Tapi apa iya dia bisa melakukannya, sementara di hatinya masih tersemat nama wanita lain yang sudah berbagi peluh dengannya.Dan apa bisa aku menerima lelaki yang sudah mengabaikan arti ikatan suci pernikahan? Aaah, kenapa pikiranku jadi kacau gini. Tak kusangka dan tak terduga, tiba-tiba dia mendekat lalu mendaratkan ciuaman di sebelah pipiku. Sontak aku menolehnya dengan menatap dalam manik matanya. Suamiku kini tersenyum menatapku, kami bertukar pandang hingga beberapa menit."Ka_mu ... mau apa? Apa per_lu sesu_a_tu?" tanyaku gugup memulai pembicaraan setelah cukup lama saling diam, dengan melempar pandangan."Eng_gak, aku cuma mau bilang, sekarang aku mau keluar sama Amel. Mau nemenin dia shoping, ke salon, makan. Jadi, nanti kalau Papi tanya aku, kamu tolong jawab aku lagi maen ke rumah teman, ya! Kamu mau pesan apa, biar pulangnya sekalian aku belikan!" tukasnya ramah karena ada maunya.Ya ampun, aku sudah salah tanggap, aku pikir dia mau melakukannya terhadapku. Di PHP in lag
"Mas, apa kamu su_dah bi_sa menerimaku sebagai istrimu seutuhnya?" Aku mendelik ke arahnya, menatap wajahnya yang begitu mempesona."Iya, aku sudah bisa menerimamu sebagai istriku," itulah jawaban yang mau aku dengar dari mulutnya."Ma_af, Ratna, aku belum bisa. Aku masih terlalu cinta sama Amel, dia wanita yang bisa membuatku bahagia. Dan maaf aku belum bisa tunaikan kewajibanku sebagai seorang suami untuk memberikanmu nafkah batin." Tatapannya berubah sayu, seakan merasa bersalah sudah menikahiku.Jleeepp!!!Asaku runtuh berserakan mendengar pengakuannya yang terus terang tapi membuatku terluka. Belum lama dia bawa anganku melayang tinggi menembus awan, lalu sekarang dia hempaskan aku jauh ke jurang terdalam."Lalu mau dibawa ke mana hubungan kita, Mas? Apa kamu akan terus menganggapku seperti boneka yang bisa kau mainkan sesukamu? Tanpa pernah menghargai perasaanku? Aku manusia biasa, Mas, yang punya rasa sakit hati, cemburu, terluka?" protesku dengan air mata yang tiba-tiba melunc
"Maas Very .... Mas Very sedang apa di sini?" Sontak aku terlonjak melihat kehadirannya di depan mata, senyum manisnya terlempar ke arahku begitu ikhlas."Aku janjian ketemu klien di sini, tapi dia belum datang." Tangannya bergerak cepat membantuku memunguti belanjaan yang berserakan di lantai." Kamu sama siapa ke sini?""Ooh. Aku tadi sama Mami dan juga Alexa, tapi mereka jalannya cepat sampai aku buru-buru ngejar. Alhasil aku terjatuh hingga barang bawaanku berantakan kayak gini," umpatku dengan wajah malu karena dia menatapku terus."Belanjaannya banyak banget sih, sampe kamu kerepotan kek gini?" protesnya lagi."Iya, soalnya Mami semalam dikasih duit sama Papi buat belanjain aku," cicitku seraya beranjak bangun."Oh, ya udah sini, biar aku bantu bawain." Tangannya terulur meraih paper bag dari tanganku. "Katanya Mas Very mau janjian sama orang, nanti kalau dia nyariin gimana? Sudah, sini biar aku saja yang bawa." Tanganku meraih lagi paper bag yang ia pegang, tapi dia menolaknya
