"Aku takut terasa sakit, Tuan," ucap Lunar setelah melepas ciuman itu.
"Itu hanya sebentar, Sayang. Setelahnya kau akan merasakan sensasi yang begitu nikmat. Tahan, ya? Aku akan memasukkannya secara perlahan." balas Lucas, lalu membimbing juniornya ke arah liang kewanitaan Lunar. Di sana, ia mencoba menggesek-gesekkannya sebelum membenamkan benda itu.
Terlihat Lunar mengerang, mendesah serta merintih menikmati setiap gesekan demi gesekan.
"Tahan, Sayang. Ahhh ... sempit sekali. Baiklah, aku coba kembali. Aaahh ... akhirnya," Lucas tertawa senang saat juniornya telah masuk ke vagina Lunar.
"Sakit Tuan. Ini perih sekali," rintih Lunar tak dapat menahannya.
Rasanya ada sesuatu yang telah robek dan membuat miliknya terasa perih.
"Tahan, Sayang. Aku mainkan secara pelan."
Lucas mendorong benda itu lebih dalam dan bergerak naik turun mengikuti irama permainan itu. Kenikmatan mana lagi yang kau dustakan? Ini merupakan kenikmatan yang amat luar biasa dan baru pertama kali ia rasakan. Begitu juga juga dengan Lunar, sedari tadi ia hanya bisa menikmati setiap gerakan yang diberikan oleh Lucas. Tubuh mereka sama-sama bergetar saat telah mencapai puncak. Cairan bening itu keluar perlahan dari liang kewanitaannya. Sementara, Lucas dengan cepat mengeluarkan juniornya, lalu mulai memainkan lidahnya di vagina Lunar.
"Ahhh. Terus, Tuan, ini sangat nikmat. Aku menyukainya, oohh ...."
Mendengar setiap desahan demi desahan yang keluar dari mulut gadis itu membuat Lucas semakin beringas. Ia sudah tak dapat menahan hasratnya yang kian menggebu-gebu. Entah berapa ronde mereka melakukan ONS itu, yang jelas permainan itu membuat Lunar hampir kehilangan energi. Tubuhnya terasa kaku dan sakit. Pada vaginanya, Lunar dapat merasakan seperti ada yang lecet. Ia pun hingga kesusahan untuk berjalan. Melihat bercak darah di atas seprei membuat Lunar ingin menangis. Itu artinya, ia telah kehilangan keperawanannya yang telah direnggut oleh Lucas.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Lucas saat melihat Lunar kesusahan berjalan.
"Tidak. Mungkin setelah mandi rasa sakit ini akan menghilang," jawab Lunar sambil meraih handuk dan menuju kamar mandi.
"Baiklah, jangan terlalu lama mandinya,"
"Baik, Tuan."
Sambil menunggu Lunar selesai mandi, Lucas membereskan ranjang yang tampak berantakan. Ia tersenyum saat melihat sebuah bercak darah di sana. Ia pun merasa bersyukur bisa menikmati keperawanan Lunar. Bukan hanya menikmati saja, bahkan ia telah merenggutnya lebih dulu.
Drrrtt! Drrrtt!
Smartphonenya tampak berdering dengan kerasnya. Lucas mengambilnya di atas nakas dan melihat, Jenny, adiknya yang memanggil. Dengan segera pria itu menjawab panggilan adiknya.
"Kakak, kau di mana? Apa kau tidak rindu padaku?" terdengar suara Jenny di dalam smartphone.
"Aku di hotel, apa kau sudah kembali dari Indonesia, Jenny?" balas Lucas pada adiknya.
"Iya, kakak. Aku baru saja sampai. Dan melihat rumah kosong, makanya aku menelpon kakak. Apa kakak tidak rindu padaku? Apa kakak tidak ingin menemuiku?"
"Baiklah, Jenny. Aku akan menemuimu. Tapi, kita jangan bertemu di rumah, aku tidak ingin Grace melihatnya,"
"Tenanglah, kak. Kakak Grace tak ada di rumah,"
"Meskipun begitu, kita harus bertemu di suatu tempat. Aku tidak ingin melihat wajahnya,"
"Baik, kak,"
"Kau bersiap saja, aku akan mengirimkan lokasi untuk bertemu,"
"Okey."
Setelah panggilan berakhir, Lucas menarik napas dalam lalu membuangnya. Ia juga tidak sabar untuk bertemu dengan adik satu-satunya itu yang sudah lama terpisah. Karena Jenny melanjutkan kuliahnya mengejar gelar master, ia memilih untuk menyelesaikan kuliahnya di Indonesia, tepatnya di Jakarta. Karena, dengan begitu ia pun dapat dengan leluasa pergi ke mana pun tanpa gangguan sang kakak.
