Fika"Mbak Rina, kamu nggak bisa sembarangan menjual rumah ini!" Aku mengecam tindakannya mentah-mentah."Alasannya?" Dia menatapku seperti tidak berdosa."Mbak harus konsultasi dulu sama Mas Ahmad dan juga sama aku tentunya! Barus bisa mengetahui gimana cara orang terhormat dalam mengambil keputusan.""Ya, orang yang terhormat bisa mengambil keputusan yang tepat dan setidaknya tidak mengakui milik orang lain sebagai miliknya sendiri." jawabnya.Aku dibuat semakin naik pitam olehnya."Aku akan bilang sama Mas Ahmad soal kelakuan Mbak Rina!" Tanpa menunggu lebih lama aku mengambil ponsel."Silakan hubungi Masmu itu sekarang! Bila perlu suruh dia pulang sekarang buat nemuin aku? Kita mau lihat gimana sih reaksi yang akan ditunjukin sama masmu!"Kurang ajar dengan berkata begitu dia nggak hanya merendahkan aku tapi dia juga merendahkan harga diri mas Ahmad selaku suamiku. Sudah berulang kali aku mencoba menghubungi Mas Ahmad, Tapi laki-laki itu tidak kunjung mengangkat. Kemana dia meman
AhmadDering hp sengaja aku diamkan. Aku malas meladeni Fika terus-menerus. Aku tahu jika akan menelponku dalam setiap menit. Ada-ada aja yang ingin ia bahas, mulai dari bertanya Aku baru saja jajan apa, habis dari mana aja,lagi ngerjain apa, udah makan atau belum, bal aku ini anak kecil saja. Pertanyaan receh seperti itu sepatunya tak perlu juga ditanyakan setiap saat. Kalau aku bilang pasti Fika ngeles kalau itu adalah salah satu bentuk dari kepedulian dia sama aku.Peduli sih peduli, tapi nggak gitu juga kali. Kalau udah kayak gitu Itu namanya ngerepotin. Bayangkan saja kita lagi fokus mengerjakan sesuatu eh ponsel berdering mulu. Kan konsentrasi jadi pada hilang. Rasanya sekarang aku lebih betah diam di kantor daripada diam di rumah. Di rumah perempuan itu terus-terusan ngambek tidak karuan. Minta dipeluk mulu, minta dicium mulu, minta dikelonin mulu. Huuuh, terkadang Aku geram dibuatnya.Padahal dia tidak tahu kalau aku lagi pusing mikirin buat bayar hutang bulanan. Eh dia mala
AhmadDering hp sengaja aku diamkan. Aku malas meladeni Fika terus-menerus. Aku tahu jika akan menelponku dalam setiap menit. Ada-ada aja yang ingin ia bahas, mulai dari bertanya Aku baru saja jajan apa, habis dari mana aja,lagi ngerjain apa, udah makan atau belum, bal aku ini anak kecil saja. Pertanyaan receh seperti itu sepatunya tak perlu juga ditanyakan setiap saat. Kalau aku bilang pasti Fika ngeles kalau itu adalah salah satu bentuk dari kepedulian dia sama aku.Peduli sih peduli, tapi nggak gitu juga kali. Kalau udah kayak gitu, itu namanya ngerepotin. Bayangkan saja kita lagi fokus mengerjakan sesuatu eh ponsel berdering mulu. Kan konsentrasi jadi pada hilang. Rasanya sekarang aku lebih betah diam di kantor daripada diam di rumah. Di rumah perempuan itu terus-terusan ngambek tidak karuan. Minta dipeluk mulu, minta dicium mulu, minta dikelonin mulu. Huuuh, terkadang Aku geram dibuatnya.Padahal dia tidak tahu kalau aku lagi pusing mikirin buat bayar hutang bulanan. Eh dia mala
"Pak Bastian, ini nggak kayak yang bapak dengar ini cuma salah paham sedikit," aku berusaha menjelaskan kepada pak bastian dengan siapa dia meyakini ucapan fika.Fika sih, kenapa pula tiba-tiba datang ketika saat-saat seperti ini? Benar-benar membuat suasana tak bersahabat saja. "Apanya yang salah paham Mas? Mas mau mengelak atau apa? Mulai berani bohong sekarang ya? Haa? Kamu nggak bisa ngerti perasaan aku Mas! Kamu nggak mikir!" Fika menunjuk mukaku."Pak, Pak Bastian, saya minta maaf atas semua yang terjadi. Tapi..,""Ahmad, ada baiknya baiknya Anda urus dulu ini perempuan yang mengaku sebagai istrimu! Kita kita juga nggak enak dilihat sama orang-orang. Kalau bapak sama istri bapak ini sedang ada masalah silakan diselesaikan terlebih dahulu,"Aku sungguh tidak enak mendengar kata-kata Pak Bastian. "Tapi, Pak. Rina ini istriku juga!" Sahutku cepat."Iya, yang ada di otakmu cuma Rina, Mas! Rina, Rina dan Rina!" Potong Fika."Lalu aku, mas anggap aku ini siapa Mas? Aku ini istri kam
