VIKTOR POV
“Sepertinya ada yang mengikuti kita.”
“Apa?” tanyaku terkejut, tidak mengira dengan apa yang dikatakan Vanessa. Saat melihat perubahan tidak biasa pada raut wajahnya tadi, kupikir ia sedang memikirkan pekerjaannya atau teringat sesuatu yang tertinggal di apartemen.
Tapi malah ada yang mengikuti kami? Bagaimana bisa…
Dan ngomong-ngomong siapa laki-laki brengsek yang berani-beraninya melakukan itu saat aku sedang menghabiskan waktu dengan tetanggaku tersayang yang sangat jarang menerima ajakanku?!
Dibanding rasa marah, aku merasa sangat kesal dan ingin menonjok siapapun itu yang tengah mengikuti kami.
Aku hampir menoleh ke belakang saat Vaness
VIKTOR POV“Apa yang kau lakukan disini?” tanyaku menuntut penjelasan.Daniel, si brengsek penyuka warna hitam yang sedari tadi mengikutiku yang juga sekaligus teman dan sepupuku itu, hanya meringis dengan muka tidak bersalah saat melihatku memergokinya. Ia melepas kacamata hitam besarnya, memperlihatkan wajah memuakkannya yang entah bagaimana bisa membuat para wanita berbaris itu.Bagaimana muka seperti itu dianggap tampan oleh sebagian besar wanita ya? Sungguh suatu misteri.“Eh? Bagaimana kau tahu aku disini?” tanyanya.Oke, sejujurnya, selain ketampanan yang aku tidak mengerti dari sisi mananya yang dia miliki, aku tidak tahu dia akan jadi apa jika tidak mewarisi kekayaan dalam jumlah besar dari orang tuanya. Maks
Apa kau pernah tertarik pada sesuatu yang seharusnya tidak boleh kau miliki? Atau apa pernah kau merasa tertantang untuk mendapatkan sesuatu yang mengharuskanmu melakukannya dengan cara merebutnya dari orang lain? Aku pernah. Dan sering sekali kulakukan. Ada perasaan luar biasa yang sulit dijelaskan mengalir dalam diriku saat aku berhasil melakukannya. Rasanya benar-benar… Ah entahlah, sepertinya jutaan kata yang ada di dunia mungkin tidak sanggup untuk mewakili perasaanku saat aku berhasil melakukannya. Apa kau bisa menebak apa itu? Yep, kau salah. Itu tidak seperti yang kau pikirkan karena itu bukan sekedar hobi biasa. Ini benar-benar hobi yang tidak mungkin bisa kau duga-duga karena mungkin saja kau belum menemukan orang sepertiku di dunia ini. Hobi ini benar-benar langka tapi jika kau menemukan orang sepertiku disekitarmu, itu berarti pertanda bahaya. Kusarankan kau langsung menjauh tanpa banyak berpikir. Kenapa? Karena kemungkinan besar kau akan kehilangan sesuatu yang sangat
VANESSA POV Aku menghela nafas pelan sembari mencoba menikmati ice americano yang kupesan. Aku berpura-pura tertarik dengan apa yang sedang Debby, teman sedivisiku, bicarakan. Meskipun dalam hati aku sebenarnya lebih memilih pergi ketimbang mendengarkannya. Saat ini, ia sedang menceritakan pacar barunya--yang baru 2 minggu ini ia pacari--yang katanya sangat-sangat baik, pengertian dan perhatian padanya. Tipe laki-laki ideal yang ia ocehkan dengan mulut berbusa yang ia kira akan membuat banyak orang iri padanya. Aku mendengus tidak ketara dan berdecih dalam hati. Cih, cuma itu doang dan dia bangga? Apa seleranya memang serendah itu? Harusnya dia lebih bangga jika punya pacar ganteng dan kaya. Karena jika benar begitu, aku akan dengan senang hati memakluminya. Dan mungkin lebih bersemangat mendengarkan ocehan-ocehannya sekarang. Tapi sejauh aku bisa menyimpulkan dari cerita-ceritanya, aku tidak menemukan tanda-tanda pacarnya mempunyai dua ciri-ciri seperti yang kusebut. Aku memalingk
VANESSA POV Aku memasukkan kunci kode apartemenku. Memang apartemen ini murah dan jauh dari pusat kota, tapi keamanannya benar-benar bisa kuandalkan. Semua apartemen disini sudah dipasang kunci angka di setiap pintunya, CCTV di setiap lantai dan tiga shift satpam yang siap menjaga 24 jam. Alasan apalagi yang bisa membuatmu menolak apartemen seperti ini? “Kunci kode apartemenmu 1234?” tanya Richard heran. Aku mengangguk, “Hmm. Kenapa?” “Maaf, bukannya aku sengaja ingin melihat tadi. Tapi tidakkah kau berpikir itu terlalu mudah? Bagaimana jika ada orang yang ingin membobol kamarmu?” Aku mengangkat bahuku ringan, “Kurasa karena aku bisa mengandalkan keamanan disini. Lagipula otakku sepertinya memang tercipta untuk membenci angka-angka. Aku tidak bisa mengingat angka yang rumit.” “Kalau begitu kenapa tidak menggunakan angka kelahiranmu saja?” Aku tergelak. “Bukannya itu malah lebih mudah ditebak?” jawabku sembari membuka pintu apartemenku. “Karena orang-orang biasanya menggunakan ta
