Share

Hening

Delapan tahun lamanya aku pasrahkan segala kebutuhan diri ini pada Amalia. Tak banyak yang kutahu akan betapa berat beban yang harus dipikulnya, tak banyak pula yang kuminta selain menjadi seorang Ibu sekaligus Istri yang sempurna.

Memang tak sekalipun kuulurkan tangan untuk membantu atau sekedar meringankan tugasnya. Toh hanya pekerjaan rumah, kan? yang cuma itu-itu saja ... kurasa tak akan butuh banyak tenaga apalagi harus brfikir keras memutar otak.

Namun, ternyata semua berlalu tak semudah itu. Bahkan, harus rapat kututup hidung serta mulut akibat bau keringat yang menempel di baju. 

Iya! Kini aku harus melakukan semuanya seorang diri. Mengurus pakaian kotor juga persoalan perut. Bahkan rumah pun nampak berantakan tak beraturan.

Argh! Andai Amalia ada disini. Pasti tangan itu akan terampil menyusun barang-barang juga memastikan aku dapat beristirahat dengan nyaman, menikmati senja sembari menyesap kopi pahit buatannya.

Perih ... sangat nyeri ulu ini kala teringat akan malam saat aku memutuskan untuk mengantar bidadariku itu pulang ke rumah orangtuanya. 

Arogan memang ... apalagi hanya sebab masalah kecil yang bahkan sangat tak pantas untuk diceritakan. 

"Mesin cuci?! Buat apa?! Kamu itu ada-ada saja! Lagian seberapa banyak sih baju kotor kita?! Sampai-sampai harus merengek meminta alat itu!" Seruku gusar dengan wajah memerah.

Aku lelah ... sangat lelah. Banyak urusan kantor yang harus kuselesaikan dalam waktu singkat. Dan Amalia?! Apa yang dia lakukan hingga menyambut kepulangan sang suami dengan tingkah kekanak-kanakan seperti ini.

"Cucian kita memang tak banyak ... tapi kan kalau ada mesin cuci bisa disambil kerjaan lain, Mas," rengeknya kembali, mendayu, manja.

"Kerjaan apa?! Masak?! Beberes rumah?! Itu kerjaan semua Ibu Rumahtangga di dunia! Tak perlu berlebihan. Bahkan, anak kecil pun banyak yang sudah mampu melakukan,"

Nelangsa, Amalia nampak dalam menundukkan kepala. Hanya sebuah penolakan kecil atas pinta yang memang tak mendesak menurutku. Namun, mengapa harus pasang muka sepedih itu.

"Aku berlebihanan ... Empat tahun, Mas. Sejak melahirkan Agam kudengungkan keinginan ini ... tanpa mendesak. Aku mencoba menahan diri, tak marah meski penolakan lah yang selalu kau beri ... sebatas mesin cuci ... banyak orang yang sudah menggunakannya di era ini. Dan aku?! Mengapa kau biarkan mengemis padamu sampai selama ini?" Ujar Amalia berkaca-kaca. 

"Karena aku ingin kau belajar hidup sederhana ... belajar mengelola keuangan demi masa depan yang lebih baik. Selama tubuh masih sehat, badan pun masih kuat. Lalu untuk apa kau meminta itu ... maksimalkan saja pemberian Allah sebagai wujud syukur atas anugerah yang telah diberi,"

"Mengajariku hidup sederhana atau memang sengaja ingin menyiksa, Mas? Mendidik seorang Istri untuk tak kufur atau memang wujud dari sikapmu yang kikir ... coba jelaskan! Megapa kau kaburkan sekat antar keduanya?" Teriak Amalia, keras memekak rungu. 

Sungguh, kini tak lagi kukenali wanita yang telah delapan tahu kunikahi ini. Dulu ... bahkan sampai beberapa jam yang lalu tak sekalipun dia berucap melebihi nadaku.

Tapi kini? Mengapa dia berlaku seperti itu?! Kemana kemuliaan yang dulu erat melekat di nadi bidadariku.

"Tak sedikitpun ada niatku untuk menyiksamu, Amalia. Tak ada ... Apalagi berlaku kikir. Aku hanya ingin mendidikmu, mengajarimu akan hidup yang tak selamanya berada diatas angin ... bahkan seringkali keadaan memaksa kita jatuh tersungkur ke dasar jurang. Dan aku ... ingin menempamu, menjadikan dirimu seorang wanita yang tangguh, tak tergoyahkan,"

"Bukan seperti ini caranya, Mas ... ini tak benar," tolak Istriku itu, kuat menggelengkan kepala. 

"Tak benar?! Amalia ... tertatih dalam belajar itu hal wajar, cedera dalam perjuangan itu lazim. Namun, tetap tegak sampai akhir itu luar biasa," tuturku mencoba mengusik kerapuhan, membangun kembali kekuatan.

