“Kalau kamu sudah bosan bekerja untuk saya, silakan angkat kaki dari perusahaan ini, Nona Prilly!”
Aduh, kenapa lagi ini? Tiba-tiba wajah pemegang tahta tertinggi perusahaan ini berubah serius. Kedua mataku hanya bisa terbelalak takut. Sedangkan kedua tanganku meremas samping rokku dengan cemas.
“Ma-maksud Bapak?”
Atasanku bangkit dari tempat duduknya, Pria berbadan tegap itu mendekat ke arahku dengan kaki panjangnya. Manik wajahnya yang dingin membuatku semakin menciut saja.
“Ya Tuhan, ya Tuhan. Dia berjalan kesini! Salah apa lagi sih, aku?” Aku cemas bukan main.
Perlahan aku melangkah mundur seiring Pak Harvey yang makin mendekat, berharap tetap menjaga jarak darinya.
Akan tetapi, sayang, tanpa kusadari punggungku sudah mentok menyentuh rak buku.
“Sial!” Aku mengumpat lagi dalam hati.
“A-ada apa, Pak?” cicitku, Aku benar-benar tidak berani memandang manik cokelat Pak Harvey yang biasanya tanpa ekspresi dan memilih menunduk.
“Kamu.” Suaranya yang dalam menggelitik telingaku. Membuatku menahan napas. “Tidak sadar sudah melakukan kesalahan?”
Apa, Pak? Apa lagi memangnya salahku ini? Kan bisa diomongin baik-baik. Nggak perlu nakutin gini ini dong.
Namun, pada akhirnya aku hanya bisa berkata, “maaf, Pak. Saya kurang tahu letak kesalahan saya.”
Seketika itu Pak Harvey mengangkat tangannya, menunjukkan isian roti isi ke hadapan mataku.
“Astaga!” Aku melebarkan mata melihat isian roti di hadapanku. “Ma-maaf, Pak. Padahal saya sudah pesan kalau tidak pakai bawang bombay…”
Pak Harvey memelototiku, “Kenyataannya ada!” hardiknya. “Kamu tahu saya alergi bawang bombay kan? Atau memang kamu sengaja mau bunuh saya?”
Aku segera menggelengkan kepalaku.
Segampang itu kah membunuh anda, Pak? Cuma pakai bawang bombay.
Dari sudut mataku, di bawah aku melihat pergerakan. Rupanya kaki Pak Harvey sedang meraih sensor tempat sampah di samping kakiku, setelah penutupnya terbuka, dia menjatuhkan roti isi dari tangannya begitu saja.
“Kamu tahu orang macam apa yang paling membuat saya kesal?”
Aku tak berani menjawab, hanya menunduk. Bibirku gemetar.
“Orang yang tidak bekerja dengan baik, tapi menerima gaji mereka,” terang Pak Harvey dengan suara tenang penuh penekanan. Auranya semakin menakutkan.
“Lihat saya!” Bentaknya. Membuatku terkejut dan segera mengangkat wajahku.
Perlahan, Dia mengacungkan telunjuknya tepat di depan wajahku, “mereka, adalah parasit yang bisanya hanya menikmati uang dari saya. Pergi!” tegasnya.
Gila, sakit sekali dalam hati ini ditunjuk pas di depan muka seperti itu.
Berusaha tenang, aku melangkah mundur. Kemudian berbalik untuk keluar dari ruangan raja neraka ini, kembali ke mejaku dengan langkah gontai.
Putus asa rasanya, aku sungguh lelah bekerja di perusahaan ini. Aku tahu cukup sulit meraih posisi sepertiku di perusahaan besar seperti Adamindo Group, tapi sampai kapan aku bisa tahan kalau hampir tiap hari kena jilatan lidah api si raja neraka seperti ini…
Ya Tuhan… tak terasa air mataku sampai menetes.
Padahal sepagian ini aku sudah berusaha keras.