"M_Mas Very! Mas Very da_tang ju_ga?" Suaraku tergagap melihat kedatangannya yang tiba-tiba.Pikiranku sudah kemana-mana keingat film-film horor di tv. Sesaat dalam hati aku merasa lega melihat kedatangannya. Sontak aku bergegas berdiri dengan mengibas-ngibas gamis yang tertempel debu."Iya, aku juga diundang, kan, dia karyawanku," tukasnya santai seraya menyodorkan air mineral ke hadapanku. "Kamu ngapain di sini sendiri? Kenapa gak nemenin suamimu di dalam? Aku lihat tadi dia lagi ngobrol sama Amel," pekiknya dengan mengerutkan dahinya seraya menatap mataku penuh telisik."Mas Febi yang nyuruh aku di sini, dia malu mengajakku ke dalam takut banyak pertanyaan dari rekan-rekannya," cicitku menimpali dengan nada kesel campur jengkel."Lah, malu kenapa? Kalian kan, sudah nikah?" sanggahnya dengan nada tak percaya."Dia malu karena aku tak secantik dan semapan Amel," cicitku lagi seraya melirik ke arahnya."Kata siapa?" bantahnya lagi seraya menyilangkan kedua tangannya di dada dan berd
"Mas ...! Aku ini istri kamu, gimana bisa aku tidur dan hamil dengan lelaki lain? Kamu anggap aku ini apa, hah!!" Langkahku mendekat ke arahnya"Iya, istri bayangan. Aku sama sekali tak mencintaimu, sekarang dan seterusnya. Dan aku gak mau memberimu nafkah batin." Dia mendelik ke arahku."Kewajiban seorang suami itu bukan hanya memberi nafkah lahir aja untuk istrinya, Mas, tapi juga nafkah batin." "Oh ... jadi, kamu ngebet, minta disentuh, iya?!" Langkahnya cepat ke arahku.Tangannya dengan cepat menarik bajuku dengan kasar hingga terkoyak, lalu tangan kekarnya menyeretku ke kasur dan menjatuhkan tubuhku begitu saja. "Ini, yang kamu mau, kan? Ya, udah, ayo, kita lakukan sekarang!" sarkasnya dengan suara bariton."Sudah, Mas, cukup ... , hentikan! Bukan seperti ini yang aku mau ...," cegahku dengan mendorong dadanya hingga dia terpental ke kasur."Lalu ... seperti apa?" cebiknya kesal dengan tatapan nyalang ke arahku. Aku terisak lalu menutup mata,Karena dia tak ikhlas menjadi suami
"Hai, sayang." Amel bergegas menghampiri Mas Febi, dia tak sungkan langsung cipika-cipiki. Issshh ... bikin aku muak ngeliat kemesraan mereka, gak dimana-gak dimana selalu mereka janjian. Dasar cewek gak tahu malu, sudah tahu sekarang Mas Febi sudah menikah. Masih aja nempel-nempel.Teman-teman yang lainnya juga menyambut kedatangan suamiku dengan ramah. Aku terus diam, mengekor di belakang lelaki yang tak punya perasaan ini. Mereka juga tersenyum ramah saat melihatku seraya menganggukkan kepalanya sebagai sapaannya."Hai, Bro, siapa tuh?" tanya salah satu temannya sambil menatap ke arahku. "Bukan siapa-siapa, dia cuma pembantu di rumah gue," jawab lelaki yang sudah menikahiku dengan pongah tanpa menoleh sedikit pun ke arahku.Astaghfirullahaladziiim ... Mas, kamu tega banget berkata seperti itu, kamu tak menghargai perasaanku sedikit pun. Hatiku sakit mendengar penuturannya barusan. Dasar, lelaki angkuh. Aku hanya bisa menjerit dalam hati, tak bisa mengungkapkan penolakanku sekara
"Sudah, biarkan saja, jangan kamu pedulikan!" tuturnya lembut seraya mengelus kepalaku.Aku terisak dalam pelukannya, meski aku sadar perbuatanku dosa karena berpelukan dengan lelaki yang bukan muhrimku. Apalagi di sini ada suamiku sendiri, tapi apa boleh dikata. Aku butuh sandaran untuk melepas beban yang menyesakkan dada."Sudah, ayok, pulang sekarang, nanti Papi nungguin!" Tangan kekar suamiku tiba-tiba menarik lenganku, sontak membuatku langsung menoleh dan dengan segera aku beranjak bangun.Dia tak peduli pada Amel dan juga teman-temannya yang sedari tadi melihat aksinya yang secara tiba-tiba menarikku dengan paksa.Dia berjalan menuju parkiran mobil, aku berusaha mensejajarkan langkahku dengannya agar tidak terkesan sedang diseret paksa. Tak kuduga ternyata Mas Very mengikuti kami di belakang."Febi! Jangan kasar sama Ratna!" teriak lelaki yang kini mengikuti kami di belakang. "Loe ngapain ngikut ke sini? Jangan bilang mau jadi pahlawannya Ratna!" Mas Febi menatap sengit ke
