Share

BAB 3

Mendekati jam pulang sekolah, aku terus merasa khawatir.

Bagaimana tidak? Aku terus berpikir bahwa aku adalah seorang pembunuh. Meski begitu pikiranku terus mencari pembelaan.

Bukan. Aku bukan pembunuh. Kathia sendiri yang meminumnya, aku sudah mencegahnya.

Aku melihat ke arah kiri, tepat di mana Kathia sedang duduk bersama Nita. Aku memperhatikannya yang sedang menyalin apa yang ditulis di papan tulis oleh seorang sekretaris kelas ke dalam buku miliknya. Saat ini di kelasku sedang ada jam pelajaran kimia. Biasanya aku selalu bersemangat, saking semangatnya aku akan menulis lebih cepat dari biasanya.

Namun untuk kali ini tidak. Rasa takutku mengalahkanku. Jangankan untuk fokus, berpikir pun aku tidak bisa. Pikiranku seperti sedang diambil alih oleh superegoku yang terus menerus menyalahkanku. Dia terus berbicara bahwa aku salah, sementara aku terus menerus membuat pembelaan bahwa aku tidak salah.

Di dalam diriku seperti sedang terjadi peperangan yang hebat. Hal itu berdampak pada diriku sendiri yang kini sudah mulai merasa pusing diikuti dengan jantung yang berdetak dengan cepat, tubuhku juga mengeluarkan keringat, suhu badanku terasa panas dingin, napasku pun terasa sesak dan aku mulai kesulitan untuk bernapas. Aku merasa aku sedang sakit, namun dipandangan orang lain aku terlihat baik-baik saja.

"Fey, kau tidak menyalin tulisan di papan tulis ke bukumu?"

"Eh?" aku terkejut saat teman sebangku ku, Gita, bertanya kepadaku. "Aku sedang malas untuk menulis," jawabku.

Gita tampak menganggukkan kepalanya mengerti, kemudian ia lanjut menulis di bukunya.

Aku pun kembali memperhatikan Kathia, melihat apakah sudah ada tanda-tanda ia mulai keracunan. Seperti dugaanku, ia tampak baik-baik saja seperti tidak terjadi apa-apa. Tapi aku tidak tahu kapan racun itu akan bereaksi. Mengingat dosisnya yang tinggi, maka Kathia akan mengalami hal yang paling mengerikan selama sisa masa hidupnya. Ia akan terus merasa sakit layaknya orang yang sedang sakit kanker stadium akhir. Membayangkannya yang akan mengalami hal seperti itu membuatku menjadi tidak tega. Dalam hatiku aku terus merasa bersalah. Mau bagaimana pun aku tidak pernah berniat membunuhnya. Sekesal apa pun aku padanya, bagaimana pun sifatnya aku tidak pernah benar-benar membencinya. Tapi siapa yang akan percaya padaku bahwa aku tidak ada niatan untuk membunuhnya? Bahkan meskipun sekarang aku memberitahunya bahwa minuman yang tadi dia minum itu telah dicampur racun, dia pasti akan akan menyalahkanku dan melaporkan aku ke polisi. Tak hanya itu, orang-orang juga pasti akan menyalahkanku dan mulai menyebar berita bohong tentangku. Ingin melaporkan ke dokter pun juga percuma, karena racun itu tidak ada obatnya. Memikirkan semua itu benar-benar membuatku ingin muntah.

Beberapa menit berlalu dengan aku yang masih sibuk berpikir tentang keadaanku ke depannya jika aku mengatakan yang sesungguhnya. Kini jam pulang sekolah pun berdenting, semua teman kelasku membereskan alat tulis mereka yang berada di meja lalu menaruhnya ke dalam tas mereka. Setelah selesai memberi salam kepada guru kimia yang mengajar, kami pun pergi meninggalkan kelas.

Seperti biasa, aku bersama dengan teman-temanku yang lainnya berjalan menuju parkiran sekolah. Sambil berjalan, kami biasanya mengobrol dan membahas tentang kegiatan kami sehabis pulang sekolah. Jika senggang, kami biasanya akan pergi main sebentar.

Tanpa aku duga ternyata mereka telah membuat rencana untuk pergi menonton film romantis yang baru saja dirilis. Tentu saja aku dengan tegas menolak. Tidak mungkin aku bisa bersenang-senang sementara aku tahu sebentar lagi temanku akan meninggal karena kecerobohanku.

"Ayolah Fey! Gak akan seru jika kau tidak ada."

"Ibuku akan marah jika aku main setelah pulang sekolah."

"Gimana kalo kaupulang saja dulu, setelah itu kau baru menyusul kami."

