Share

Bertemu Mantan Calon Mertua

Setelah lelang, acara dilanjutkan dengan makan bersama. Sikap Dika kurasakan berubah seratus delapan puluh derajat. Demikian juga dengan Mira dan yang lainnya. Mungkinkah semua karena cek seratus lima puluh juta yang kuberikan saat lelang?

Ternyata memang semua hal butuh uang, tetapi masih banyak juga yang menjadikan uang sebagai segala-galanya.

"Pulangnya kuantar ya?"

"Nggak usah, Ka. Aku dijemput."

"Sama siapa? Pacar?"

"Bukan. Dijemput sopir."

Dika tampak terkejut. "Kamu pakai sopir pribadi sekarang?"

Aku mengangguk. Wajar jika Dika heran. Arta yang dikenalnya dahulu bahkan tidak pernah tahu rasanya naik mobil pribadi. Disebabkan kemiskinannya pula, orang tua Dika memandangku sebelah mata. Padahal saat itu kami baru pertama kali berkenalan.

"Tinggal di mana sekarang?"

Aku menyebutkan nama sebuah perumahan mewah di bilangan Jakarta Selatan. Dika mengernyitkan dahi. Sepertinya ia heran, bagaimana mungkin mantan kekasihnya yang dulu tinggal di gang sempit bisa hijrah ke kawasan elit.

"Orang tuamu di mana sekarang?"

"Mereka pulang ke kampung halaman."

"Jadi, kamu tinggal sendiri?"

"Nggak juga. Ada beberapa orang yang menemani dan bantu-bantu di rumah."

Aku merasa belum perlu menceritakan kehidupan yang sekarang. Penghinaan yang dulu diberikan orang tua Dika, masih menyisakan perih. Kata-kata ibunya bahkan masih terngiang hingga sekarang.

"Lu ngapain pacaran sama orang Jawa, Dika? Ntar kalau nikah, banda lu dibawa mudik semua ame die."

Saat itu juga, aku langsung angkat kaki dari rumah besar yang baru pertama kali kusambangi. Salahkah hati jika menetapkan cinta pada orang yang dianggap berbeda kasta? Tak ada seujung kuku pun niat di hati untuk menguras harta Dika dan keluarganya.

Sejak pertama kali mengenal laki-laki itu, aku bahkan tak tahu jika ia anak orang berpunya. Hati ini hanya terpesona pada apa yang terlihat selama kami bersama di bangku sekolah. Tak ada udang di balik batu sama sekali.

Cinta itu hadir begitu saja tanpa pernah kupinta. Tak memandang gemerlap harta atau garis keturunan trah bangsawan. Maka dengan berat, kuputuskan untuk menyudahi semuanya. Memutus semua kontak dengan laki-laki yang usianya satu tahun lebih muda dariku itu.

Sepuluh tahun sudah berlalu. Saat hari ini kami bertemu lagi, apakah masih ada cintaku untuknya? Entahlah.

Suara dering telepon membuyarkan lamunanku. Dari Pak Adi, sopir pribadi yang sekaligus juga orang kepercayaanku.

"Non Arta, saya udah di depan."

"Baik, Pak. Tunggu sebentar, ya."

Menutup ponsel, aku kemudian berpamitan pada yang lain. Walau acara reuni belum usai, aku tak bisa bertahan lebih lama lagi. Malam ini seorang Arta Intan Sari harus istirahat lebih cepat untuk meeting esok pagi. Ada pembahasan penting terkait produk baru dengan para pemegang saham dan juga komisaris.

"Mau kemana sih, Ta? Acara belum selesai, lho," Winda berkata sambil menatapku dengan pandangan yang berbeda dibanding saat awal acara.

"Iya, sorry, gue harus pulang cepat."

"Kayak Cinderella, Lu. Takut mobil berubah jadi labu, ya?" Meta menimpali.

Aku hanya tersenyum. Bersalaman dengan beberapa yang duduk berdekatan, termasuk Dika. Laki-laki itu mengiringi kepergianku dengan tatapan yang sulit diartikan. Ia mengantar hingga ke tempat parkir. Dua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana. Kuakui, tubuhnya semakin atletis di usia yang bertambah matang saat ini. Huh, kenapa aku malah berpikir yang tidak-tidak?

Pak Adi segera membukakan pintu saat melihatku keluar dari lobi, lalu menerima lukisan dari panitia dan menempatkannya di bagian belakang mobil. Kusempatkan untuk menoleh dan melambaikan tangan pada Dika yang berdiri dengan tatapan lurus ke mobil ini. Sejurus kemudian kami sudah meluncur menembus jalanan ibukota.

Baru lima menit, tiba-tiba ponselku berbunyi. Ada pesan dari Niar lewat aplikasi hijau.

"Parah sih, mereka gosipin lu lagi, Ta."

"Kan, ada dirimu di sana. Mereka tetep cuek gitu?"

"Kayaknya mereka lupa ada gue di sini. Atau sengaja kali, ya?"

"Mereka gosip apa emangnya?"

"Gue rekam tadi. Nih gue kirim, ya."

Aku menunggu beberapa saat, hingga sebuah rekaman suara dikirimkan sahabatku itu. Latar belakang yang bising membuatku agak kesulitan mendengarkan rekamannya. Terpaksa menempelkan ponsel ke telinga padahal tombol speaker sudah kuaktifkan.

"Seriusan si Arta sekaya itu?"

Itu suara Meta. Sebuah suara lainnya yang tak kukenal, terdengar menimpali.

"Nggak ngerti juga gue, tapi dia emang dianter pakai mobil mewah, sih. Tadi gue sempet lihat di bawah pas baru dateng."

"Bukannya dulu dia kere, ya?"

