"Akting yang sangat bagus sayang," ucap Angga begitu Siska sudah keluar.
"Terima kasih sayang untuk pujiannya," ucap Riska lalu memukul dada Angga main-main.
"Tunggu, kenapa kamu tidak memakai lingerie tadi, dan malah memakai kemejaku?" tanya Angga penasaran.
"Menurutku ini lebih baik, aku nggak mau ya, pakai pakaian kurang bahan seperti itu," jawab Riska bersungut-sungut.
"Kenapa aku malah merasa kamu jadi jauh lebih seksi saat memakai kemejaku," batin Angga. Tidak mungkin Angga menyuarakan pikirannya, bisa-bisa dia akan kena pukul Riska lagi.
Sedang asyik-asyiknya mereka bercanda. Pintu apartemen Angga dibuka dari luar, sontak suara pintu yang terbuka, membuat mereka menoleh bersamaan.
"Kakek," ucap mereka bersamaan, begitu melihat jika ternyata Kakeknya lah yang datang.
"Angga, Kakek datang," teriak Kakek.
Angga buru-buru menyembunyikan Riska, agar tidak terlihat oleh Kakeknya. Suara Kakek menghentikan Angga yang sedang sibuk menyembunyikan Riska.
"Kalian," ucap Kakek bingung.
"Kakek, Angga bisa jelasin Kek," ucap Angga, tidak sengaja mendorong Riska ke samping.
Kakek menatap keadaan Angga dan Riska. Keadaan Riska yang berantakan dengan memakai kemeja Angga, lipstik yang belepotan di pipi, sedangkan Angga hanya memakai celana saja. Mau tidak mau Kakek berpikir yang macam-macam tentang apa yang sudah mereka lakukan. Siapapun yang melihat keadaan mereka sekarang, pasti akan berpikir hal yang sama.
Saat Angga ingin menjelaskan kepada Kakeknya, sahabatnya Fajar, juga datang di saat yang tidak tepat.
"Angga, ini pesanan kamu," teriak Fajar, menyusul Kakek.
"Lho, Riska sudah disini?" Fajar menatap Riska yang berdiam diri di samping Angga. Riska menundukkan kepalanya dan memakai kemeja Angga.
"Tunggu, kemeja Angga. Riska memakai kemeja Angga," batin Fajar.
"Ada apa ini Ga? Kenapa Riska bisa memakai kemeja mu?" Fajar meletakkan ayam goreng yang dibawanya di meja, lalu berjalan mendekati kedua sahabatnya.
Fajar meneliti sikap Riska yang hanya menunduk, apalagi dengan keadaan mereka yang membuat orang pasti salah paham.
"Angkat kepalamu Riska Anindita," sentak Fajar.
Riska yang mendengar nada bicara Fajar yang kasar, merasa takut. Seumur hidupnya Fajar selalu berkata lembut, tidak pernah menaikkan suaranya.
Riska tanpa sadar berlindung ke belakang Angga. Tangannya gemetar saat memegang tangan Angga.
"Apa-apaan ini Riska? Ganti baju kamu, cepat!" Fajar kembali berteriak.
"Jangan membuatnya takut Jar," kata Kakek sambil menepuk pundaknya.
"Riska, kamu ganti baju dulu, setelah itu, kita bicara!" Perintah Kakek.
"Baik Kek." Riska langsung berlari ke dalam kamar Angga.
Fajar yang melihat Riska masuk ke dalam kamar Angga, langsung melotot pada Angga.
Angga menjadi kikuk sendiri, di tatap Kakek dan sahabatnya, apalagi dia tidak memakai baju.
"Pakai bajumu!" Perintah Kakek.
"Iya, Kek." Angga berjalan menuju ke kamarnya. Sontak saja Fajar langsung berteriak marah padanya.
"Apalagi? Tadi disuruh pakai baju," kata Angga.
"Riska di dalam," kata Fajar singkat.
Angga melotot kaget. Sungguh dia lupa, jika Riska masih berada dalam kamarnya.
Perasaan jengkel kembali dirasakan Fajar. Sedari kecil mereka sepakat untuk melindungi Riska, sampai nanti Riska menemukan laki-laki yang bisa melindunginya. Tapi apa yang dilihatnya sekarang benar-benar membuatnya marah.
Bukan berarti Fajar menyukai Riska, hanya saja, mereka tumbuh besar bersama. Fajar dan Angga selalu melindungi Riska, bahkan mereka dulu pernah menghajar teman sekelasnya, yang menjadikan Riska bahan taruhan mereka.
Di ruang tamu, Fajar masih menatap tajam Angga. Sedangkan Kakek hanya diam, larut dengan pikirannya sendiri.
Selesai Riska berganti baju, Riska takut untuk keluar kamar. Biar bagaimanapun di luar ada Kakek dan juga sahabatnya.
Riska malu setengah mati, saat tadi mereka melihat keadaannya yang sangat memalukan. Memakai kemeja Angga dan hanya bisa menutupi setengah pahanya. Rasanya, Riska benar-benar ingin bersembunyi di lubang semut.