"Tuan, mandilah. Aku sudah selesai," ucap Lunar saat kembali dari kamar mandi.
"Baiklah." Lucas menatap wanita di depannya yang hanya mengenakan kimono. Ia tampak sudah tak bergairah untuk melakukannya lagi. Ia hanya mengecup kening Lunar dan bergegas pergi.
***
Kini mereka berdua tengah menikmati sarapan. Tak ada perbincangan di antara mereka berdua. Hingga akhirnya Lucas membuka percakapan.
"Ehemm. Aku akan keluar setelah ini. Kuharap kau jangan ke mana-mana," ucap Lucas setelahnya meneguk segelas air susu.
"Tuan mau ke mana?" tanya Lunar penasaran.
"Aku akan menemui adikku,"
"Ohh. Kau punya adik?"
"Ya, dia baru saja kembali dari Indonesia. Sudah satu tahun kami tidak bertemu, aku sangat merindukannya,"
"Oh. Apa adikmu sedang belajar?"
"Benar. Yasudah, aku harus pergi,"
"Baiklah, dia pasti sudah menunggumu,"
"Kau jangan ke mana-mana gadisku, aku akan kembali,"
"Ah, baiklah. Aku akan menunggumu, Tuan."
Seperginya Lucas, Lunar hanya bisa terdiam. Ia melihat sekeliling ruangan tampak hampa dan senyap. Di sisi lain, ia sangat merindukan ibunya di tanah air. Tapi, bagaimana bisa ia bebas dari Lucas? Sedangkan, pria itu telah membelinya dan tak mungkin membiarkannya pergi begitu saja.
Di sela-sela waktunya, hanya ia habiskan untuk menonton. Tak ada hiburan lain selain menonton televisi. Lunar tampak jenuh dan ia ingin bebas. Tapi bagaimana?
Tokk! Tokk!
Lunar tertegun saat menyadari pintu kamar diketuk. Ia pun bergegas membukanya. Di sana ia dapat melihat dengan jelas seorang wanita cantik seusia dengannya. Wanita itu menyunggingkan senyum angkuhnya. Matanya terlihat mengedarkan ke seluruh ruang kamar.
"Anda siapa? Dan ada perlu apa?" tanya Lunar dengan sopan.
Wanita itu menatap sinis ke arah Lunar. Memang, wajahnya cantik dengan bibir semerah cabe. Tapi, jika dibandingkan dengan Lunar, ia pun tak kalah cantik dari wanita itu.
"Di mana, Lucas?" tanya wanita itu membuat Lunar semakin penasaran. Siapa wanita itu?
"Tuan Lucas tidak ada di sini. Beliau baru saja pergi. Memang anda siapa?"
"Kau tidak tau siapa aku?!"
"Tidak Nyonya, saya tidak tau siapa anda. Bukankah kita baru bertemu,"
"Hah! Kau itu sebenarnya ada hubungan apa dengan Lucas. Kenapa kau tinggal di kamarnya?"
"Maaf Nyonya, itu urusan pribadi saya,"
"Dasar! Apa kau tidak tau siapa aku? Aku istrinya, dan aku berhak tau hubungan kalian, paham?"
Seketika Lunar terbelalak dan tak menyangka jika Lucas benar sudah memiliki istri. Tapi, kenapa pria itu tak mau berkata jujur padanya? Lunar merasa kecewa, ia merasa dirinya telah disakiti kembali oleh seorang pria.
"Oh? Kau baru tau. Apa sebelumnya Lucas tidak pernah mengatakan kalau dia sudah mempunyai istri?"
Lunar menggeleng berat. Ia sudah kehabisan kata-kata saat mendengar penjelasan wanita di depannya.
"Mulai sekarang, kau harus pergi dari sini! Apa kau tidak merasa kasihan padaku? Kau telah merebut suami orang?!"
"Maafkan aku, Nyonya. Aku ...."
"Jangan banyak bicara, sekarang juga kau pergi dari sini!"
"B-baik, aku akan pergi sekarang."
Lunar tak dapat berbuat apa-apa lagi, ia tampaknya memang harus segera pergi dan meninggalkan Lucas. Jika bukan karena ancaman Lucas sejak awal, ia sudah memilih untuk pergi dari tempat itu. Perasaannya hancur berkeping-keping, saat menyadari nasib buruk yang ia terima. Setelah dikhianati oleh suami, kini ia harus merasakan kepedihan kembali untuk kedua kalinya.
"Mungkin ini jalan terbaikku, aku memang harus pergi."
