Pagi sudah menjelang, tidak ada suara ayam yang berkokok, namun sempat ada suara deru mobil di luar. Sarah yang baru saja menyelesaikan ibadah subuh pun segera melipat sajadah dan mukenanya. Lalu meletakkannya kembali ke dalam lemari geser menempel dinding.
Awalnya Sarah tertegun dengan kamar tidur yang akan ia tempati. Saat pertama kali Rafi membuka pintu kamarnya dengan lebar-lebar, wanita itu hanya bisa terpesona.
“Sebenarnya ini kamar cadangan, kalau ada tamu bisa tidur di kamar ini, tapi sekarang sudah jadi kamar kamu, sudah saya rapihkan sedikit juga, tapi maaf kalau nggak sesuai sama kamu.”
“Kamu bisa memilih apapun buat stok bahan masakan,” kata Rafi sembari mendorong trolly disamping Sarah. Laki-laki itu berpakaian santai, kaos oblong dan celana bahan. Sedangkan Sarah memakai pakaian kebesarannya, rok dengan kemeja oversize dan hijab pashmina menutupi dada. “Karena saya nggak tau soal dapur, jadi saya menyerahkan dan percaya ke kamu,” ucap laki-laki itu sekali lagi karena melihat kesungkanan wanita disampingnya. Kini mereka sudah berada di rak bumbu-bumbu dapur dan sayuran di sebuah supermarket daerah Mampang Jakarta Selatan. Sarah mengamati secara seksama, namun yang paling ia amati tentu adalah harganya yang cukup mahal menurutnya. Dengan harga seperti itu Sarah semakin sungkan untuk mengambil banyak bahan masakan. “Sarah,” panggil Rafi. “Ambil-ambil aja,” katanya lagi. Sarah menghela nafas, ia pun kemudian mengangguk dan mulai mengambil bahan masakan yang sangat diperlukan seperti cabai, bawang putih, bawang merah, tomat, sa
Pada layar ponsel, jam analog menunjukkan angka 4. Kesunyian melanda sebab di luar masih petang, hanya beberapa kali terdengar suara kendaraan dengan samar. Sedangkan waktu subuh juga masih lama sekitaran tiga puluh menitan lagi.Sarah yang belum lama bangun pun segera mencuci muka dan gosok gigi di kamar mandi. Ia akan ke dapur lebih dulu, memasak untuk sarapan karena Mas Rafi akan berangkat kerja jam tujuh pagi.Namun sebelum keluar, Sarah memakai kerudung bergo miliknya dan barulan keluar menuju dapur. Kesunyian menyambutnya ketika ia baru membuka pintu kamar. Sempat wanita itu melihat pintu di depan kamarnya. Masih tertutup dan tidak ada tanda-tanda terbuka.Maka Sarah pun kembali berjalan dengan hati-hati agar tidak menimbulkan suara yang terlalu nyaring dan mengganggu.Namun semakin ia berjalan dan menuruni tangga, semakin terdengar jelas pula suara televisi di ruang keluarga. Wanita itu pun sedikit mempercepat langkahnya.Apa, Mas Rafi s
Perkara menjadi diri sendiri, Sarah pernah merasakannya sewaktu kost di kota sembari kuliah. Di sana ia tinggal bersama dua teman satu jurusan. Banyak sekali kenangan yang tak terlupakan. Sebab saat itu Sarah benar-benar merasa plong, seperti tidak ada yang ditutup-tutupi. Karakternya yang sebenarnya penyuka kebebasan pun tereksplor semasa kuliah dan semasa menjadi anak kost.Sarah sering berjalan malam menjelajah jalanan hanya semata ingin terkena sepoi angin malam, supaya menghilangkan stres akibat tugas menumpuk. Lalu tak lupa pulangnya membeli es krim. Teman-temannya juga sering mengajak traveling ramai-ramai dengan motor selepas ujian. Saat satu kost gabut ditanggal tua, Sarah dan kedua temannya itu akan berjalan sore hingga malam menjelajah jalanan tanpa tujuan dan kemudian balik setelah lelah. Kurang kerjaan, tetangga lain berpikiran seperti itu. Namun bagi Sarah dan kedua temannya itu menganggap apa yang mereka lakukan adalah bentuk untuk menggenggam kebahagi