"Tapi aku tersiksa, Mas. Sangat tersiksa ... apakah kau tak tahu itu?! benarkah air yang selalu mengintip di balik kelopak ini luput dari pengamatanmu, Mas?! Atau memang sengaja ingin mengabaikan tangis sampai batas akhir kemampuanku. Saat raga ini tak lagi memiliki asa, kala masa telah berteriak akan nafas yang tak lagi tersisa!"

"Amalia ...." lirihku tertahan.

"Aku tersenyum ... tidak! Lebih tepatnya terpaksa mengembangkan bibir saat bersamamu. Aku nampak bahagia ... tapi itu hanya pura-pura belaka karena sikapmu yang memang tak pernah peka. Aku mencoba tegak dalam dalih baik-baik saja ... tapi ini terlalu lama, Mas ... sangat lama. Hingga memaksa ragaku bernapas tanpa jiwa,"

"Argh! Amalia aku tahu ... sangat faham. Kau terlahir dari keluarga berada, tak pernah kekurangan. Apalagi hidup dalam derita. Tapi, kini kau ada sebagai seorang Istri sekaligus Ibu dari anak kita," ucapku terjeda, mencoba kembali menautkan kasih dengan jalinan netra.

"Coba sedikit saja kau luruhkan egomu ... pandai memilah mana yang memang sangat perlu dan mana yang sebatas gaya hidup semata," imbuhku.

"Gaya hidup?! Hanya mesin penggiling pakaian, Mas! Tak lebih .... " Tandas Amalia tersenyum masam.

"Anak baru satu ... sudah mulai masuk sekolah ... air ada tak usah nimba, sabun tersedia tak perlu pusing untuk membeli. Apa lagi?"

"Apa lagi? Semudah itu memang kalau hanya bicara ... coba sekali saja kau relakan tanganmu itu untuk melakukannya, Mas! Coba .... "

Terhenyak, kutatap Amalia heran.

"Aku?! Sebagai seorang Imam telah kulakukan segalanya, memeras keringat demi kata cukup untuk semua anggota keluarga. Masih kurang kah?! Hingga kau memintaku mengerjakan tugas seorang Istri pula?!"

"Tugas seorang Istri katamu, Mas. Apakah itu mutlak?! Haram kah bila suami turut membantu ... tidak perlu semuanya ... cukup hal kecil saja. Pernahkah kau terbersit ingin melakukannya?! Meski hanya sebatas niat belaka?!"

"Aku akan membantumu ... itu pasti. Tapi kan kamu tahu, pukul berapa aku harus berangkat kerja,"

"Hampir satu windu, Mas ... semenit pun tak adakah waktumu untuk sekedar meringankan pekerjaanku?! Oke, tak usah berlebihan ... pernahkah sekali saja kau relakan tanganmu itu untuk memegang sapu? Atau mengumpulkan pakain kotor? Tidak ... hanya menjemur handuk basah bekas kamu pakai pun ... pernahkah kau melakukannya?!"

"Haruskah kita meributkan hal sesepele ini?! Sekedar menjemur handuk bekasku ... apakah itu terlalu memberatkanmu, Amalia?!"

Sungguh, aku tak tahu apa yang terpendam di balik rambutnya. Hingga, tugas utama seorang Istri pun harus dibagi dengan kepala keluarga. Yang jelas-jelas memiliki tanggungjawab lebih besar daripada dirinya, yang harus memeras keringat demi mencukupi kebutuhan keluarga.

"Sepele?! Iya ... itulah. Kau selalu menganggap keberadaanku ini tak berarti. Hingga, fasilitas untukku pun seperti tak ada arti. Secuil saja ... tak bisakah kau menghargaiku, Mas. Sebagai seorang Istri yang patut untuk dimuliakan? Bukan hanya sebatas penunjang hidup, melancarkan harimu!

"Aku meghargaimu, Amalia ... sangat memuliakanmu ...."

"Seperti ini kah caranya?!"

"Aku tahu ini sangat berat untukmu... tapi cobalah, sedikit belajar dari Istri-Istri zaman dulu ... yang tetap mampu mengurus anak dengan kesederhanaan, tanpa mengeluh meski semua dilakukan dalam keterbatasan,"

"Mengapa kau harus meminangku bila mengidolakan keelokan manusia purba?! Nikahi saja nenek-nenek yang jelas-jelas tak akan melek pada perkembangan zaman!" Tandas Amalia, mendentum kalbu.

Sungguh, aku terhenyak. Kuat tersentak akan pemilihan lafalnya. 

"Amalia! Cukup! Jaga tutur katamu! Aku ini suamimu ... Imammu! Surgamu ada pada baktimu padaku!" Balasku kuat menekan murka meski berakhir tak sempurna.

Sangat hina. Sungguh dirinya telah menodaiku dengan kata nista.

"Iya! Aku tahu ... sangat tahu di mana letak surgaku. Lantas bagaimana dengan dirimu, Mas. Apa kau tahu di mana letak nerakamu?!"

"Argh! Pandai sekali kau membalikkan kata," sindirku tajam.

"Ini adalah bukti bahwa betapa buruk kau mendidik seorang Istri!" Tandas Amalia, berlalu menjauh pergi.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status