“Loh kok sudah pulang Sar?”
Pertanyaan Umi menyambut Sarah yang baru saja masuk ke dalam rumah. Ia kemudian menyalimi tangan Uminya yang sedang duduk membaca buku di sofa ruang tamu.
“Sudah Mi, izin sama Pak Harun soalnya mendadak pusing,” jawab Sarah dengan apa adanya.
Ia tidak bohong saat mengatakan pusing. Umi pun meneliti raut wajah anak bungsunya yang sedikit pucat dan lesu. Padahal saat berangkat Sarah tampak segar dan baik-baik saja.
“Kamu sakit?”
“Nggak tau Mi cuma sedikit pusing aja, Sarah pamit istirahat dulu ya Mi?”
Umi mengangguk. “Yasudah, kalau belum baikan makan dan langsung minum obat.”
Sarah hanya mengangguk. Ia kemudian berjalan lesu menuju kamarnya. Rasanya ia benar-benar ingin istirahat. Lelah sekali, padahal Sarah tidak banyak tugas hari ini. Ia hanya mendengarkan cerita Bu Yanti saja.
Sesampainya di kamar, Sarah langsung menutup pintu kamarnya, kemudian meletakkan tas selempang ke sembarang tempat dan ia pun segera menjatuhkan dirinya ke kasur tanpa melepaskan hijab serta seragam kerja kebesarannya.
Gadis berparas menenangkan itu memejamkan matanya lama, meresapi rasa pusing yang mendera.
[Saya Rafi. Rafi anggara jaya.]
[Kamu sudah tau kan bahwa kita akan dijodohkan?]
[Dan saya menghubungi kamu, sebab ingin tau pendapat kamu atas perjodohan ini.]
[Saya sendiri fleksibel, nggak akan sakit hati jika kamu menolak, jadi nggak perlu sungkan kalau mau menolak.]
[Anggap saja kita sedang berdiskusi.]
[Oh ya saya orangnya nggak kaku tenang saja.]
Rentetan chat dari Rafi Anggara Jaya kembali teringat dengan sangat jelas. Belum ada yang Sarah balas sebab ia sudah pusing dan syok lebih dulu.
Tangan kanannya memijit pelipisnya masih dengan mata yang terpejam. Hanya gara-gara soal pernikahan otaknya menjadi semrawut, acak-acakan dan stres. Kalau seperti ini bagaimana bisa ia menenangkan diri dan berpikir jernih seperti maunya Abi dan Umi.
Disaat-saat tertekan seperti inilah, Sarah jadi ingin langsung menolak mentah-mentah penawaran Abi. Namun dipikir lagi, menolak tentu tidak akan menyelesaikan masalah apalagi menyangkut dua belah pihak keluarga yang sudah meniatkan perjodohannya dengan Rafi Anggara Jaya.
“Ya Allah..” ucap Sarah lelah bercampur pasrah. “Aku belum mau menikah,” lanjutnya kemudian.
Dan entah sejak kapan, mungkin karena memang sedang banyak pikiran, lelah juga bercampur pusing sehingga pada menit berikutnya Sarah sudah terlelap dengan nyenyak. Ia bahkan tak terganggu dengan getaran ponsel berasal dari kantong seragamnya yang beberapa kali berbunyi.
***
“Sarah kamu belum siap-siap?” suara Umi yang tiba-tiba terdengar mengagetkan Sarah yang sedang khusyuk makan di meja makan sendirian.
Ia mendongakkan kepalanya, melihat Umi yang sudah rapih dengan gamis dan make up tipis-tipis. Sarah juga melirik Abi yang berjalan melewati ruang makan, sudah rapih juga, memakai celana dasar serta kemeja panjang.
Sarah yang merasa tidak tau Umi dan Abinya mau pergi kemana pun langsung bertanya. “Umi sama Abi mau pergi?” tanyanya yang tidak sengaja mengabaikan pertanyaan Umi sebelumnya.
“Kok kamu malah tanyanya seperti itu? Om Jaya dan keluarganya mau datang ke rumah kita.”