***
Di kamar Presidential Suite di sebuah hotel di Kota Malang yang sejuk, Erza membuka matanya. Kekuatan di tubuhnya tampak habis, dan rasa lelah menyelimutinya. Sebenarnya Erza jarang merasa lelah seperti ini. Rasa sakit di kepala berangsur-angsur memulihkan ingatan Erza. Dia minum banyak alkohol tadi malam, dan itu adalah rekor dalam hidupnya. Sialan! Demi langit dan bumi, aku, Erza, bersumpah bahwa aku akan membalas dendam padamu. Tidak peduli siapa dirimu, aku pasti akan menghabisimu. Aku akan membalaskan dendamku padamu! Pekik Erza berulang kali dalam hatinya. Dia terus mengucapkan kata-kata ini di dalam hatinya dengan urat di dahinya yang menonjol, dan napas yang terasa berat. Niat membunuh yang kuat mulai menyebar ke tubuh Erza. Tanpa diduga, air mata jatuh dari sudut matanya, dan kepalan tangan Erza menegang. Rasa sakit di hatinya membuat Erza tegang. Erza lebih suka percaya bahwa itu hanya mimpi. Dia bahkan mengatakan bahwa dia akan membayar berapa pun as
Mungkin karena terlalu banyak hal yang terjadi baru-baru ini Erza tertidur tanpa sadar saat di pesawat. "Pak, pesawat telah mendarat." Suara pramugari membawa Erza kembali ke dunia nyata. "Ah, baik. Terima kasih," ucap Erza. Erza turun dari pesawat dan keluar dari bandara. Saat Erza keluar dari bandara, dia tercengang. Kota Semarang, meskipun hanya terlihat dari sebuah bandara, benar-benar berbeda dari sepuluh tahun yang lalu. "Ini gila!" Erza menggelengkan kepalanya. Begitu dia hendak menghentikan taksi, Erza menyadari bahwa dia tidak punya uang. Erza juga sedikit tidak berdaya. Berpikir tentang itu sekarang, dia benar-benar merasa tertekan. Namun, bagi Erza yang telah melewati badai dan ombak hal ini tidak akan membuatnya menyerah. Setelah membuka dompetnya, Erza menemukan uang 10 ribu rupiah. "Karena aku tidak mampu membayar taksi, ayo naik bus saja!" gumam Erza. Setelah beberapa saat, Erza akhirnya menemukan lokasi halte bus. Dia langsung naik bus
Melihat Erza di depannya, Alina tidak bisa menahan tawa. "Jangan khawatir, aku masih bisa membeli makanan," jawab Erza terkekeh. Erza pertama kali datang ke perusahaan dengan Alina. Di bawah perkenalan Alina, Erza dapat mengikuti pekerjaan dengan lancar, dan Alina juga membantu Erza untuk mendapatkan asrama yang membuat Erza sangat berterima kasih. "Aku tidak menyangka kamu bekerja di perusahaan sebesar itu!" seru Erza. Setelah keduanya keluar, Erza sangat lega, dan masalah makanan dan pakaiannya teratasi. Erza juga sedikit kagum ketika melihat orang-orang berlalu-lalang di di gedung dua puluh lantai itu. "Semua orang akan jadi rekan kerja mulai sekarang, kamu mau makan apa? Aku undang kamu makan malam dulu," kata Alina pada Erza. Dalam hatinya, Erza merasa senang. "Apa pun yang mengeyangkan," jawab Erza dengan senyum lebar. Alina menggelengkan kepalanya dan tersenyum tipis. Namun, Alina tidak pelit. Dia membawa Erza ke restoran kelas menengah, dan memesan
"Kakak, hati-hati!" pekik Wika tiba-tiba. Wika melihat bahwa beberapa preman itu kembali lagi dan akan menghajar Erza. Sementara Wika mengingatkan Erza, salah satu preman sudah mengangkat tinjunya dan memukul kepala Erza dengan keras. Melihat kekuatannya, bahkan jika kepala Erza sekeras baja, pasti rasa sakitnya tidak karuan. Tinju pria besar itu ternyata tidak mengenai kepala Erza karena dia menghindar ke samping dalam sekejap. Kecepatannya yang dahsyat membuat para preman itu kebingungan. Wika juga tercengang di sana. Dia menggelengkan kepalanya dengan kuat dengan tampilan yang tidak percaya. Melihat situasi di depannya, sekarang Wika benar-benar tidak percaya. Benarkah ada kecepatan seperti Erza di dunia? Erza meraih lengan lawan, dan dengan cepat memutar tubuhnya. Dengan kekuatan tiba-tiba, dia langsung melemparkan preman itu dari punggungnya, dan akhirnya pria itu jatuh dengan keras ke tanah. Tidak peduli siapa itu, tidak akan pernah terpikir oleh Wika bahwa pria ya