Bayangkan saja, aku berangkat dari rumah sejak pukul lima pagi. Pergi ke binatu dulu untuk mengambil jas milik Bos galak itu, membeli kopi di cafe langganannya dan memastikan kopi itu sampai di depannya dalam suhu tak kurang dari 70 derajat celcius.
Tapi apa… ada saja kesalahan yang membuat aku dimarahi bos yang picky dan perfeksionis itu.
Sumpah, satu tahun bekerja di perusahaan ini bagaikan bekerja di neraka.
Dalam keadaan seperti ini, rasanya aku sangat ingin menghubungi Mr. Bossy.
Ah… menyebut namanya saja perasaanku membaik rasanya.
Satu tahun ini dia lah yang memberiku semangat untuk bertahan bekerja di perusahaan ini. Meski kami belum pernah bertatap muka, tapi bagiku dia adalah kekasihku sebenarnya. Sayangnya nomor ponsel Mr. Bossy hanya aktif malam hari, jadi aku harus bersabar menunggu malam datang untuk menelponnya.
Sungguh, mimpi apa aku semalam hingga pagi-pagi aku sudah sesial ini. Tapi sepertinya aku tidak mimpi apa-apa. Aku tidur pulas setelah puas. Ah… Mr. Bossy.
Mungkin wajahku saat ini sudah memerah karena mengingat obrolan intim kami semalam di telepon. Iya, kami memang sering mengobrol panas untuk sekedar melepas stress, memuaskan hasrat masing-masing dan kami menikmatinya.
Baiklah, karena aku tidak bisa menghubunginya, saat ini aku hanya bisa berusaha menenangkan diriku sendiri dengan fokus pada pekerjaanku lagi ketika tiba-tiba ponselku bergetar.
“Ya, Put?”
Adik laki-lakiku menelepon.
“Kak, apa… Kakak punya uang dua ratus juta? Boleh pinjam dulu?”
Gila, apa-apaan ini. Aku langsung melotot mendengar nominal yang diucapkan adikku.
Enteng sekali dua ratus juta keluar dari mulutnya. Campur aduk rasanya, ingin marah, ingin menangis.
Satu bulan ini puluhan juta sudah ku keluarkan untuk membiayai operasi dan perawatan kakakku. Dia belum sadarkan diri juga setelah kecelakaan yang membuat kepalanya gegar otak karena melerai pertengkaran adikku dengan preman. Sekarang apa lagi?Yang benar saja!“Jangan keterlaluan!” Bentakku. “Kakak di rumah sakit belum sadarkan diri sampai sekarang juga karena ulahmu. Aku saja tidak tahu uang tabunganku cukup atau tidak untuk biaya rumah sakit sampai dia sadar nanti. Bisa-bisanya kamu–”“Mau gimana lagi memangnya?” Dia malah balas membentak. “Kalau tidak segera dilunasi, mereka pasti melabrakku lagi.”“Kamu–”“Terus,” selanya lagi. “Utang itu… aku pakai sertifikat rumah Papa sebagai jaminannya. Kalau Kakak tidak ada uang, rumah Papa akan disita… dua hari lagi.”***Malam ini, sepulang dari tempat kerja, Aku bergegas menuju rumah sakit untuk menemani kakakku dengan pikiran yang begitu kacau. Suara adikku di telepon tadi menyebut nominal dua ratus juta dan kata “dua hari lagi” terus te
“Mr. Bossy?” Aku merasa heran karena tak biasanya kekasih virtual ku ini mengaktifkan nomor ponselnya di siang hari. Ada apa kali ini, momentum nya begitu pas. Apa mungkin chemistry kami yang mengundang Mr. Bossy untuk menelepon ketika Aku sedang terpuruk seperti ini? “Hi, Ily kamu sedang apa?” Aku semakin terisak mendengar kalimat sapaan Mr. Bossy. “Kamu nangis?” Aku masih terus terisak. Belum mulai bicara, bibir ini kelu rasanya, tak tahu harus mulai dari mana untuk bercerita. “Ok, lanjutkan dulu menangisnya. aku disini menunggumu untuk bercerita.” Tapi pengertiannya justru membuat emosiku meluap. “Huaaa, aku dipecat Bos menyebalkan itu,” Tangisku pecah, aku tak sanggup lagi menahannya, berusaha mengatur napasku. “Huf, huf, huf…” Aku mengipas wajahku dengan tangan, berharap air mataku mereda. “Padahal hari ini rencananya aku mau mengambil pinjaman di koperasi kantor karena rumah peninggalan orang tuaku digadaikan adikku, dan kakakku juga sedang sakit.” Seperti tak sadar, a