"Nak Very, tumben malam-malam ke sini, ada urusan kerja?" tanya Papi dengan wajah yang bersahabat."Eh, Om, enggak kok, Om. Aku ke sini mau ada perlu sama Om," sahutnya dengan ekspresi yang kaku."Loh, kok, sama Om. Ada apa ya? Om jadi penasaran nih? Ya, udah, ayok kita ke ruang tamu!" Aku dan Mami hanya diam, kami saling bertukar pandang. Menyelami pikiran masing-masing dengan gurat penuh tanya. Sedangkan suamiku sedari tadi berdiri tak jauh dari Mas Very, dia hanya diam. Namun, dari ekspresinya terlihat rona bahagia.Mungkin kedatangan Mas Very ke sini mau membahas soal ajakan suamiku tempo hari yang katanya mau meminangku. Karena cinta suamiku yang terlalu besar pada kekasihnya hingga ia ingin segera melepasku pada lelaki lain.Kuikuti takdir-Mu Ya Robby, kupasrahkan semuanya hanya kepada-Mu. Hanya Engkau yang Maha Tahu apa yang terbaik untuk para hamba-Mu."Ratna, ada apa ya Nak Very ke sini? Apa Febi cerita sesuatu sebelumnya sama kamu?" tanya Mami dengan penasaran."Enggak tah
"Nyo_nya ...." Netraku langsung mencelos mendapati Ibu dari suamiku berdiri tepat di depanku bersama Sean."Oh, jadi sekarang kamu ngumpet di sini? Mau mencari perlindungan sama anak saya?" Wajahnya begitu sangar dengan tatapan nyalang ke arahku." Aku kira kamu itu cewek udik yang bo_doh, ternyata li_cik juga ya, sudah diusir biar jauh dari Very malah masih ngejar!""Udah seret aja Tante, suruh keluar dari sini biar dia tidur di jalanan. Pintar banget ya dia ngejar Mas Very, pengen hidup enak itu!" Sean ikut menimpali dengan berkacak pinggang.Nyonya menarik tanganku kasar hingga aku tersungkur di batako." Maafin saya Nyonya.""Kamu harus keluar dari rumah anak saya, karena Very akan saya nikahkan dengan Sean, wanita yang sederajat dan sepadan!""Hentikan! Apa-apan nih?!" Papi tiba-tiba keluar dari dalam dan menyaksikan adegan ini. Dan suamiku ada di belakangnya bergegas menghampiriku dan membantu aku berdiri."Mas ... ken_apa ad_a di sini?" cakap Nyonya terbata, ia terperanga meliha
"Mas, sebenarnya yang semalam aja masih sakit dan perih, tau. Tapi, demi kamu aku rela," cicitku dengan menggigit bibir bawahku."Makasih ya, sayang, nanti Mas pelan-pelan," cetusnya lalu mencium keningku lembut.Malam kedua aku harus melayaninya lagi, dengan penuh keikhlasan. Meskipun tak sepenuhnya aku menikmati karena kalah oleh rasa sakit dan perih di area kewani**anku.Suamiku terus melancarkan agresinya penuh kelembutan hingga selesai menuntaskan hasrat sek**alnya. Ia segera membersihkan diri ke kamar mandi usai bercinta dan segera merebahkan diri di atas ranjang.Keesokan harinya, suamiku mengajakku ke pasar untuk berbelanja kebutuhan rumah tangga. Dua hari tinggal di sini belum ada persiapan apa pun karena dadakan.Sampai di rumah, aku segera membereskan semua barang belanjaan ke tempatnya masing-masing. Tadi beli berbagai lauk dan sayur, bumbu dapur, sabun-sabun dan juga kosmetik untukku."Mau masak apa, sayang? Biar Mas bantu ya, mumpung hari ini Mas libur kerja," ucapnya
