Share

2. Panggilan Nurani

The Blue Eyes

Jemari ramping nan kokoh menghentak tali kekang kuda yang ia tunggangi. Kuda terbaik dengan surai hitam legam nan berkilau itu segera melesat cepat sebagaimana yang diinginkan tuannya. Yang kini duduk dengan begitu gagah di atas pelana, menatap jauh ke depan dengan senyum lebar. Seakan inilah hari yang telah lama ia nantikan. Hari dimana dirinya bisa menjelajahi setiap penjuru dengan bebas.

Mengenai pencarian pasangan hidup, tentu saja ia tidak serius dengan hal itu. Karena hanya dengan alasan itu Eros mengizinkannya keluar tanpa syarat. Meskipun demikian, soal mimpi yang ia ceritakan itu nyata adanya. Namun, hey, siapa yang akan mempercayai sebuah mimpi?

Jika mimpi itu benar, maka, anggap saja sebuah keberuntungan baginya. Jika tidak, tak usah dipikirkan. Dirinya masih memiliki seribu satu cara untuk mengelabuhi Eros yang terus saja membujuknya untuk menikah. Dan siapa sangka, sikap pengasuhnya itu sperti virus yang mudah menular. Karena sekarang, Paman Leandro pun juga telah terjangkit virus yang sama persis dengan Eros.

Dengan alasan naik tahta, maka dirinya harus segera menikah? Bagaimana mungkin ada aturan menjengkelkan seperti itu? Tidak bisakah ia menjadi kaisar saja tanpa harus menyertakan syarat untuk menikah? Apa yang mereka pikirkan sebetulnya?

Arion menyeringai mencemooh begitu pikiran itu muncul di benaknya. Pandangannya semakin menajam menatap di kejauhan. Kesampingkan masalah rumit itu, saatnya bersenang-senang!

Pangeran itu memacu kudanya semakin kencang. Seakan ingin terbang bebas tanpa perlu mengkhawatirkan apa pun.

Disusul oleh Asta yang berkuda di belakangnya. Meninggalkan pintu gerbang White Kingdom yang berdiri megah, kokoh, dan tampak begitu elegan dengan besi-besi bersepuh emas. Dua penjaga yang membuka gerbang membungkuk penuh hormat melepas kepergian sang pangeran yang menyamar. Segala atribut kerajaan ia tanggalkan. Ia hanya mengenakan pakaian khas pengembara dengan pedang di punggung layaknya kesatria.

Setelah keluar dari wilayah istana, Arion memutar tali kekang kudanya ke arah Barat. Arah di mana pemukiman warga berpusat. Mengundang tanda tanya bagi Asta. Ia tahu pasti pangeran yang satu ini sangat keras kepala dan susah diatur. Sebelum keberangkatan, Eros sudah mengingatkannya berulang kali untuk mengambil jalan yang sudah disiapkan. Jalan khusus bagi keluarga kerajaan. Yang memiliki level keamanan tingkat tinggi. Dan kini, pangerannya itu justru begitu riang gembira mengabaikan peringatan Eros? Dan begitu sengaja mengambil jalur yang berbahaya? Oh, yang benar saja. Jika sampai Eros dan Kaisar mengetahuinya, bukan hanya pangeran keras kepala itu saja yang akan terkena masalah, dirinya pun pasti akan mendapatkan omelan sepanjang hari oleh Eros.

Asta bergidik ngeri hanya dengan membayangkannya. Karena jika sudah mengomel, Eros tidak akan berhenti sampai langit terbelah.

Karenanya, Asta segera menghentakkan kakinya, mencoba mensejajari sang pangeran.

“Pangeran Arion, sepertinya kau mengambil arah yang keliru,” seru Asta berusaha mengimbangi kecepatan kuda sang pangeran yang tak memiliki tandingan dalam hal kecepatan maupun kecerdasan itu.

Tanpa sedikit pun keinginan untuk mengurangi laju kudanya, Arion balas berseru, “Panggil aku Arion, As. Atau aku tidak mau memberikan penjelasan apa pun padamu,” sahutnya sambil tertawa. Membuat Asta mengerjap dengan mulut sedikit terbuka. Tanpa menunggu jawaban Asta, Arion sudah memacu kudanya dengan kecepatan penuh. Asta yang memelankan laju kudanya─bahkan nyaris berhenti─segera tersadar, berusaha kembali mengimbangi kecepatan Arion.

Ketika pemuda yang sudah menjadi teman semasa kecilnya itu sudah berada di sampingnya dengan ekspresi menuntut penjelasan, Arion tersenyum lebar. “Apa yang ingin kau dengar?” tanyanya ringan.

“Kau sudah tahu, Arion,” jawabnya dengan sedikit kebimbangan ketika menyebut nama sang pangeran.

Asta tahu pasti sosok seperti apa Arion. Pemuda itu sangat keras kepala dengan keputusannya. Sesungguhnya─menurut hukum kerajaan─menyebut nama kaisar dan anak keturunannya tanpa mengikutsertakan gelar kebesaran adalah terlarang. Ia bisa saja mendapat hukuman cambuk dari bagian keamanan. Dan yang paling aneh adalah, baru pertama ini ia menemukan sosok pangeran yang tidak mau dipanggil dengan gelar kebesarannya yang seharusnya menjadi kebanggaan.