Setelah sekitar 30 menit duduk bersama si raja neraka dengan hening di dalam mobil. Aku merasakan mobil ini berhenti, tapi aku tidak tau ini dimana. Karena sepanjang jalan aku hanya bergelut dengan gelisahku.Aku memikirkan hutang keluargaku, memikirkan apa yang akan dia lakukan padaku dan bantuan seperti apa yang akan dia berikan. Semua itu hanya bisa kuraba dalam ilusiku.Tiba-tiba asisten pribadi Pak Harvey, bernama Panji yang tadinya duduk di barisan depan dengan tenang, keluar dari mobil, membukakan pintu untukku, mempersilahkanku turun.Begitu aku turun dari mobil dan membalikkan punggungku, “jet pribadi?" Gila, aku baru dadar dan tak percaya, di atas hamparan aspal yang luas di hadapanku, terparkir sebuah jet pribadi milik Adamindo Group. Bukankah ini terlalu membingungkan? Buat apa aku disini?Kita mau menikah di bali, atau bagaimana? Aku bahkan belum siap, siapa walinya, apa maksud dari semua ini?Sontak aku melangkah mundur, tapi seorang pramugari datang dan tersenyum padaku
Turun dari pesawat, aku tak bertanya apapun pada Pak Harvey, begitu juga sebaliknya. Bahkan dia meninggalkanku di belakang. Hanya ada Panji yang siaga di sampingku, membantu aku turun dari pesawat. Jujur, aku sangat penasaran sebenarnya, skenario apa ini, ada juga kekhawatiran, bagaimana kalau Raja Neraka ini menipuku? Tapi aku segera mengusir pikiran-pikiran buruk itu, tak mau ambil pusing, ku sugesti otakku dengan afirmasi baik. Selesai dari sini semua masalah keluargaku pasti beres! Di seberang pesawat kami parkir, ada mobil sedan hitam menunggu. Aku paham itu pasti mobil jemputan untuk kami. Dalam jarak tempuh sekitar 30 menit yang sunyi, mobil itu membawa kami masuk ke sebuah halaman bungalow. Jelas sekali terlihat jika di dalam bungalow tersebut sedang ada sebuah acara. Banyak dekorasi selamat datang berhiaskan bunga-bunga segar dengan tema warna soft purple. Yang pertama kali terlintas dalam pikiranku adalah, kenapa diantara warna yang begitu lembut ini, gaunku berwarna
Pagi ini aku merasa lebih segar meski jam tidurku terbilang kurang. Sebelum subuh tadi aku baru sampai rumah dan baru istirahat setelah berjuang ambil peran dalam drama yang di sutradarai si Raja neraka kemarin. Namun, ketika baru bangun tidur, saat nyawaku belum benar-benar terkumpul. Putra tiba-tiba masuk kamarku tanpa mengetuk pintu dan langsung menegurku. “Kak, Kakak serius ada hubungan dengan Bos Kakak, Harvey Adam ini?” Putra menunjuk layar ponsel di tangannya. Aku hanya menatap Putra tanpa berkata apa-apa. Otakku masih nge-lag. “Kak, dia ini pengusaha terkenal. Kakak maupun keluarga kita gak selevel sama dia, Kak! "Aku takut kalau Kakak cuma dipakai mainan sama dia!” Seketika mataku melebar, “ngomong apa sih?” “Ini…” Putra mendekat, memberikan ponselnya padaku. “Seheboh itu beritanya!"Beberapa saat aku menatap layar ponsel itu dan membaca judul postingan “Ini Alasan Harvey Adam Ditinggalkan Tunangannya!"Wah parah sih ini, kalau begini tentu aku yang paling dirugikan. D