VIKTOR POV Kulambatkan laju mobilku dan menghentikannya tepat saat aku tidak sengaja melihat seseorang yang kukenal turun dari mobil hitam yang terparkir di depan kawasan apartemen yang kuhuni. “Vanessa?” gumamku ragu. Tak butuh waktu lama bagiku untuk memastikan bahwa orang yang kulihat benar-benar tetangga penghuni apartemen sebelahku ketika perempuan itu menoleh menatap lawan bicaranya dan tersenyum padanya. Dahiku mengernyit dan mataku menyipit tanpa sadar. Lalu aku mulai mendengus keras saat aku menyadari aku tidak familiar dengan laki-laki yang Vanessa bawa masuk ke apartemennya. Astaga… Laki-laki mana lagi itu yang perempuan itu bawa? Sepertinya perempuan itu belum juga kapok dengan apa yang terjadi baru-baru ini. Apa dia sudah lupa? Bahkan hanya mengingatnya saja bisa membuatku berdecih pelan. Bagaimana bisa perempuan itu selalu menemukan orang baru hampir setiap minggunya? Dan lagi bagaimana bisa semua laki-laki yang ia bawa sama-sama bodoh hingga bisa terjebak dengan kata
VANESSA POV Aku baru saja akan membalas ciuman Richard saat pintu apartemenku tiba-tiba terbuka lebar dan lampu ruanganku menyala terang. Perlu beberapa waktu bagiku dan Richard untuk membiasakan diri dengan cahaya yang menyerang tiba-tiba. Lalu aku melihat Viktor, atau yang biasa kupanggil Vik, tetanggaku yang super ganteng, single, baik tapi suka ikut campur itu, berdiri ditengah pintu apartemenku. Ia menunjukkan senyumnya yang kubalas dengan tatapan sebal. "Halo, tetangga," sapanya tenang seolah tidak melihat apa yang baru saja kulakukan dengan Richard. "Aku melihat pintu apartemenmu sedikit terbuka tapi lampunya padam. Kupikir ada maling atau apa," lanjutnya. Aku mendengus pelan, tahu benar bahwa apa yang Vik bilang bukanlah alasan sebenarnya. Sejak kejadian Else melabrakku tempo hari, Vik sepertinya memang sedikit banyak mulai ikut campur terhadap urusanku. Apalagi jika ia memergokiku membawa laki-laki ke apartemen. Ia pasti akan melakukan segala cara untuk menghentikanku. Sepe
VIKTOR POV “... Itulah yang membuatmu tersenyum saat tahu ia memutuskan pacarnya bukan?” kataku mengakhiri kesimpulan yang kulemparkan padanya. Dan bukannya membantah atau apa, Vanessa melemparkan senyum miring yang berhasil membuatku tertegun tidak percaya. Apa dia benar-benar Vanessa yang selama ini kukenal atau seorang psikopat dengan topeng wajah polos untuk menyembunyikan keinginannya yang haus darah? Tapi setelah dipikir-pikir Vanessa tidak pernah menunjukkan ia memiliki sisi psikopat. Setidaknya untuk sekarang aku bisa sedikit santai mengetahui ia tidak akan menggorok leherku karena membiarkan calon korbannya pergi. “Aku tidak percaya kau ternyata cukup pintar juga,” komentar Vanessa. Aku mengerutkan kening mendengar ucapan Vanessa. Sedikit lambat meresapi kata-katanya. Jadi apa maksudnya itu? Apa selama ini dia meremehkanku dan mengira aku bodoh? “Yah… Bisa kubilang kau memang benar. Aku memang tidak berselingkuh dengannya, tapi bukan berarti bukan aku yang merusak hubung
VIKTOR POV Aku geram. Tentu saja aku geram. Siapapun yang ada di posisiku dan tengah mendengarkan kata-kata konyol Vanessa barusan bisa kupastikan juga akan bereaksi sama sepertiku. Bagaimana bisa Vanessa bermain-main dengan kekasih orang lain tapi menolak kelakuannya disebut perselingkuhan? “Kenapa jadi kau yang marah-marah? Apa kau seperti ini karena pernah diselingkuhi?” Wajahku merah padam. Tapi bukan karena malu. Tidak. Tidak pernah. Aku bahkan belum pernah tertarik menjalani hubungan dengan satu wanitapun seumur hidupku. Karena sebagian besar wanita yang mengetahui latar belakangku, tidak akan mendekatiku tanpa terlihat ketara apa yang dia incar. Jadi jika ditanya apa aku tahu perasaan seseorang yang diselingkuhi, aku tidak perlu menjalin hubungan dulu untuk tahu jawabannya. Aku hanya tidak menjawab pertanyaan Vanessa karena aku tidak sudi membayangkannya. Tapi Vanessa menyalahartikan keterdiamanku. Ia menatapku dengan pandangan iba dan prihatin yang bercampur dengan pengerti