Di sisi lain, mendengar intonasi aneh ketika Asta menyebut namanya, Arion sungguh tak mampu menahan tawa. Ia tergelak lepas. Melupakan adat kesopanan seorang pangeran yang diajarkan bertahun-tahun.

Demi melihat hal itu, tanpa sadar, Asta tersenyum. Pangeran Arion tetaplah seorang manusia biasa. Sahabat masa kecilnya yang tak pernah berubah.

“Asta, kau tahu? Kau adalah sahabat terbaikku selain Ega dan Egy. Aku tidak ingin ada sekat apa pun yang bisa merusak pertemanan kita. Seharusnya kau mengerti apa yang kumaksud, bukan?” tegas Arion dengan senyum lebar.

“Kau percaya padaku?” tanya Asta tanpa sadar. Kalimat itu meluncur begitu saja dari dasar hatinya. Tidak peduli jika pertanyaan itu sama sekali tidak sejalan dengan topik pembicaraan sang pangeran.

Keresahan dan kegelisahan yang memberatkan pikirannya akhir-akhir ini membuat kalimat itu keluar dengan sendirinya. Seakan ingin meyakinkan diri sendiri bagaimana harus menentukan sikap.

Asta tahu pasti siapa Arion. Meskipun pangerannya itu terlihat begitu santai dan sama sekali tak ingin berpikir rumit, ingin hidup sederhana dan bahagia, namun, Arion adalah sosok pangeran yang cerdas. Memiliki pemikiran yang mendalam dan sama sekali tidak menyukai kekerasan.

Rencana jahat ayahnya, yang merupakan perdana menteri kepercayaan sang kaisar, kemungkinan besar sudah diketahui oleh mata hati Arion yang sangat tajam dan jernih. Dan pangeran ini masih tersenyum dengan penuh ketulusan padanya?

Entah bagaimana, tiba-tiba Asta merasakan keharuan yang medalam jauh di lubuk hatinya.

“Tentu saja. Bahkan ketika kau berbohong padaku, aku akan mempercayainya,” sahut Arion ringan sambil tertawa tanpa beban. Sebuah pernyataan yang langsung menghantam benak Asta dengan begitu kuat, bagai palu yang meremukkan kaca.

“Asta,” Arion memelankan laju kudanya ketika mereka sudah tiba di perbatasan antara desa dan kompleks kerajaan. “Lihat di sana,” lanjut Arion dengan jari telunjuk terangkat, mengarah pada pemukiman yang padat penduduk. Bola mata besarnya menyipit saat menyaksikan aktivitas orang-orang desa. Mereka terlihat sangat sederhana dan lemah. Pandangannya terkunci pada anak-anak yang ramai ikut membantu orangtuanya di ladang-ladang. “Anak-anak itu, menurutmu, berapa usia mereka?” tanya Arion tanpa menoleh. Dan tanpa sadar, ia sudah menghentikan laju kudanya tepat di sisi pepohonan terakhir dari batas desa.

Asta mengikuti arah pandang Arion setelah berusaha keras mengendalikan gejolak hatinya begitu mendengar penuturan Arion yang begitu tulus tentang betapa kuat kepercayaan yang pangeran itu berikan padanya.

Asta berdeham ringan, “Sekitar 7-8 tahun, mungkin,” sahutnya tak yakin, sedikit heran dengan hal yang mencuri perhatian pangerannya itu.

“Benar. Beberapa hari yang lalu, aku bertemu dengan mereka. Apa yang kita lakukan ketika seusia mereka?” Kali ini, Arion menoleh penuh ke arah Asta. Memaksa pemuda yang tak banyak bicara  itu untuk mengenang masa kecilnya.

Bayangan masa kecil itu pun seketikan menghampiri benak Asta tanpa perlu usaha keras untuk menggali gudang ingatan tentangnya. Karena bagi Asta, masa kecil mereka benar-benar sangat berharga. Bersama Arion, dan si kembar Ega–Egy, mereka menghabiskan masa itu dengan belajar, berlatih, dan bermain. Ia teringat bagaimana mereka berempat selalu membuat Eros marah-marah karena sering sekali kabur ke hutan untuk berburu burung, mengendap-endap ke kanal belakang istana hanya untuk berenang dan adu kecepatan. Dan masih banyak lagi kenakalan yang biasa mereka lakukan. Sebuah ingatan yang tanpa sadar, membuat Asta tersenyum.

“Asta,” tegur Arion sambil terkekeh pelan begitu melihat sahabat baiknya itu tersenyum sendiri, meski samar.

Secepat kilat, senyum Asta memudar, digantikan dengan sikap salah tingkah. “Maaf, Pang─eh, Arion. Sebenarnya, apa yang ingin kau tunjukkan padaku?”