"Mas ... ta ... pi aku takut," sahutku ragu sambil menundukkan pandangan."Takut apa, sayang?" Dia menaikkan kedua alisnya sambil merengkuh pundakku. "Mm ... kata orang kalau pertama hubungan itu sakit banget. Benarkah begitu, Mas?" Wajahku mendongak, menatap wajahnya yang begitu ganteng dan manis."Ya ... iya, sih karena kan, istrinya itu masih virgin. Selaput daranya itu sobek dan mengeluarkan darah makanya sakit, tapi sekali aja sakitnya. Besok-besok udah enggak, malahan katanya enak dan bikin keta gihan." Ia menggigit bibir bawahnya sambil tersenyum."Mas, tuh kan, ngeri banget.""Udah, gak papa, nanti Mas pelan-pelan.""Mas, aku ke kamar mandi dulu ya," izinku dan langsung beranjak bangun."Jangan lama-lama ya," pesannya. Dan aku menganggukkan kepala sambil berlalu pergi.Aku bergegas ke kamar mandi. Dua menit aku sudah balik ke kamar."Lagi ngapain, Mas?" tanyaku penasaran saat melihat ekspresi mukanya yang ceria sambil senyum-senyum saat memainkan ponselnya."Ini, mantan suami
"Ma_as Ve_ry ...," ucapku tergagap dengan netra yang mencelos mendapati lelaki yang sangat aku sayangi berdiri tepat di depanku saat ini."Ratna ...," panggilnya dengan wajah terperanga antara kaget dan senang."Siapa mereka Ratna?" tanya teman kerjaku yang saat ini berdiri tak jauh dari keberadaanku."Mere_kaa ...." Tenggorokanku tercekat, dan rasa gugupku menguasai perasaan ini hingga aku sulit untuk berkata.Kini Mas Very berjalan mendekat ke arahku, membuat desir darahku mengalir deras. Gimana tidak, dia lelaki yang aku sayang. Dan dah sebulan kami tidak bertemu, membuat rasa rindu ini kian membuncah. Rasa hati ingin langsung menghambur memeluk erat tubuhnya yang kekar, menyandarkan kepalaku di bahunya yang lebar. Tapi aku malu ada orang lain yang ikut menyaksikan perjumpaan kami yang mendadak ini."Kenalin, aku Very calon suaminya Ratna. Dan kamu siapanya Ratna?" Ia mengulurkan tangam ke arah Reno."A_ku Reno teman kerjanya Ratna," sahutnya dengan meraih uluran tangannya sambil t
"Ver, gimana kalau lo sewa jasa Detektif?" pesan dari Febi sudah kubaca."Boleh, lo yang cari y?" pintaku berbalas."Siyap, Bos." ***Itu dua orang kenapa ya dari tadi ngikutin aku terus? Emangnya aku orang kaya apa yang kalau diculik dapat tebusan?Kalian salah kalau mengira aku anak orang kaya. Tapi, apa mungkin mereka orang suruhan Mas Very yang disewa untuk mencariku? Secara dia kan, orang berduit, yang gak mau capek dan karena kesibukan yang menyita waktunya. Ah, apa iya dia masih menginginkanku untuk jadi pendamping hidupnya? Sementara di rumahnya sudah ada calon yang disiapkan orang tuanya.Gak usah ngarep, Ratna. Dia orang berduit, gampang kok kalau mau mencari 1000 Ratna, gumamku.Dengan langkah cepat, setengah berlari aku terus menghindari dua orang yang sedari tadi ngikutin aku terus. Padahal aku pengen buru-buru sampai kontrakan biar bisa merebahkan tubuhku ke kasur. Rasanya punggung ini pegel banget seharian mondar-mandir mulu.Sekarang mending aku lewat jalan pintas aja
"Iya, aku karyawan baru." Netraku menyisir ke arahnya yang kini berdiri tepat di hadapanku. Seorang lelaki berkulit hitam manis dengan rambut lurus tersenyum ke arahku."Perkenalkan aku Reno, karyawan di sini." Ia menyodorkan tangan ke arahku hendak mengajakku kenalan. "Aku Ratna." Aku menerima uluran tangannya Kami berdiri mematung, saling diam dalam kekakuan karena baru kenal. Lantas aku menarik diri mencoba menghilangkan rasa gugupku dengan menata barang dagangan di rak agar tersusun rapi. Dan dia pun sama mengerjakan tugasnya seperti biasa."Reno, nanti kamu kasih tahu Ratna ya tugas-tugasnya apa saja. Misal kamu mau istirahat jangan ditinggal tokonya, kamu gantian saja!" titah Pak Haji pada lelaki yang berdiri tak jauh dariku."Iya, Pak Haji," sahutnya cepat tanda mengerti."Ratna, kalau kamu butuh sesuatu jangan sungkan ngomong sama Reno ya! Bapak tinggal dulu," selorohnya dengan ramah."Iya, Pak Haji," sahutku sambil menganggukkan kepala.Kemudian pemilik toko itu berlalu per
