Aku menatap layar dengan senyum mengembang. Melihat Mas Seno dengan wajah pucat pasi saat menerima gugatan cerai dari ku.
Aku yakin, dia pasti tidak percaya aku bisa melakukan hal ini. Renata mendapatkan foto ini dari ojek online yang ditugaskan untuk mengirim surat gugatan itu pada Mas Seno.
Dan benar saja, sesuai dugaanku.
Tak selang lama ponselku berdering. Sebuah panggilan dari Mas Seno masuk ke benda pipih milikku.
"Halo Dewi! Apa-apaan kamu ini, hah? Kamu berani mengirimkan gugatan cerai padaku? Uang siapa yang kamu pakai untuk mengurus perceraian kita, hah? Kamu jual diri? Atau jangan-jangan kamu nyolong uangku?" cerocos Mas Seno memfitnahku.
"Astaghfirullah, Mas! Picik sekali pikiranmu! Hati-hati kalau bicara, Mas!"
"Alah, gak usah banyak bicara kamu! Kalau buk
Pov SenoAku bersusah payah menelan saliva, melihat pemandangan yang sangat mengerikan tepat di hadapanku. Keringat dingin tiba-tiba keluar membasahi tubuhku. Ada rasa takut yang seketika muncul begitu saja.Yang benar saja, preman itu terus menyiksa orang yang sudah hampir sekarat. Aku tidak mau bernasib sama seperti pria itu. Aku tidak mau mati sia-sia ditangan mereka."Hey!" teriak salah satu preman yang tadi menyuruhku menunggu diteras."Ngapain kamu disana? Cepat masuk! Bos besar sudah menunggu!" ucapnya menatap tajam ke arahku. Aku pun berjalan menghampirinya dengan perasaan was-was."Jadi pinjam uang apa tidak?" tanya preman itu padaku, saat aku sudah berdiri dihadapannya."Se-sebentar! Sa-saya, tanya dulu orang rumah!" ucapku terbata-bata.
"Ya ampun, Mah! Nggak penting banget sih! Ngapain juga pake minta tanda tangan segala! Dia itu kan artis baru, Mah! Aktingnya juga masih jelek! Nggak penting banget minta tanda tangan sama dia!" cetus nya kesal."Dion! Berhenti ngomong seperti itu! Kamu tau kan, dia itu siapa?" tegur Pak Anwar pada anak lelaki nya itu.Dion membuang nafas kesal mendengar teguran dari Papanya."Dion, Mama pinjam pulpennya sebentar!" ucap Bu Hanum, tangannya menunjuk pulpen yang menggantung di saku baju yang Dion kenakan.Dion menarik ujung pulpen dengan wajah kesal. Ternyata pria dingin ini tidak pandai menyembunyikan perasaan tidak sukanya pada seseorang."Nih!" ucapnya sambil menyodorkan pulpen berwarna hitam ini padaku.Aku pun segera mengambilnya dan menu
"Dion!" ucapku tak percaya melihat sosok Dion berdiri dibelakang Mas Seno dengan balok kayu di tangan kanannya.Dion melempar balok kayu yang tadi dibawa oleh Mas Seno, lalu menarik tubuh Mas Seno yang pingsan menimpaku. Aku segera menutup tubuhku dengan kedua tangan. Aku benar-benar bingung dan kikuk harus berbuat apa. Dion segera memalingkan wajah, dia tak berani menatapku.Aku segera menarik selimut untuk menutupi seluruh tubuhku yang sudah setengah terbuka ini.Kulihat Dion menarik Mas Seno ke lantai, lalu mengambil dasi yang menggantung di belakang pintu dan mengikat kedua tangan Mas Seno dengan dasi berwarna merah marun itu."Cepat pakai bajumu! Aku tunggu diluar!" ucap Dion tanpa menoleh ke arahku. Ia pun segera pergi meninggalkan kamar.Aku bergegas bangkit dari kasur, dan segera merapik
Pov SenoEntah berapa lama aku tak sadarkan diri, aku terbangun karena dinginnya lantai yang menusuk hingga ke sendi-sendi ku. Aku bangkit dengan rasa sakit di pundakku. Kurang ajar! Si Dewi pasti kabur!Entah siapa yang tadi tiba-tiba memukul ku dari belakang, apa jangan-jangan tetangga sebelah yang mendengar teriakan Dewi? Tapi, mana mungkin dia berani masuk ke dalam kamar? Ah … entahlah, aku akan cari tahu siapa pelakunya, aku pastikan akan balas dendam pada orang itu.Aku bangkit dengan kepala yang masing pusing. Berusaha melepaskan tali yang mengikat tanganku ke belakang. Sialan! Semakin aku banyak bergerak, tali ini semakin sulit untuk dilepaskan. Aku harus segera mengambil pisau atau gunting untuk melepaskan tali ini dari tanganku.Aku berjalan keluar dari kamar menuju dapur, mencari letak pisau yang Dewi simpan.&