Riska mondar-mandir di dalam kamar Angga, masih merasa takut untuk bertemu mereka.
"Riska, ayo keluar, ditunggu Kakek sama Fajar." Angga memanggil Riska yang dari tadi tidak keluar kamar.
Riska berlari kecil mendekati pintu kamar. "Apa Kakek dan Fajar marah?" tanya Riska hati-hati.
"Tidak. Ayo keluar dulu, baru kita jelaskan kepada mereka." Riska lalu membuka pintu kamar. "Angga aku takut, tadi saja Fajar sudah marah," ucap Riska pelan.
Angga menatap Riska, merasa bersalah, biar bagaimanapun ini terjadi karena permintaanya. "Tidak apa-apa, aku yang akan jelaskan pada mereka," kata Angga meyakinkan.
Angga menggenggam tangan Riska, niatnya ingin menenangkan Riska yang masih merasa takut, karena tadi di bentak Fajar.
Beda dengan pandangan Kakek dan Fajar, mereka mengira Angga benar-benar memiliki hubungan dengan Riska.
Kakek yang merasa bahagia, karena berfikir, akhirnya cucunya yang selama ini tidak tertarik pada perempuan, mempunyai orang yang dicintai. Apalagi itu wanita itu tumbuh besar bersamanya.
Beda dengan Fajar, dia merasa kesal dengan Angga. Jika memang dia bersama Riska, seharusnya Angga menjaganya. Melihat penampilan Riska tadi, Fajar yakin, mereka sudah melangkah lebih jauh.
Angga dan Riska duduk berdampingan. Riska tidak mau melepaskan genggaman tangan Angga, karena masih merasa takut.
"Jelaskan!" kata Kakek dan Fajar bersamaan.
Angga menatap mereka sebentar, lalu mulai menjelaskan, "Kakek, Fajar, kalian salah paham. Aku dan Riska tidak melakukan apa-apa," jelas Angga.
Fajar berdecak sebal, tentu dia tidak percaya kata-kata Angga begitu saja, setelah apa yang dilihatnya tadi.
Melihat reaksi Fajar yang tidak percaya, Angga kembali menjelaskannya. Namun menurut Fajar, semakin Angga menjelaskan, itu malah terkesan sebagai pembelaan diri.
"Diam." Fajar yang kesal, melempar Angga dengan bantal sofa di belakangnya.
Lemparan Fajar tidak hanya bantal sofa saja, tapi juga ada satu barang yang ikut terjatuh di hadapan mereka.
Melihat adanya benda kecil yang ikut terjatuh, membuat mereka sontak melihat benda itu secara bersamaan.
Fajar yang memang paling dekat, langsung mengambilnya, setelah melihat benda itu, Fajar menatap Angga marah.
Fajar memukuli Angga dengan bantal sofa. Fajar merasa marah dan kecewa dengan apa yang telah dilakukan Angga pada Riska. Fajar ingin sekali memukul Angga tetapi, walau bagaimanapun, mereka tumbuh besar bersama, membuat Fajar tidak tega jika harus membuat sahabatnya babak belur. "Cukup Jar!" ucap Kakek. Kini mereka berempat tengah duduk berhadap-hadapan. Angga dan Riska merasa takut dan tertekan dengan tatapan Kakek dan Fajar. Riska yang sangat takut, menundukkan kepalanya, tidak berani menatap mereka. "Jadi," ucap Kakek meminta penjelasan. "Kakek, kan Angga sudah bilang tadi. Angga dan Riska tidak melakukan apa-apa. Sumpah," ucap Angga sambil mengangkat tangannya.
Kini, Angga dan Riska tengah duduk di dalam mobil. Mereka terdiam cukup lama, dengan pikiran yang berkecamuk. Riska menatap rumahnya dengan perasaan takut. Dia sudah membayangkan Papanya akan mengamuk nanti. Setelah beberapa jam Kakek dan Fajar pergi dari apartemen Angga. Mereka menghubungi Angga, memintanya agar segera datang ke rumah Riska, untuk menyelesaikan masalah ini. Riska yakin, pasti Kakek sudah mengatakan kesalah pahamannya pada Papanya. Tidak jauh berbeda dengan Riska. Angga juga merasa takut untuk berhadapan dengan Rosyad. Angga paham sekali dengan tabiat Papanya Riska itu. Selama itu berhubungan dengan Riska, Rosyad pasti akan bersikap protektif, tidak peduli kepada siapapun itu.