Kepala perawat itu menemui sekelompok dokter. Saat melihat sekelompok dokter yang dipimpin oleh dokter ahli bernama Dokter Suwarno yang berusia setengah ratus tahun itu, banyak pasien yang menebak-nebak apa yang sedang terjadi. Di sisi lain, Wika mengantar Erza ke kamar adiknya, Wina. "Erza, ini kamar adikku." Bisa dikatakan bahwa harga kamar di rumah sakit, khususnya kamar yang ditempati Wina ini tidak lebih baik dari harga hotel bintang lima, namun kondisi ini tentu saja tidak sebanding dengan hotel bintang lima. "Wina, ada yang datang menemuimu," kata Wika. Wika membuka pintu dengan lembut dengan ekspresi yang hampir tidak tersenyum di wajahnya. Dia berjalan ke tempat tidur Wina, lalu duduk. Pada saat yang sama, Wika dengan lembut menutupi saudara perempuannya itu dengan selimut. Dia terlihat sangat hati-hati. "Saudaraku, apakah kamu baik-baik saja?" Nada suara Wina sangat lemah. Tetapi ketika Erza melihat Wina, matanya memancarkan kegembiraan yang tida
"Erza, aku akan menjadi pengikutmu mulai sekarang. Selama kamu mengucapkan memberikan perintah apapun padaku, aku tidak akan ragu-ragu untuk melaksanakannya," ucap Wika dengan penuh keyakinan. Pada saat ini, Wika telah memutuskan. "Lupakan, apa gunanya menjadi pengikutku?" tanya Erza. "Kamu adalah orang yang baik. Kamu menyelamatkan kakakku dan aku." Nada suara Wina juga sangat lembut. "Ya, kalian bisa kembali dulu. Ini nomor teleponku. Hubungi aku seminggu lagi. Wina seharusnya tidak akan kesakitan lagi," kata Erza. Usai Erza berpamitan, Wina bertanya pada Wika, "Saudaraku, siapa dia?" "Aku tidak tahu, ayo pulang," ajak Wika. Meskipun tidak jelas dari mana asal mula Erza, Wika sangat yakin bahwa Erza bukan orang sembarangan. Di sisi lain, Erza tampak sangat bersemangat dan kembali ke asrama. Bisa dibilang asramanya ini masih bagus, walaupun hanya asrama pegawai biasa, tetap saja ada satu kamar tidur dan satu ruang tamu. Tata letak ruangannya jug
"Aku akan mengabarimu lagi, kamu bisa keluar sekarang." Nada suara Lana menjadi dingin lagi. "Wah kamu menjadi sangat cuek sekarang, padahal malam itu di Malang, kamu terlihat sangat antusias," kata Erza menggoda. "Keluar!" teriak Lana. Lana langsung meraih cangkir, dan melemparkannya ke arah Erza hingga jatuh di bagian bawah kakinya. Tetapi ketika cangkir itu jatuh, Erza sudah melintas ke ambang pintu, dan bisa melarikan diri. "Juga, urusan kita jangan kamu sebarkan ke orang-orang diperusahaan ini!" pekik Lana. Ketika Erza hendak meninggalkan pintu kantor, suara Lana terdengar lagi. "Jangan khawatir, bahkan jika aku memberitahu orang lain bahwa kamu adalah istriku, mereka tidak akan mempercayaiku." Erza mengatakan kata-kata ini, membuka pintu dan pergi. Melihat punggung Erza, Lana menggertakkan gigi. Dia mengutuk dirinya karena telah memikirkan pria itu dari kemarin, padahal dia tahu bahwa Erza bajingan dan tidak tahu malu. "Gadis kecil, aku per
"Aku juga berharap seperti itu." Erza mengangkat bahu. Dia sebenarnya mengetahui bahwa dia diminta pergi ke ruangan Lana bukan untuk sebuah hal yang baik. Sejujurnya, meskipun Lana sangat cantik, Erza benar-benar tidak ingin pergi menemuinya karena gadis itu terlalu dingin. Tapi, dia tidak punya pilihan. Saat tiba di ruangan Lana, Erza kembali dicegat. "Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Sinta. Sekretaris Lana yang bernama Sinta itu memandang Erza dengan wajah bengis. Sinta masih ingat dengan jelas apa yang terjadi di pagi hari. Dapat dikatakan bahwa dalam hati Sinta, dia tidak memiliki kesan yang baik tentang Erza. "Bu Lana memanggilku kemari." Setelah selesai berbicara, Erza mengabaikan Sinta dan langsung masuk. "Hei, kamu… Bu Lana, orang ini memaksa masuk, saya tidak bisa menghentikannya!" teriak Sinta. Erza membuka pintu, dan Sinta memandang Lana dengan tatapan meminta maaf. "Tidak apa-apa, kamu keluar dulu, Sinta. Ada yang ingin aku bicarakan denga