Pov SenoAku termenung di tepi ranjang, memikirkan ucapan Pak Bimo barusan. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Bagaimana jika Pak Bimo sungguh-sungguh dengan ucapannya? Argh! Aku menjambak rambut frustasi."Mas … kamu sudah bangun?" suara Bella tiba-tiba membuyarkan lamunanku."Bell, kamu sudah bangun?" sahutku tanpa menjawab pertanyaannya. Seketika Bella pun mengangguk, ia menggeser tubuhnya mendekatiku lalu melingkarkan tangannya di pinggangku."Mas! Kamu kenapa sih? Ko murung gitu? Barusan telpon dari siapa?" tanya Bella penasaran."Nggak apa-apa, Bell! Biasa--bos ngomel gara-gara aku telat masuk kantor," jelasku berbohong. Bella tidak boleh tau jika aku dipecat dari kantor."Mas mandi dulu, ya 'Bell!" ucapku mengurai pelukan Bella, la
"Wi! Baca pesan dari siapa, sih? Ko, malah bengong?" Suara Renata membuyarkan lamunanku."Dion! Dia bilang, satu jam lagi akan menjemputku!" sahutku."Serius kamu, Wi? Pak Dion mau jemput kamu?" tanya Renata memastikan. Aku pun mengangguk mengiyakan."Ya sudah, cepat! Jangan buang waktu! Kita harus segera ke salon, kamu harus segera di makeover!" ucap Renata. Tanpa basa basi ia langsung menarik tanganku keluar dari toko sepatu setelah membayar sepatu yang ia pilih tadi."Aduh, Ren! Tunggu dong! Jangan cepet-cepet jalannya,""Kamu bilang satu jam lagi Pak Dion jemput? Ini uda mepet, Wi! Make over itu bisa lebih dari 40 menit!" sahutnya sewot."Dasar Renata, aku yang mau pergi, dia yang panik!" gumamku dalam hati.
"Lepasin! Kamu ini apa-apaan 'sih? Pake pegang-pegang segala!" sungutku sambil mendorong tubuh Dion menjauh dariku. Dion mendengus kesal melihat perlakuanku. "Kamu tuh' yang apa-apaan? Sudah untung ditolongin, malah marah-marah nggak jelas! Pake dorong-dorong segala lagi. Dasar nggak tau terimakasih!" celoteh nya kesal. Dia menatapku dengan tatapan sinis. "Eh, Aulia' ko kalian malah diem disini? Ayo masuk! Tamu undangan sudah pada kumpul di dalam!" ucap Bu Hanum yang tiba-tiba datang menghampiri kami berdua. Aku yang masih menahan sakit di area kaki yang terkilir berusaha menstabilkan tubuhku di atas sepatu high heels ini. Bu Hanum menatapku dengan khawatir. Ia pun bertanya. "Kamu kenapa, Aulia? Kamu baik-baik aja, kan?" "Sa-saya, …" belum usai aku berbicara, Dion sudah lebih dulu memotong ucapanku. "Kaki Aulia keseleo, Mah! Barusan Dion nggak sengaja menarik tangan Aulia sampai Aulia hampir terjatuh," jelas Dion pada Ibunya. Aku benar-benar tidak percaya jika Dion akan berkata
Aku segera mengeluarkan ponsel dari dalam tas, dan bergegas mengambil foto untuk bukti di pengadilan nanti. Aku harus jadikan ini sebagai bukti perselingkuhan yang dilakukan oleh Mas Seno di rumahku sendiri. Setelah berhasil mengambil foto dan video, aku pun duduk di tepian ranjang dan mengirim semuanya pada Renata. Biar dia yang mengurusnya nanti. "Kira-kira, dengan siapa Mas Seno berzina? Apa mungkin ia berzina dengan teman kantornya? Tapi, jika benar. Kenapa dia bisa sebodoh itu berzina di rumahku sendiri?" gumamku dalam hati bertanya-tanya. Saat hendak beranjak dari kasur, tanganku tak sengaja menyentuh sebuah benda kecil yang tergeletak di atas selimut ku. 'Apa ini? Gelang kaki? Apa jangan-jangan gelang kaki ini milik gundiknya Mas Seno?' batinku. Aku memperhatikan gelang kaki ini dengan seksama. Mataku membulat sempurna melihat nama yang terukir di gelang kaki ini. 'Bella' apa jangan-jangan, Mas Seno berzina dengan Bella? Jika benar, ini berita bagus untukku. Dengan bukti ini