Arion terkekeh pelan sebelum pandangannya kembali terlempar jauh menembus batas. “White Kingdom adalah kerajaan besar. Paling besar di antara lima kerajaan di Goldstone Empire. Menurut teori yang kita pelajari dari Chiron dulu, bukankah fungsi kerajaan adalah melindungi dan mensejahterakan rakyatnya? Pada titik ini, aku sungguh gagal memahaminya,” tutur Arion tanpa sedikit pun memalingkan pandangannya.

Asta terdiam, menatap lekat-lekat gestur wajah sahabat semasa kecilnya itu. Sang putra mahkota ini, sama sekali tidak berubah. Kecuali bentuk fisiknya yang terlihat semakin matang dan rupawan.

Detik berikutnya, pandangannya sudah beralih mengikuti arah pandang Arion. Menangkap rumah-rumah penduduk yang tampak sederhana. Jauh dari hiruk-pikuk kemewahan seperti kehidupan para pejabat istana. “Manusia memang rumit, Arion. Ambisi telah menenggelamkan jiwa mereka ke dalam lumpur kehinaan yang mereka anggap kejayaan.” Rahang Asta mengeras, tatapannya begitu tajam menusuk penuh amarah, berimbas pada getar suaranya yang terdengar sangat dingin. Membuat Arion langsung menoleh. Sedikit terkejut dengan perubahan ekspresi Asta yang terasa asing baginya. Mengingat Asta adalah sosok pendiam yang miskin ekspresi. Namun, dengan alasan yang sulit ia jelaskan, Arion merasa senang melihat sikap sahabatnya itu. Sebuah sikap yang syarat akan keyakinan yang sulit tergoyahkan.

Menyadari tatapan Arion, Asta langsung berpaling. “Maaf, Arion, tidak seharusnya aku berkata demikian,” sesalnya.

Arion terkekeh pelan. “Aku senang kau sudah kembali, As,” serunya sambil menyentak tali kekang kuda.

“Hey,” seru Asta. Tidak ada sahutan kecuali kekehan menjengkelkan yang membuat Asta mendengus. Bagaimana bisa pangeran keras kepala itu mengambil kesimpulan hanya dalam kurun waktu satu kedipan mata? Namun demikian, senyum Asta mengembang sebelum ia turut menyentak tali kekang kuda menyusul sahabat terbaiknya. Bukankah lelaki tidak harus banyak bicara untuk menyampaikan isi hati dan pikirannya?

Setelah pembicaraan mereka itu, entah bagaimana, Asta merasakan beban berat di pundaknya seakan telah menghilang. Menguap tanpa jejak. Detik itu juga, ia sungguh tahu apa yang harus ia lakukan.

Setelahnya, mereka selalu memacu kudanya dengan pelan setiap kali melewati desa-desa. Mengamati sekitar dalam diam. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Para orang tua yang mengemis di tepian jalan, anak-anak kecil yang berjualan di p***r, wanita-wanita penambang pasir, dan banyak lagi aktivitas penduduk yang mencuri perhatian mereka.

“Apa kau masih sering pergi ke tempat-tempat seperti ini?” tanya Asta memecah keheningan.

Arion tertawa pelan. “Kau pikir begitu?”

“Apa yang kau lakukan di tempat-tempat seperti ini?” Asta sudah sering mendengar Eros marah-marah dan menyuruh penjaga untuk mencari Arion yang tiba-tiba menghilang. Menipunya dengan guling yang diselimuti jubah kebesarannya.

Arion tergelak, “Bermain gundu dengan anak-anak desa,” sahutnya ringan tanpa beban. Alis kanan Asta berkedut mendengar jawaban Arion. Membuat Arion semakin tergelak. “Hey, aku serius, As. Lain kali kau harus mencobanya. Ini sangat menyenangkan,” lanjutnya.

Kuda Asta meringkik, seperti dikejutkan oleh sesuatu, “Kau tahu, Arion? Zero bahkan terkejut mendengar penuturanmu,” balas Asta, lantas tertawa. Tawa langka yang jarang sekali ia tunjukkan. Arion bahkan bisa mengingat dan menghitung berapa kali Asta tertawa seperti itu.

“Kau tertawa, Asta? Hey, kau sungguh tertawa?” goda Arion dengan bola mata berbinar jahil.

Tawa Asta langsung terhenti, ia mengibaskan tangannya dengan wajah memerah karena malu. Untuk mengurangi rasa malunya, ia berdeham canggung. “Sebenarnya, apa yang kau cari di Pantai Selatan, Arion? Apakah yang dikatakan Eros benar? Kau akan mencari  pasangan hidup di sana?” Demi mendengar pertanyaan polos Asta, Arion tergelak sejadinya, ia bahkan sampai memegangi perut menahan sakit. Asta mendengus, “Berhenti tertawa, Arion. Kau membuat martabat seorang pangeran White Kingdom jatuh ke dasar jurang hingga tak bisa diselamatkan,” gerutu Asta. Alih-alih membuat Arion diam, yang ada justru sebaliknya, pangeran itu semakin tergelak hingga sudut-sudut matanya berair.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status