Aku hampir tak percaya mendengarnya. Kalau Rina bekerja sebagai sekretarisnya Pak Bastian, sudah pasti mereka berdua akan bertemu setiap hari. Mendengar ini hatiku langsung berkata lain. Ada sesuatu yang tak beres di antara mereka berdua. "Rina kerja di sini sebagai sekretaris Bapak? Haha... Itu nggak bisa Pak Bastian! Rina ini cuma lulusan SMA biasa, nggak punya keahlian khusus. Jadi, kurasa sangat tidak layak bagi perusahaan untuk menerima pekerja yang berpendidikan rendah. Ini akan memperburuk citra perusahaan itu sendiri, Pak!"Serta merta Aku mengeluarkan pendapat. Sebenarnya aku tak masalah bila Rina bekerja di sini, karena dengan begitu Aku punya kesempatan setiap hari untuk menemuinya. Akan tetapi kalau dia bekerja sebagai sekretarisnya Pak Bastian, tentu saja aku tidak bisa terima. Ini bukan pertanda baik. "Aku harap bapak akan berpikir dua kali untuk keputusan yang baru saja bapak. Pekerjaan sekretaris membutuhkan keahlian khusus! Kalau Rina aku tak yakin bisa melakukan tu
FikaAku terkejut ketika mendengar suara seseorang dari arah luar.Aku kaget ketika melihat sebuah mobil terparkir di depan sana."Siapa itu, Mas?" Aku lekas bertanya pada Mas Ahmad.Mas Ahmad membuka tirai jendela namun keningnya juga ikut berkerut."Kok kayaknya Mas juga nggak kenal,"Hingga akhirnya tiga orang keluar dari dalam mobil. Tatapan mataku terpaku pada seorang laki-laki paruh baya yang berjalan belakangan.Dia kan....Ceklek, tiba-tiba saja pintu rumah terbuka.Aku tentu saja kaget ketika mengetahui ternyata wanita tersebut membuka pintu rumah begitu saja tanpa izin terlebih dahulu."Oh.. Astaga... Maaf," Ibu paruh baya tersebut nampak terkejut ketika bertatapan muka denganku."Maaf, saya kira rumah ini sudah dikosongkan," ibu-ibu itu berkata."Mmmaksudnya!" Aku dan Mas Ahmad sama-sama."Kami sekeluarga akan pindah ke sini minggu depan. Rencananya hari ini kami akan membersihkan setiap ruangan sebelum ditinggali nanti," ucapnya.Aku tentu kaget dong. Begitu juga dengan m
FikaAku menjemur 2 keranjang pakaian sendirian. Aku harus cepat-cepat menyelesaikannya, sebab di kompor sana sepanci lauk harus segera di aduk agar tidak gosong. Aku memang harus cepat-cepat mengerjakan semua pekerjaan yang membosankan ini. Sebab aku juga ingin membersihkan diriku. Aku sudah tidak tahan rasanya. Tubuh ini terasa lengket dan kotor. Sudah seminggu yang lalu body washku sudah habis. Lulur andalan juga sudah lama tinggal kotaknya saja. Aku tidak boleh membiarkan ini terjadi berlarut-larut. Tubuhku juga butuh nutrisi internal maupun eksternal. Aku berdecak kesal ketika mendapati kulit tangan dan kakiku kering bersisik akibat kekurangan nutrisi perawatan. Rambut juga terasa kusam, karena sejak hampir sebulan ini aku terpaksa harus memakai shampo biasa tanpa conditioner tambahan. Padahal sebelumnya aku tidak pernah memakai shampo untuk kalangan rakyat jelata seperti ini. Tapi apa daya, isi kantong tidak lagi mendukung. Mas Ahmad mulai pelit dan ibunya juga cerewet Masya
Fika"Fikaaaaa!"Baru saja aku duduk di sofa dan bermaksud untuk menonton televisi, eh si Mak Erot sudah main berteriak aja dari belakang sana."Ya, Buu," jawabku jengkel."Sini, dulu!" Huuuh... Mau tidak mau aku harus menghentikan menonton film favoritku. "Ada apa, Bu?" Aku menghampirinya."Nih ya, ibu ajarin kamu! Piring yang warna putih ini jangan di taruh di sini! Ntar kepake malah cepet kotor!"Ya ampun, kalau nggak mau kepake kenapa di taruh di rak piring, Lampir? Untuk pajangan doang apa?"Terus yang ini nih, nih ayamnya kurang lembut! Kamu masakin lagi sana! Nggak tahu apa kalo gigi ibu suka sakit kalo makan makanan bertekstur keras?"Yaaaaa, harus dimasak lagi? Melelahkan, cukup melelahkan. Disini serasa aku ini dibikin babu. Ingin rasanya aku pulang ke rumah orang tuaku saja. Tapi, apa aku akan menjilat ludahku sendiri setelah apa yang sering kuceritakan pada mereka?Sebenarnya tubuhku lemas, sepertinya kesehatanku sedang menurun. Tetapi perintah Mak Lampir ini tidak b