat. Terhenyak aku dalam segala perasaan yang sulit digambarkan. Astaghfirullah, Mas Faisal … sekarang kamu mulai playing victim di sosial media. Menguak sebuah fitnah, seakan-akan akulah yang bersalah. Tega! Ini kejam namanya. Lekas kukeluarkan jendela chat WA bersama Anisa barusan. Kubuka Facebook milikku dan mulai mencari update status Mas Faisal di lini masaku. Nihil. Tak ada. Kuputuskan untuk mengetik namanya di kolom pencari
[Terima kasih atas malam ini, Sayangku. You’re my sunshine, my moon, my everything.] Caption itu terpampang jelas di atas foto yang menggambarkan dua tangan saling menggenggam. Tangan Adelia yang putih mulus dan mengenakan perhiasan berlian di jari manisnya tersebut sedang menggenggam tangan seorang pria berkulit langsat dengan sebuah arloji bertali kulit. Bagaimana aku tak sampai meneteskan air mata, tatkala melihat arloji pemberianku tengah dipakai Mas Faisal saat berselingkuh dengan perempuan lain. Iya, aku memang perempuan bodoh! Mau menangisi lelaki seperti Mas Faisal yang entah sejak kapan telah membohongiku. Ketika kuingat-ingat dengan pasti, sudah sekitar setahun belakangan ini suamiku memang kerap melakukan perjalanan dinas. Tak pernah terbesit sedikit pun bahwa perjalanan dinas yang dia lakukan adalah fiktif bela
Bagian 8 Dengan seribu keyakinan, aku pun mengangguk. Mas Faisal, bersiaplah menjadi artis dadakan setelah ini. Maafkan aku bila satu negara akan menghujatmu habis-habisan. “Baik, Ma. Aku minta kepada Mama untuk mendoakanku agar aku kuat menjalani ini semua, Ma. Mereka sudah sangat keterlaluan. Bahkan … Abi berkata jika suamiku dan Adelia sudah memiliki surat nikah resmi. Mana mungkin?! Mereka pasti telah mendapatkan surat bodong itu dari oknum yang disuap. Kejam Mas Faisal dan semua keluargnya. Bahkan sepupunya yang lain, Mas Kamal, juga ikut-ikutan berkomentar di F******k. Menyuruh Mas Faisal untuk melepaskanku segala. Sekarang sudah ketahuan bila satu keluarga memang kompak untuk menjatuhkanku, Ma.” Terdengar tarikan napas dalam dari ujung sana. Mama pasti sesak sekali mendengar pengakuanku. Maaf, Ma. Ceritaku harus melukai
Bagian 9 Puas! Aku sangat puas sekarang. Segala bukti telah kuunggah demi mempermalukan Mas Faisal sekeluarga. Aku tak akan mundur barang sejengkal pun. Hidupku kini untuk menang, meski di depan mata sempat terbayang meja hijau dan UU ITE yang cukup beracun apabila telah menyerang. Pasrah! Lillah! Semua kulakukan semata-mata untuk melindungi harga diriku dan anakku. Azan Subuh pun berkumandang. Terdengar syahdu sekaligus nyaring. Disiarkan melalui pengeras suara masjid yang berlokasi tak jauh dari rumahku. Demi mendengarkan penyeru untuk salat itu, aku pun bangkit. Kutapaki lantai dengan tegar. Sementara itu, ponsel yang kini kembali kumasukkan ke saku bergetar-getar terus menerus. Ada notifikasi masuk, pikirku. Namun, tak kupedulikan. Ponsel secepat kilat lalu kum
Bagian 10 Ternyata, tak hanya panggilan tak terjawab dari Mas Faisal dan orangtuanya saja, ada banyak chat masuk di ponselku yang menanggapi status berisi video TikTok viral tersebut. Kucoba buat menenangkan diri sesaat. Segera mematikan paket dataku buat sementara waktu, kemudian keluar dari aplikasi WA. Tutup matamu dulu untuk pemberitahuan keviralan itu, Mila. Cepat selesaikan semua formulir ini dan mulailah mengadu pada polisi! Gemetar tanganku membuka folder di mana kusimpan foto scan KTP. Setelah mendapatkannya, kutulis cepat NIK dan alamat lengkap yang tertera di kartu identitasku tersebut. Kulanjutkan mengisi data-data lainnya dan memilih jenis pengaduan. Tindak pidana, ya, itulah kolom yang kulingkari. Ketika aku hendak beringsut dari meja dengan
Bagian 11 Puas mencaci maki dan mengancamku habis-habisan, lelaki tak bertanggung jawab itu akhirnya memutuskan percakapan kami. Hatiku masih mengemban sakit. Ternyata, begini rasanya diludahi oleh lelaki yang semakan sepenanggungan dengan kita. Di mana kebaikan serta ketulusan yang pernah Mas Faisal lakukan padaku? Apakah dia telah melupakan semua kenangan manis dalam keluarga kecil kami? Yang masih membuatku tak habis pikir adalah rasa geram Mas Faisal sebab tak menemukan surat tanah dan BPKB beserta motornya di rumah. Dia bahkan sama sekali tak menanyakan kabar Syifa yang baru saja mengalami demam tadi malam. Tak secuil pun meluncur dalam kalimatnya untuk menanyakan ke mana Syifa kubawa. Allahu Akbar! Suamiku … ternyata lenyap sudah kasih sayangmu kepada kami hanya dalam sekejap. Sungguh, harta benda milik Adelia yang sangat kecil bila dibanding rahmat dan kekayaan Allah itu mampu membusukkan hati se
Bagian 12 Kuputuskan untuk mengabari Pak Ramadhan, polisi bertubuh atletis dengan rambut belah pinggir, bahwa aku akan menunggu temanku terlebih dahulu alih-alih diantar oleh mereka ke Rumah Sahabat. “Pak, saya baru ditelepon rekan. Katanya dia akan menjemput ke sini. Saya izin menunggu di sini sama anak saya, ya, Pak. Tidak usah repot-repot diantar bapak-bapak,” kataku dengan sangat sopan. Pak Ramadhan yang memiliki tinggi di atas rekannya, Pak Ari, mengangguk. Pria berkulit sawo dengan hidung mancung dan mata cokelat tersebut tersenyum manis. “Baik, Bu, kalau begitu. Tapi, Ibu pasti aman kan, bersama teman tersebut?” Aku mengangguk ragu. Antara aku dan Mas Sofyan mem