"Kenapa loe? Suntuk amat kayaknya?" tegur sahabat sekaligus partner kerja Febi saat di kantor."Gue lagi pusing," sahut Very tak bersemangat, ia mengeluarkan sebatang rokok dari bungkusnya. Kemudian menyalakannya dan langsung menghisapnya."Pusing kenapa? Loe lagi berantem sama Ratna?" desak Febi ingin tahu, ia pun ikut mengambil rokok yang ada di atas meja dan menyalakannya."Bukan berantem, tapi Ratna diusir dari rumah sama Nyokap gue," tukas sang CEO di kantor Febi sendu sambil mengusap wajahnya dengan kasar."Kok, bisa? Memangnya kenapa? Terus Ratna pergi kemana sekarang?" cecarnya dengan mata yang terbelalak karena kaget."Nyokap gak suka sama Ratna karena takut dia menggagalkan rencana perjodohanku dengan Sean. Sampai sekarang gue belum tahu keberadaannya, kemarin sudah nyari tapi lom ketemu." Tatapan kekasih Ratna itu menatap ke sembarang arah, hatinya limbung, pikirannya pun kacau."Kalau Bokap gue denger, loe pasti dimaki abis, soalnya Bokap gue itu sayang banget sama dia."
Ya Allah aku mesti kemana ini? Nyari kontrakan kan gak gampang, mana ini bukan daerah sendiri lagi!! Kaki ini terus melangkah menyusuri komplek perumahan elit menuju jalan raya. Dan lima belas menit kemudian aku sampai di halte, terdiam sendiri sambil duduk di halte menunggu kendaraan umum yang lewat.Nyonya bilang aku harus pergi jauh agar tak bertemu dengan Mas Very lagi, huuuufftt. Ingin rasanya menangis meratapi nasib ini, aku sendiri, tak ada saudara atau kerabat di sini. Keluarga besar Ibu dan Bapak jauh di luar pulau, dah gitu kami lost contack semenjak aku pindah ke kota."Neng, mau naik?" tanya Pak kenek saat melihatku."Iya, Bang, ke terminal ya?" tanyaku memastikan."Iya, Neng. Ayok, naik!" ajaknya, ia turun lalu mempersilakan aku duduk di jok yang kosong. Kemudian mobil melaju hingga beberapa menit baru sampai terminal."Neng, sudah sampai terminal," tutur Pak Kenek memberitahu. Dan aku langsung turun setelah memberi ongkos.Kemudian aku naik bis ingin ke makam Ibu dulu, t
"Ver, gue mau dong disuapin sama Ratna, kayaknya enak deh." Dia menatapku penuh arti dan seolah ada maksud tersembunyi, entahlah aku juga gak yakin.Ddeegg!! Apa? Dia mau aku suapin, gak salah? Selama nikah aja dia gak pernah memintaku seperti ini, kenapa sekarang ...? Why??Sekilas aku melirik ke arah kekasihku, ternyata mimik mukanya menunjukkan kalau dia ...iya dia sepertinya tak suka tapi berusaha tersenyum meski sangat terlihat terpaksa."Ayo, dong, aku mau nyobain spagetinya. Kamu bikin sendiri?" Mas Febi sepertinya tak sabar ingin nyobain makanan yang aku buat. Lantas aku segera mengarahkan garpu yang sudah dikaitkan dengan spageti ke mulutnya, dan dia sudah siap menerima suapan dariku.Sesaat dia terpejam menikmati setiap sentuhan rasa yang menempel di lidahnya."Enak banget, sumpah. Baru kali ini aku makan spageti seenak ini, restoran bintang lima aja kalah. Gila ... ini enak buanget." Mas Febi terus nyerocos mendeskripsikan semua rasa yang ia nikmati."Ya enaklah orang tin