Tiba juga hari ini. Hari yang ditunggu Kakek Hadi, namun tidak, dengan kedua mempelai. Hari pernikahan Angga dan Riska. Riska tampak memaksakan senyum, menyapa para tamu yang hadir. Riska menatap wajah-wajah bahagia orang terkasih. Wajah Papanya yang tersenyum, meski begitu, Riska sadar, Papanya masih merasa sedih dan belum merelakan Riska untuk menikah. Sedih karena, kesalahpahaman yang sudah terlanjur terjadi. Jika saja kesalahpahaman itu tidak terjadi. Pernikahan ini pasti tidak akan pernah ada. Wajah Papanya pasti tidak akan menampakkan senyum yang tidak tulus seperti sekarang. "Senyum dong cantik!" kata Fajar sambil menarik pipi Riska. "Fajar, lepas!" Riska tidak ada te
Di dalam kamar Angga, kini tidak hanya dia saja yang menempati, tapi juga sang Istri.Angga keluar dari kamar mandi dengan bertelanjang dada, mengusap rambutnya yang basah dengan handuk, selepas mandi.Sementara Riska, kini tengah menghadap cermin di meja rias. Riska membersihkan make upnya terlebih dahulu sebelum dia mandi."Ka, ambilin baju dong!" perintah Angga.Riska menoleh ke Angga sebentar, kemudian beranjak dari duduknya, untuk mengambilkan baju Angga.Riska membuka lemari baju Angga, dan setelah di bukanya, Riska tidak heran lagi saat melihat, jika baju Angga warnanya hanya hitam, abu-abu dan putih. Di dominasi warna hitam. "Ini." Riska memberikan kaos berwarna hitam.
Pagi hari, Riska terbangun dari tidurnya. Saat membuka mata, Riska merasa ada yang aneh. Kamar yang ditempatinya ini, bukanlah kamarnya. "Ini dimana," pikirnya. Saat matanya menelisik ruangan itu, Riska merasa jika ada sesuatu yang menimpa perutnya. Riska lalu beralih menatap perutnya, dan melihat ada sebuah tangan yang melingkar di sana. "Tangan siapa ini?" pikir Riska. Riska menoleh ke samping, melihat ternyata Angga lah yang memeluknya. Riska kaget bukan main saat sadar, jika kini dia tengah tidur seranjang bersama dengan Angga. "Aarrgghh!" Sontak saja Riska langsung berteriak, dan refleks mendorong Angga yang tengah tertidur, hingga terjatuh ke lantai. Riska langsu
"Kamu juga lupa tadi?" tanya Riska tidak percaya.Angga mengangguk. Membelai kepala Riska dengan penuh kasih sayang.Mata Angga tanpa sengaja melihat jam di dinding yang sudah hampir jam delapan, Angga lalu mengajak Riska untuk bersiap turun kebawah.Memikirkan, jika mereka berdua tadi sama-sama melupakan pernikahan mereka, membuat Angga terkekeh geli sendiri.Riska menatap Angga dengan bingung. "Kenapa kamu tertawa seperti itu?" tanya Riska.Angga menggeleng sambil tersenyum. "Bukan apa-apa. Sana, kamu cuci muka, dan gosok gigi dulu! Mandinya nanti saja!" Angga mendorong pelan Riska, menuju kamar mandi."Kenapa nggak mandi saja sekalian sih Ga?" protes Riska."Udah sana! Aku juga belum cuci muka. Lihat! Sudah jam delapan lebih," ucap Angga sambil menunjuk jam di dinding.Riska sontak langsung melihat jam di dind
Angga yang melihat Riska menangis, langsung memeluknya dan menenangkannya. Setelah merasa Riska sudah agak tenang, Angga melepas pelukannya. Menghapus sisa air mata Riska. "Gini aja, kamu tanya sama yang lain dulu. Kalau mereka mengizinkan, aku janji, aku bakal izinin juga. Tapi kalau mereka tidak izinin, kamu tidak boleh merengek lagi kedepannya. Bagaimana?" Angga menawarkan solusi pada Riska, yang sebenarnya bukanlah solusi, karena sudah bisa dipastikan, mereka tidak akan pernah memberi Riska izin untuk itu. Riska tampak berpikir. "Sepertinya boleh juga usul Angga," pikir Riska. "Janji! Kalau mereka izinin, kamu bakal izinin aku nyetir sendiri." Riska bahkan melupakan fakta, jika tidak mungkin keluarganya memberi izin. Angga mengangguk tersenyum. Membujuk Riska seb
"Tidak boleh!" Teriak mereka lagi.Angga sudah tahu akan begini jadinya. Tidak mungkin mereka semua memberikan izin."Ris, kamu sudah lupa? Dulu pas kamu belajar nyetir sama aku, berakhir bagaimana?" tanya Fajar.Jelas saja Fajar sangat melarangnya. Dulu, pas Riska merengek padanya, untuk minta di ajarin menyetir, Fajar tidak tahan dengan rengekannya, sehingga akhirnya, Fajar bersedia mengajarinya.Saat itu, Riska tampak mendengarkan arahan dari Fajar dengan serius. Kecepatannya juga lambat, dua puluh kilometer per jam.Begitu Riska merasa jika jalan yang dilaluinya itu lenggang, dia tiba-tiba menambahkan kecepatannya. Berpikir tidak apa-apa, karena jalan nya sangatlah lenggang. Sampai tiba di sebuah tikungan, entah apa yang