“Om Jaya siapa sih Umi?” tanya Sarah sambil kembali makan. Ia sendiri santai saja, memakai pakaian rumahan celana training dan kaos oblong tanpa menguncir rambut sepunggungnya. Bertolak belakang dengan Umi yang kini menampilkan wajah syok menatap anak bungsunya itu.
“Jadi kamu lupa? Om Jaya ayahnya Rafi. Dan kamu tanya Rafi siapa, Rafi Anggara Jaya calon mu.”
Sarah langsung kaget bukan main. Ia menatap Uminya dengan mulut yang masih penuh makanan belum ia telan. Perlahan ia pun menelan makanannya dan ingin mengajukan protes karena tidak diberitahu lebih dulu, namun sebelum kalimat protesnya keluar, Umi lebih dulu menyanggah.
“Umi sudah kasih tau dan kamu jawab iya didalam kamar.”
“Kapan? Umi nggak ngasih tau aku kok, kayaknya nggak bilang iya, dan seingat ku Umi nggak ngasih—“
Tin.. Tin..
Sarah tidak melanjutkan kalimatnya, ia saling lirik dengan Umi setelah mendengar suara klakson mobil. Dan ketika terdengar percakapan Abi dan tamu di luar, seketika itu juga Sarah langsung berlari menuju kamarnya sambil berseru.
“Umi gimana ini!”
Sarah panik. Sesampainya di dalam kamar, malah ia semakin bingung. Bukannya mengganti pakaian yang pantas malah berjalan bolak-balik dan tiba-tiba ngeblank tidak tau harus berbuat apa. Belum lagi perakapan-percakapan yang terdengar di ruang tamu membuat Sarah semakin ketar-ketir.
“Nak Rafi coba tengokin Sarah di dalam kamar.”
Hah? Demi apa Abi bilang seperti itu?
“Iya Abi.”
Suara maskulin yang terdengar asing di telinga Sarah pun menjawab. Suara itu terdengar jelas hingga membuat degupan jantung Sarah semakin menggila. Ia menunggu harap-harap cemas saat langkah kaki terdengar semakin mendekat.
Semakin dekat dan semakin dekat, hingga..
Tok.. tok.. tok..
Sarah terdiam kaku, tak terdengar lagi degupan jantung yang bertalu-talu. Ia memperhatikan dirinya didalam cermin. Wajah pias akibat menahan napas, kemudian ia memperhatikan pintu yang masih di ketuk.
Tok.. tok.. tok..
Drtt.. drtt.. drtt..
Drtt.. drtt.. drtt..
Terkejut bukan main, Sarah akhirnya terbangun dari tidurnya. Ia masih linglung, masih menggunakan hijab. Dan karena kembali merasakan getaran di saku rok, ia pun segera merogoh kedalam saku dan mengambil benda pipih yang masih saja bergetar.
Tanpa melihat kontak yang tertera Sarah pun langsung mengangkatnya.
“Halo,” sapanya masih dengan nyawa yang belum terkumpul.
“Halo, Sarah.”
Suara khas laki-laki yang terdengar tidak asing itu pun seketika menyadarkan Sarah sepenuhnya. Buru-buru ia melihat kontak si pemanggil. Dan benar, ternyata suara tersebut milik seseorang yang ada dalam mimpinya tadi yaitu Rafi Anggara Jaya.
