Share

3. Dinding Batu

Arion terus saja tergelak, sama sekali tak mempedulikan seruan Asta yang mengingatkan tentang harkat dan martabatnya sebagai seorang pangeran yang terhormat.

“Memangnya kenapa jika aku seorang pangeran, eh? Aku tidak boleh tertawa lepas? Oh yang benar saja, jika demkian, dunia ini pasti sangat membosankan. Benar, tidak?” balas Arion seraya mengerling jahil, mengedipkan sebelah mata dengan senyum yang masih tersungging dengan lebarnya. Membuat Asta benar-benar kehilangan kata. Diam-diam, dirinya menyumpahi Ega dan Egy yang tidak ikut bersama mereka. Andai si kembar itu bersama mereka sekarang, pasti dirinya tidak akan menjadi bulan-bulanan si pangeran seperti ini.

Karena entah bagaimana, si kembar itu selalu saja memiliki trik-trik licik untuk melawan kekeraskepalaan Arion.

Arion menatap wajah datar Asta yang dibalur sedikit kebingungan dengan sebelah alis terangakat, lantas terkekeh pelan. Sahabat masa kecilnya itu benar-benar miskin ekspresi. Sangat sedikit bicara, dan begitu lurus. Lihatlah wajah datarnya yang begitu polos.

Demi melihat ekspresi Asta, Arion akhirnya berdeham untuk meormalkan nada suaranya. Ia sungguh merasa sedikit bersalah karena menertawakan kepribadian Asta yang memang sangat pendiam.

Arion menatap Asta lekat penuh rasa bersalah, yang justru dibalas dengan sebelah alis terangkat oleh Asta, membuat Arion menyeringai lebar.

“Baiklah. Aku aku memang memiliki mimpi seperti yang Eros katakan padamu,” tutur Arion seraya berbalik dan kembali menjalankan kudanya, namun kali ini dengan langkah lambat, seakan dengan begitu sengaja ingin menikmati setiap jengkal langkah yang ia lalui. “Tapi, siapa yang akan mempercayai kebenaran dari sebuah mimpi?” lanjutnya, kembali menoleh ke samping, tempat Asta berada seraya menyeringai lebar.

Sebuah pernyataan yang membuat kening Asta mengkerut semakin dalam. “Apa maksudmu? Jangan bilang kau─”

“Tepat sekali, itulah tujuanku. Sudah lama sekali aku ingin mengunjungi kehidupan di balik dinding batu,” tegas Arion dengan begitu tenangnya, pangeran itu bahkan menyunggingkan senyum lebar ketika mengatakannya.

Sebuah kenyataan yang membuat Asta seketika membuka mulutnya dengan kedua mata melebar. Sengatan keterkejutan menghantam benaknya, seakan menghambat kerja otaknya hingga tak mampu mengeluarkan kata-kata barang sepatah.

“Bukankah kau juga sudah lama penasaran dengan kehidupan seperti apa yang sesungguhnya terjadi di balik dinding batu itu? Dan kali ini, berterimakasihlah pada kegeniusan otakku hingga kita bisa bisa mengelabuhi kaisar dan pergi ke sana. Tapi, sayang sekali si kembar tidak ikut bersama kita. Jika tidak, ini pasti akan menjadi hal yang sangat menakjubkan. Kau─”

“Arion,” Suara serak sedikit tertahan itu seketika membuat Arion menoleh.

“Ya, apa kau punya rencana bagus tentang apa yang akan kita lakukan?” sahut Arion polos dengan senyum lebar, namun, begitu melihat ekspresi Asta yang syarat akan rasa keberatan, senyumnya perlahan memudar, digantikan dengan kerutan samar di keningnya. Seakan tengah menunggu dengan sabar kalimat seperti apa yang akan meluncur dari lisan Asta.

“Apa kau sungguh-sungguh dengan apa yang baru saja kau katakan?” tanya Asta memastikan, manik kelabunya bergerak-gerak seakan tengah diselimuti kegelisahan.

Demi mendengar pertanyaan Asta yang syarat akan kekahwatiran itu, Arion menghentikan langkah kudanya. Menatap lurus ke arah Asta, sebuah tatapan keras kepala dan penuh keyakinan, menegaskan bahwa ia akan melakukan apa pun yang ingin dilakukannya. Kendatipun bibirnya menyunggingkan senyum, namun, tatapan yang menunjukkan jawaban itu benar-benar membuat Asta gelisah.

“Tentu saja, Asta. Bukankah kesempatan ini sudah lama kita nantikan? Kenapa kau sekarang ragu? Aku yakin sekali, jika Egad an Egy bersama kita, mereka pasti akan dengan penuh semangat melakukan apa yang akan kita lakukan. Tidak ingatkah kau berapa ratus kali kita menyelinap ke luar istana sewaktu kecil dulu? Dan kita selalu gagal mendekati dinding batu. Bukankah ini kesempatan yang sangat bagus, eh?” sahut Arion panjang lebar, seakan ingin sekali membangkitkan jiwa bebas Asta yang sepertinya sudah mulai terjerat dalam sangkar yang menyesakkan.