Sudah kuduga mereka pasti akan memaksa, bagaimana ini?

"Kathia," mereka berhenti membujukku ketika mereka mendengar suara seorang pria yang memanggil nama Kathia.

Aku kenal dengan suaranya. Suaranya sangatlah khas dibanding remaja laki-laki seusianya. Aku yakin itu pasti Kak Gara, Kakak dari Kathia.

Kulihat semua teman-temanku melihat ke arahku, tepatnya ke arah belakang punggungku. Aku menduga Kak Gara pasti sedang menuju kemari.

Aku pun berjalan mendekati Chalista dan berdiri di sebelahnya sambil melihat kedatangan Kak Gara. Sebenarnya bukan hal langka bagiku saat mendapati teman-temanku berdiam diri seperti patung ketika mereka tahu ada Kak Gara di sekitar mereka. Bisa dibilang semua teman-temanku menyukai Kak Gara, kecuali aku tentunya. Justru aku akan merasa heran jika Kathia tidak menyukai Kak Gara mengingat mereka hanyalah saudara tiri. Faktanya hubungan saudara tiri bisa berubah menjadi hubungan kekasih, dan itu sudah banyak terjadi di dunia ini.

"Ayo pulang!" ajak Kak Gara sesaat setelah ia berdiri dihadapan Kathia. Kuperhatikan setiap gerak-gerik temanku. Ada yang menunduk malu dan ada pula yang senyum-senyum, mungkin mereka berharap bahwa Kak Gara akan meliriknya.

Jika kuperhatikan memang akan aneh jika ada seorang gadis yang tidak menyukai Kak Gara. Predikat laki-laki baik dan cerdas telah menyertai dirinya ditambah ketampanan yang dimilikinya membuat gadis mana pun akan berharap bisa memilikinya. Kharismanya pun juga tidak dapat ditolak. Ke mana pun dia pergi, dia pasti akan selalu menjadi pusat perhatian karena aura positifnya tersebut. Aku memang sempat tertipu dengan tampang dan kharismanya, tapi itu dulu, sebelum aku pernah mengobrol serius dengannya.

"Tapi aku mau nonton dengan teman-temanku, Kak."

"Pulang dulu. Minta izin sama mama, kalo dibolehin baru boleh main."

"Iya, Kak. Kita juga mau pulang dulu kok. Mungkin agak sorean nanti kita nontonnya." Fannia menjawab dengan antusias. Di antara temanku yang lain, Fannia lah yang terlihat paling agresif dalam mendekati Kak Gara. Terbukti dengan pernyataannya sekarang. Padahal tadi dia yang paling keukeuh minta langsung pergi nonton tanpa harus pulang ke rumah terlebih dahulu.

"Yaudah deh Kak, ayo pulang!" Kathia pun menurut. "Aku duluan ya," dan setelahnya ia pamit kepada kami dan pergi berjalan lebih dulu dari Kak Gara.

Aku pun mengangguk seperti mempersilahkan Kathia untuk pulang duluan, padahal Kathia tidak sedang menatapku. Justru hal itu malah membuat manik mataku dengan Kak Gara bertemu yang kebetulan ia juga sedang tersenyum ke arah teman-temanku secara satu persatu, mungkin sebagai bentuk kesopanan, tapi aku malah menganggapnya sedang tebar pesona. Terdengar menuduh memang, namun bukankah itu yang selalu terjadi jika kita tidak menyukai seseorang? Apapun yang dia lakukan semuanya terlihat buruk di mata kita.

Setelah kepergian Kak Gara dan Kathia, teman-temanku pun juga mulai membubarkan diri. Namun sebelum mereka benar-benar pergi, aku pun menegaskan bahwa aku tidak bisa ikut dalam acara apapun yang mereka adakan hari ini.

"Yah ... gak seru banget dong kalo gitu," Nita tampak sedih hingga membuatku merasa tak enak hati.

"Maaf ya," ujarku dengan memasang wajah sedih juga. Sebenarnya aku muak berpura-pura dan berbohong seperti ini. Tapi biarlah, aku butuh ketenangan sekarang.

"Yaudah gapapa kalo gitu Fey. Tapi selanjutnya kau harus ikut main, ya?" aku tersenyum mendengar ucapan Chalista. "Iya, Ta."

Setelah percakapan kami selesai, kami pun langsung membubarkan diri. Begitu pula aku yang berjalan menuju parkiran sepeda. Mengambil sepedaku dan menaruh tasku ke dalam keranjang yang tersedia di depan. Setelah menaikinya, aku mulai mengayuh sepedaku keluar melewati gerbang sekolah yang masih terbuka.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status