Suara Mira sangat mudah kukenali. Sejak masih SMA ia sudah membenciku karena dianggap telah merebut Dika darinya.

"Kere tapi cantik. Dika aja klepek-klepek sampe sekarang nggak bisa move on."

Itu Winda.

"Canda, Dik." Ada nada khawatir dalam suara perempuan itu.

Aku membayangkan Dika sedang melotot ke arah Winda sehingga ia meluruskan ucapannya sebagai hanya canda belaka.

"Kerja di mana dia sekarang?"

"Bilangnya pengacara. Emang dulu si Arta masuk fakultas hukum, ya?"

Sejenak tak ada satupun yang bersuara. Hanya dentuman musik yang terdengar.

"Kok gue malah curiga, ya? Jangan-jangan si Arta tuh jadi istri simpanan pejabat gitu.⁴

"Ya, kali istri simpanan nyumbang lewat lelang segitu banyak."

"Bisa aja, dong?"

"Istri simpanan biasanya tampil cetar. Lihat penampilan si Arta. Baju dan sepatunya biasa aja. Perhiasan juga nggak pakai sama sekali."

Tiba-tiba terdengar suara seperti meja yang dipukul.

"Jaga tuh mulut! Gosip aja!"

Ternyata itu Dika yang memperingatkan mereka dengan nada marah. Lalu rekaman berakhir. Aku tersenyum sambil mengetikkan beberapa baris kalimat untuk Niar.

"Semoga dosa gue berkurang karena digosipin sama mereka."

Tak lama kemudian Niar membalas pesan.

"Aamiin."

Hening kembali menyelimuti perjalanan. Pak Adi fokus dengan tugasnya, memperhatikan lalu lintas yang masih ramai walau hari sudah hampir menunjukkan pukul sepuluh malam. Tiba-tiba aku mendengar suara dari arah tempat duduk Pak Adi. Seperti perut yang kelaparan karena belum terisi.

"Pak Adi belum makan?"

"Eh, itu ... ta-tadi ... nggak sempat, Non."

"Kenapa nggak bilang? Lima ratus meter lagi kita berhenti aja. Ada restoran Jepang halal di sana.

"Nggak usah, Non. Saya makan di rumah aja nanti."

"Pak Adi nurut aja, deh. Sekalian saya tiba-tiba pengen makan ramen. Kayaknya enak malam-malam gini."

"Baik, Non."

Sebenarnya aku tidak benar-benar ingin makan ramen. Bagaimanapun perut Pak Adi yang lapar menjadi tanggung jawabku.

Tak sampai lima menit, kami sudah berada di dalam restoran Jepang yang cukup ramai. Aku mengajak Pak Adi untuk duduk di sudut yang menghadap ke taman. Kami makan bersama. Walau ia hanya seorang sopir, aku sudah menganggapnya seperti kakak sendiri.

Awalnya Pak Adi canggung diperlakukan seperti itu. Tidak sopan menurutnya jika harus makan satu meja denganku. Namun, setelah aku menjelaskan dan selalu memintanya menemani makan saat sendiri, ia menurut.

"Harusnya Non Arta nggak usah nraktir makan kayak gini. Saya nggak apa makan di rumah aja, Non."

"Nggak, Pak. Kalau Pak Adi sakit, maka saya tidak akan bisa memaafkan diri sendiri."

"Ya, tapi ini udah malam. Non Arta pasti ingin segera sampai di rumah dan istirahat."

"Udah, makan aja, Pak. Saya juga keburu lapar, nih."

Laki-laki itu kini makan dengan lahap. Ia memesan gyudon, menu khas Jepang berupa semangkuk nasi yang di atasnya diberi daging sapi atau ayam. Ada pula resto yang biasanya memberikan telur kocok sebagai tambahan toping. Aku sendiri memesan ramen. Ini adalah menu favoritku saat makan di resto Jepang.

Sedang asyiknya kami menikmati makanan, datang seorang wanita dan laki-laki yang kemudian duduk di samping kiriku. Sekilas ia menatapku. Sepertinya wajah itu tak asing.

"Arta, ya?"

Suara itu, aku ingat sekarang. Ia wanita yang sama sekali tak ingin kutemui saat ini. Ibu kandung Dika.

"Eh, Ibu. Apa kabar?" aku bangkit berdiri dan menyalaminya. Bagaimanapun etika yang terjaga akan menempatkanku sebagai wanita bermartabat, walau ia pernah mengucapkan kalimat penghinaan di masa lalu.

"Baik. Oh, kamu udah nikah ya, sekarang?"

Aku terkejut dan sejenak tak bisa berkata-kata karena memikirkan maksud pertanyaannya. Saat itulah Pak Adi menoleh ke arah kami. Tatapannya juga menunjukkan kalau ia tak kalah terkejutnya denganku. Mungkinkah ibunya Dika menyangka aku dan Pak Adi sebagai ....

"Kok, nggak ngundang, sih? Kalau tahu 'kan, Ibu pasti datang. Malu, ya, karena suami kamu nggak setampan dan sekaya Dika?"

"Oh, i-itu ... bukan ...."

Aku belum menyelesaikan kalimat jawaban, saat perempuan yang penuh perhiasan di seluruh tubuhnya itu kembali bicara.

"Emangnya suami kamu kerja di mana? Kalau lihat seragamnya, sih, cuma sopir, ya? Ngenes amat hidup kamu. Dari Dika yang kaya raya, akhirnya nikah sama sopir. Dasar mental melarat, ya tetap aja selamanya melarat."

Ya Tuhan, jika bukan karena ia seusia ibuku, entah apa yang harus dilakukan untuk membungkam mulut besarnya itu.

***

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status