Dan dari sorot mata Asta, Arion bisa melihat jika sahabatnya itu masih memiliki keingan yang sama dengan dirinya, dan tambahkan, sama kuatnya. Di balik wajah datarnya, Asta sungguh terlihat berusaha keras menyembunyikan keinginan yang sebetulnya masih membara tak terbendung. Dan entah hal menjengkelkan seperti apa yang membuat teman baiknya begitu membatasi dirinya dengan begitu kejamnya.

Asta mencengkeram tali kekang kuda semakin erat, menahan segala bentuk emosi yang ia miliki dan berusaha keras agar tidak bocor keluar hingga orang lain mampu membaca isi pikirannya. Mungkin usahanya itu akan bisa dengan mudah mengelabuhi orang lain. Namun tidak dengan Arion. Pangeran itu bahkan bisa dengan mudah menebak apa yang baru saja dilakukan Asta ketika mereka baru bertemu, meskipun kediaman mereka sangat berjauhan.

Dan dalam hal ini, sungguh, Arion ingin meneriaki Asta agar tidak melakukan hal yang sia-sia  jika berada di hadapannya, seperti, menyembunyikan perasaannya yang sesungguhnya.

“Tidak, Arion. Kau tidak boleh pergi ke sana. Jika kau memaksakan diri hendak melintasi dinding batu itu, percayalah, aku sendiri yang akan menghentikanmu, meskipun harus memotong kedua kakimu,” ucap Asta dengan nada keseriusan, dan memang seperti itulah kebiasaannya.

Jawaban itu seketika membuat Arion mengerjap-ngerjap dengan tampang bodoh.

“Oh, sepeertinya kau lupa, Asta. Bukankah sudah kubilang padamu, kau tidak perlu menipu dirimu sendiri jika berhadapan denganku. Apa kau lupa jika aku mampu membaca pikiran orang lain?” balas Arion ringan sekali, menyeringai lebar.

Kemampuan membaca pikiran? Tentu saja dirinya hanya membual. Kegemarannya membaca buku, membuatnya sangat sensitif dan mampu membaca pikiran orang lain melalui kombinasi gerak tubuh dan ekspresi singkat yang mereka tunjukkan dalam waktu sepersekian detik. Sebuah kejujuran murni.

“Tapi kita sekarang bukanlah kita sepuluh tahun lalu, Arion. Kau adalah pewaris tahta White Kingdom. Bagimana mungkin aku akan membiarkanmu membahayakan diri dengan melintasi dinding batu terlarang itu? Dan lagi, bukankah telah dikatakan jika di balik dinding batu itu bersemayam makhluk-makhluk mengerikan? Jika demikian─”

“Kau percaya dengan dongeng itu?” tanya Arion dengan nada seakan tak percaya jika Asta yang begitu tegas dan rasional bisa tenggelam dalam rumor-rumor yang beredar, yang belum tentu benar.

“Aku tidak yakin, namun, apakah menurutmu leluhur kita membangun dinding batu sekokoh dan sekuat itu hanya karena iseng?” balas Asta dengan kening berkerut dalam. Seakan ingin membuat Aron turut memikirkannya dan memutuskan untuk menghentikan ide gilanya. Yang sayangnya, alih-alih hal itu membuat Arion berpikir. Yang ada justru sebaliknya. Pangeran itu justru tergelak.

“Jika memang benar apa yang dikatakan oleh mitos itu, tentang makhluk-makhluk mengerikan yang menghisap darah manusia hingga mengering, yang mengunyah tubuh manusia seperti mengunyah kudapan, lantas, bagaimana caranya leluhur kita menyelesaikan pembangunan dinding batu yang bahkan badak yang mengamuk pun tak mampu menggoresnya?”

Sebuah jawaban telak yang syarat akan kelogisan. Membuat Asta tertegun. Dan mau tidak mau, membenarkan pernyataan Arion itu. Lupa jika mungkin saja leluhur mereka memiliki kekuatan khusus yang mampu menjaga mereka ketika proses pembangunan dinding batu itu terjadi.

"Bagaimana menurutmu, Asta? Apakah yang kukatakan itu keliru?" tanya Arion dengan seringai penuh provokasi. "Mungkin saja di balik dinding batu itu ada harta karun yang disembunyikan leluhur kita. Benar, tidak?" lanjutnya dengan seringai jahil, sebuah kemungkinan yang membuat Asta seketika mendongak dan menatap pangeran itu dengan tatapan tak percaya. Bagaimana mungkin pangeran ini menganggap cerita skaral masa lalu sebagai candaan?

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status