“Oh iya halo,” suara lembut seorang wanita menyapa ramah gendang telinganya. Laki-laki itu pun berdiri meninggalkan kursi kebesarannya untuk menuju sofa di ruang kerjanya. Tubuhnya tinggi, tegap, berbalut jas formal yang pas di badan sehingga menambah kesan karismatik sesuai dengan tampangnya yang bersih dan enak dipandang. Di satu-satunya meja kerja terdapat name tag stand yang menampilkan namanya beserta jabatan yang disandang. Yaitu Rafi Anggara Jaya dengan jabatan marketing manager. “Maaf Sarah, apa saya ganggu? Kamu lagi sibuk?” pertanyaan itu terlontar akibat tidak ada respon setelah beberapa kali ia menghubungi wanita itu. “Nggak terlalu sibuk, ini baru pulang kerja, maaf Mas tadi belum sempat respon chatnya.” Mas? Entah bagaimana panggilan umum itu membuat Rafi berdebar sejenak. Ia selalu dipanggil Mas di rumah karena memiliki adik, namun saat Sarah yang faktanya merupakan wanita yang akan dijodohkan dengannya
“Itu kue nya sudah matang belum, coba kamu liatin dulu.” Sarah pun hanya mengangguk. Gadis itu meletakkan pisau ke wastafel kemudian mencuci tangannya dan beralih ke pemanggangan untuk melihat kue brownis terakhir yang di oven. “Sudah matang Mi, tapi kayaknya agak gosong.” Sarah mengeluarkan loyang yang ada di urutan tiga paling bawah, kemudian ia juga mengeluarkan kedua loyang dari urutan satu dan dua bergantian. “Gosong sampai item?” “Nggak sampai item, cuman coklat kaya gini.” Gadis itu menunjukkan sisi bawah kue brownis yang tampak kecoklatan kearah Uminya yang sedang mengulek bumbu dengan cobek. “Nggak papa, yang agak gosong-gosong itu buat makan kita saja, nggak disuguhkan ke tamu,” kata Umi yang kemudian diangguki Sarah. Beberapa jam sudah berlalu, Sarah dan Umi sudah sibuk di dapur sejak jam di dinding menunjuk pukul lima dini hari. Dan sekarang baru pukul tujuh sedangkan Sarah sudah berkeringat seperti b
"Disini saja, silahkan duduk Mas." Sarah buru-buru beralih ketika pandangan mata mereka bertemu. Senyum simpul terbit di bibir laki-laki tampan itu ketika melihat calon istrinya yang masih malu-malu karena belum kenal.Sejujurnya Rafi juga merasa gugup. Ia sudah terbiasa berdiskusi dengan klien yang tidak ia kenali sebelumnya, dari yang penting hingga biasa saja, tapi dengan Sarah tetap saja gugup apalagi ini adalah pertemuan pertama mereka.“Kamu juga duduk, masa berdiri.”“Oh iya!” seru Sarah tiba-tiba kaget sendiri. Ia sontak duduk di satu kursi kosong sebelah Rafi namun dibatasi dengan meja bundar kecil di sisinya.Laki-laki itu pun tidak bisa menahan senyum gelinya atas tingkah Sarah. Ia berdehem agar mengurangi kecanggungan yang ada.Suasana di teras rumah tampak segar dengan angin sepoi. Apalagi rumah Sarah banyak tertanam bunga dan pohon yang terawat. Walaupun sederhana, Rafi terkesan dengan rumah yang baru ia datang
Karakteristik kampung yang mana gosip akan cepat menyebar luas memang benar adanya. Satu orang berbicara dengan satu orang lainnya. Kemudian satu orang lainnya kembali berbicara dengan geng ibu-ibu gosip dan kemudian menyebar luas lagi hingga seluruh kampung tau. Sehingga yang sedang dibicarakan itu menjadi hot news dan viral.Dan Sarah seminggu yang lalu dari acara pertunangan hingga sekarang acara pernikahan akan digelar menjadi headline mulut ke mulut orang-orang di kampungnya.“Anak bungsunya Pak Zaelani dijodohkan lagi, apa nggak memaksa kehendak anak kalau begitu?”“Eh Bu Tiya nggak tau aja sih, calon lakinya itu kaya loh, kayak Hanum waktu dulu, suaminya kan kaya raya, sekarang pasti hidupnya tentram dan betah-betah aja, nggak kayak awal sampai menghebohkan kampung nolak perjodohan.”“Maksudnya kok dijodoh-jodohkan segala, kalo memang berjodoh kan ketemu juga.”“Duh Bu,