“Hah? Apa? Maaf?” Kedua alis Pak Harvey bertaut, terlihat tidak puas pada jawabanku. Tujuanku menciumnya di depan umum memang untuk balas dendam, agar dia tidak bisa mencabut deklarasi yang kemarin dia buat, kalau aku adalah kekasihnya. Aku tidak mau dianggap buruk sendirian… Ini saatnya untukku membela diri, namaku di luar sana sedang di gunjing habis-habisan sebagai perusak hubungan orang! Namun Pak Harvey juga tidak meminta penjelasan lebih, dia malah meninggalkanku melangkah keluar dari gedung putih begitu saja. “Eh, Pak!” Aku malah yang jadi kesal. Harusnya dia minta penjelasan, kalau perlu memaksaku. Agar aku bisa mengajaknya adu argumen! Beberapa detik menoleh kanan dan kiri, aku melihat para wartawan berbondong-bondong masuk ke gedung putih. Rupanya Pak Harvey segera meninggalkan gedung ini karena melihat mereka. Sontak aku terhenyak dan tidak ada pilihan lain. Aku segera ikut pergi keluar menyusul Pak Harvey yang terlihat memasuki mobil. Saat aku masih berdiri beberapa
“Tunggu!” Yes! Aku menang. Aku tahu dia pasti akan memanggilku dan setuju dengan permintaanku. Aku menghela napas besar untuk berdrama seolah-olah malas, kemudian berbalik melihatnya yang sudah berada di belakangku. Kami sudah masuk dalam ruangan kantornya saat ini. “Duduk dulu!” Pak Harvey memundurkan kursi mempersilahkanku duduk. “Silahkan!” Aku duduk dan memangku tasku. “Kamu akan kembali bekerja disini, tapi bukan sebagai sekretaris saya, melainkan asisten pribadi!” “Baik, Saya akan menjadi asisten anda.” Jawabku seketika dengan tegas. “Tapi saya ingin menambahkan sesuatu di poin perjanjian.” Pak Harvey duduk di kursi kerjanya, tepat di hadapanku, aku melanjutkan perkataanku, “Anda tidak boleh menyakiti Saya!” “Menyakiti bagaimana maksudnya?” Tanyanya bingung. “Anda adalah Pria yang dingin dan kejam. Jadi Saya hanya ingin memastikan kalau Anda tidak akan menyakiti Saya, Anda tidak akan mempermalukan Saya di depan semua orang.” “Lanjutkan!” “Sementara itu dulu!” “Oke,”
Aku memulai hidup baru hari ini… Mulai hari ini, aku akan berpura-pura menjadi tunangan seorang pria yang selama ini menjadi momok dalam hari-hariku sebelumnya. Tapi semua ini akan berakhir setelah dua bulan. Aku yakin, dengan mudah aku akan melewatinya. Setelah itu dia akan bersama wanita tercintanya dan aku akan kembali menata hidupku yang lebih indah… Pikiran-pikiran baik ini ku ucapkan terus menerus seperti mantra, sambil tersenyum, menyirami bunga-bunga milik Kak April di halaman rumahku pagi ini. Sejenak memandangi bunga-bunga di taman sederhana yang tadinya setiap pagi dirawat Kak April, hatiku merasa sedih… “Kak, aku akan rawat bunga Kakak sampai Kakak sembuh,” gumamku. Kakak cantikku yang satu itu memang hobi sekali menanam bunga, tangan hangatnya membuat apapun yang ditanamnya selalu tumbuh subur. Ah… Aku merindukannya. Lekas sembuh ya, Kak… Ketika pikiranku melayang ke rumah sakit bersama Kak April, tiba-tiba aku dikejutkan dengan suara sapaan dua wanita. “Ily!” “Se