Sabtu pagi tampak kabut awan menutupi sinar matahari yang terpancar. Tidak mendung, hanya saja langit yang biasanya cerah kini tertutup gumpalan awan putih tebal. Sehingga lebih redup dari biasanya. Cocok sekali untuk menikmati weekend, pikir Rafi. Laki-laki itu pun sudah siap dengan perlengkapan olahraganya. Sudah memakai sepatu dan menyampirkan handuk kecil ke lehernya. Ia juga menyempatkan untuk merenggangkan otot-ototnya dengan gerakan kecil di teras sembari menunggu seseorang. “Bik Arni, Sarah mana?” tanya Rafi setelah melihat wanita gempal usia lima puluh tahun keluar dengan membawa ember dan gayung. “Mbak Sarah lagi diatas Mas, lagi c
“Maaf ...” ucap Rafi dengan tulus.Laki-laki berusia dua puluh tujuh tahun itu memapah Sarah di punggungnya. Setelah membalut pergelangan kaki Sarah yang terkilir dengan handuk, Rafi memutuskan langsung pulang dengan cara menggendong istrinya.Namun bukan hal mudah membujuk Sarah untuk bersedia digendong. Sebab wanita itu benar-benar kepala batu, alhasil Rafi harus membujuk bak membujuk anak kecil, dengan pelan dan berdebat terlebih dahulu.“Bagaimanapun tadi gara-gara saya, minta maaf ya, Sarah.”Rafi menolehkan kepalanya untuk melih
Tok ... tok ... tok ...Ketukan pintu nyaring terdengar memenuhi ruangan bercat putih. Ketika Sarah baru saja menyelesaikan ibadah shalat magrib. Gadis itu tampak kesulitan untuk bangun padahal kakinya masih sakit saat ditekuk. Maka ia bertopang erat pada pinggiran ranjang tempat tidurnya. Namun belum juga ia bangun, pintu kembali terketuk.“Masuk aja!” seru Sarah tidak tau siapa yang mengetuk pintunya. Jika bukan Bik Arni maka Rafi. Sebab Sarah tidak bisa membuka pintu dengan segera.Seorang langsung terlihat begitu pintu dibuka dari luar. Sarah masih memakai mukena lengkap. Gadis itu masih kesulitan untuk berdiri
Rafi Anggara Jaya, seorang laki-laki perfeksionis, memiliki ambisi juang serta pemikiran yang dewasa. Semasa remaja dan masih lebih muda, ia tidak banyak dekat dengan wanita, namun pernah beberapa kali berkencan hingga hilang akal. Laki-laki itu tidak pernah mengakui dirinya sosok pria yang baik-baik. Sebab pergaulan modern dengan hingar bingar kota Jakarta, sudah ia cicipi. Namun semua keburukan yang dulu pernah ia lakukan, nampaknya Tuhan masih berbaik hati padanya. Terbukti dengan mendatangkan sosok wanita baik-baik seperti Sarah. Kini dalam keadaan malam yang semakin larut dan angin dingin yang semakin terasa, Rafi menolehkan kepala ke samping. Tepatnya pada Sarah yang menyenderkan kepala sudah terpejam. Wanita cantik itu te
“Sarah ...” Panggilan itu menggema yang kemudian diiring dengan suara langkah kaki menuruni tangga. Si pelaku tersebut adalah Rafi. Pagi-pagi saat jarum pendek jam menunjuk angka enam, laki-laki itu sudah siap dengan pakaian formal khas kantoran, yaitu kemeja, jas serta celana bahannya. Namun karena ia sedang menuruni tangga agak tergesa sembari memanggil Sarah, tentu tandanya masih ada sesuatu yang terlupakan. “Sarah, saya cari dasi hitam bergaris, kok nggak ada ya?” tanya Rafi setelah sampai di dapur, dimana sesorang yang sedang ia cari berada disana bersama dengan Bik Arni yang sibuk memasak untuk menu sarapan pagi.