[Keesokan hari setelah acara pernikahan berlangsung] “Abi, Umi, izin untuk bawa Sarah ke Jakarta, tinggal bersama saya. Saya akan perlakukan dengan baik anak bungsu Umi dan Abi.” Perkataan Rafi mengundang perhatian Sarah yang tadi hanya menunduk. Ia sendiri duduk berdampingan dengan Rafi di ruang tamu. Di hadapan mereka Umi dan Abi juga duduk bersebelahan. Sedangkan di sudut lainnya Bang Rizam bersama istrinya Mbak Anya, serta Kak Hanum dengan suaminya Kak Fajar. Keponakan-keponakan Sarah yaitu Attamimi, Bilqis dan Deva sedang bermain di teras. Rafi berkata tegas dan bersungguh-sunggu dengan ucapannya. Bang Rizam selaku Abang yang sangat menyayangi adik bungsunya itu merasa bersyukur dan semakin rela melepaskan sang adik. Sebab ia walaupun terlihat tidak begitu ikut campur dengan perjodohan Sarah, namun nyatanya sebelum acara pertunangan sang adik, Rizam lebih dulu menghubungi Rafi, berbincang-bincang untuk menilai calon dari adiknya itu. “Meman
Pagi sudah menjelang, tidak ada suara ayam yang berkokok, namun sempat ada suara deru mobil di luar. Sarah yang baru saja menyelesaikan ibadah subuh pun segera melipat sajadah dan mukenanya. Lalu meletakkannya kembali ke dalam lemari geser menempel dinding. Awalnya Sarah tertegun dengan kamar tidur yang akan ia tempati. Saat pertama kali Rafi membuka pintu kamarnya dengan lebar-lebar, wanita itu hanya bisa terpesona. “Sebenarnya ini kamar cadangan, kalau ada tamu bisa tidur di kamar ini, tapi sekarang sudah jadi kamar kamu, sudah saya rapihkan sedikit juga, tapi maaf kalau nggak sesuai sama kamu.”
“Kamu bisa memilih apapun buat stok bahan masakan,” kata Rafi sembari mendorong trolly disamping Sarah. Laki-laki itu berpakaian santai, kaos oblong dan celana bahan. Sedangkan Sarah memakai pakaian kebesarannya, rok dengan kemeja oversize dan hijab pashmina menutupi dada. “Karena saya nggak tau soal dapur, jadi saya menyerahkan dan percaya ke kamu,” ucap laki-laki itu sekali lagi karena melihat kesungkanan wanita disampingnya. Kini mereka sudah berada di rak bumbu-bumbu dapur dan sayuran di sebuah supermarket daerah Mampang Jakarta Selatan. Sarah mengamati secara seksama, namun yang paling ia amati tentu adalah harganya yang cukup mahal menurutnya. Dengan harga seperti itu Sarah semakin sungkan untuk mengambil banyak bahan masakan. “Sarah,” panggil Rafi. “Ambil-ambil aja,” katanya lagi. Sarah menghela nafas, ia pun kemudian mengangguk dan mulai mengambil bahan masakan yang sangat diperlukan seperti cabai, bawang putih, bawang merah, tomat, sa
Pada layar ponsel, jam analog menunjukkan angka 4. Kesunyian melanda sebab di luar masih petang, hanya beberapa kali terdengar suara kendaraan dengan samar. Sedangkan waktu subuh juga masih lama sekitaran tiga puluh menitan lagi.Sarah yang belum lama bangun pun segera mencuci muka dan gosok gigi di kamar mandi. Ia akan ke dapur lebih dulu, memasak untuk sarapan karena Mas Rafi akan berangkat kerja jam tujuh pagi.Namun sebelum keluar, Sarah memakai kerudung bergo miliknya dan barulan keluar menuju dapur. Kesunyian menyambutnya ketika ia baru membuka pintu kamar. Sempat wanita itu melihat pintu di depan kamarnya. Masih tertutup dan tidak ada tanda-tanda terbuka.Maka Sarah pun kembali berjalan dengan hati-hati agar tidak menimbulkan suara yang terlalu nyaring dan mengganggu.Namun semakin ia berjalan dan menuruni tangga, semakin terdengar jelas pula suara televisi di ruang keluarga. Wanita itu pun sedikit mempercepat langkahnya.Apa, Mas Rafi s