Share

BAB 4. RAYUAN MAUT

Dua hari kemudian Mahira mulai disibukkan dengan banyaknya pekerjaan. Karena saat ini butik dan juga toko grosirnya mulai dihandle sendiri.

Mahira merasa keputusannya kali ini sudah tepat. Karena selama ini dia sudah cukup baik terhadap keluarga Panji. Walau pada akhirnya kebaikan dan kepercayaan Mahira disalah gunakan oleh Panji dan juga keluarganya. Hal inilah yang membuat Mahira benar-benar merasa kecewa.

Mahira mulai mengecek keuangan di toko dan juga butiknya satu-persatu. Memastikan pemasukan serta pengeluaran di butik dan juga tokonya tidak mengalami kesalahan. Tapi setelah di amati ulang banyak keganjilan antara pendapatan dan pengeluaran setiap bulannya. Melihat hal itu Mahira merasa kesal kepada keluarga Panji.

"Mulai sekarang aku sendiri yang akan menghandle semuanya. Termasuk perusahaanku yang saat ini masih dipegang oleh mas Panji. Aku yakin mas Panji juga melakukan hal sama seperti yang sudah dilakukan oleh Hendra juga Irma. Apalagi mas Panji sudah berani membohongiku mengenai siapa Irma. Aku kira Irma adalah adik kandungnya, tapi ternyata dia adalah istri pertamanya. Demi keuntungannya sendiri mas Panji tega mempermainkanku habis-habisan. Tapi sekarang tidak lagi. Aku bersumpah akan membalas semuanya dan membuat hidup mereka kembali seperti dulu," gumam Mahira sembari mengepalkan kedua tangan.

Tok tok tok

Suara ketukan pintu menyadarkan Mahira dari lingkaran emosi.

"Masuk! Pintu tidak dikunci," sahutnya dari dalam.

Dua orang lelaki memakai setelan jas berwarna hitam, lengkap dengan kaca mata yang melekat dikedua matanya mencoba menghampiri Mahira lalu berdiri didepannya.

"Ada informasi apa?" tanya Mahira.

"Seperti yang Nyonya inginkan. Kami mencoba mencari tahu siapa Panji yang sebenarnya. Siapa itu Irma? Ternyata memang benar, Irma adalah istri pertama Panji. Mereka sudah menikah selama tiga tahun. Saat ini Irma ikut tinggal bersama ibu mertua Anda. Selama tiga tahun pernikahan mereka baru sekarang Irma dinyatakan hamil. Karena sebelumnya Irma pernah keguguran,"

Mendengar kabar itu Mahira menampakkan wajah datar. Karena Mahira memang sudah mengetahui siapa Panji dan siapa Irma. Walaupun tidak mendetail.

"Itu berarti semua keluarga Panji ikut terlibat dalam kebohongan ini. Mereka sengaja ingin memanfaatkanku demi kepentingan mereka sendiri," sahut Mahira.

"Itu benar Nyonya. Lalu apa rencana Anda selanjutnya?"

"Sepertinya kita harus memberikan hadiah kecil untuk mereka,"

"Hadiah kecil? Maksudnya hadiah seperti apa Nyonya?"

"Mendekatlah ...,"

Anak buah Mahira bernama Alex mencoba mendekat kearahnya. Lalu Mahira membisikkan sesuatu ditelinganya. Alex yang paham hanya mengangguk dan mengulas senyum.

"Bagaimana, apa kamu sudah mengerti apa yang harus kamu lakukan?"

"Sudah Nyonya. Sekarang juga akan kami lakukan," balas Alex.

"Bagus. Aku tunggu kabar selanjutnya,"

"Baik, kalau begitu kami pamit dulu," kedua anak buah Mahira pergi meninggalkan ruangannya.

***

Irma merasa kesal karena tidak bisa pergi ke butik seperti biasanya. Waktunya hanya dihabiskan untuk marah-marah, menggerutu tak jelas dirumah. Seperti bom waktu yang bisa meledak sewaktu-waktu. Begitu juga dengan emosinya.

Berulang kali Irma menelpon Panji dan mengeluh merasa bosan berdiam diri di rumah. Tidak ada pekerjaan yang bisa dilakukannya. Apalagi Hendra dan Dara juga menganggur. Waktu mereka hanya dihabiskan untuk bermalas-malasan sembari bermain game kesukaannya.

"Woi ..., berisik tahu! Bisa nggak suaranya dikecilkan sedikit," protes Irma.

"Yaelah, begitu saja protes. Lagian kalau mbak Irma merasa terganggu dengan suara game kami. Kan bisa pergi ke kamar. Ngapain malah ikutan duduk disini? Bermain game kalau suaranya tidak nyaring kurang asyik Mbak. Seperi makan ayam goreng tanpa sambal," celetuk Hendra.

"Iya nih. Mbak Irma ngapain sih komplen terus. Lebih baik mbak Irma pergi ke dapur sana, bantu ibu memasak. Jangan bisanya cuma makan doang," sambung Dara ikutan nyinyir.

"Hai, jaga mulutmu ya? Enak saja ngatain aku tinggal makan. Aku ini sedang hamil anaknya mas Panji. Jadi sudah sewajarnya kalau aku hanya duduk santai begini tanpa melakukan apapun. Lagian ibu tidak komplen juga kok. Bilang aja kalian iri 'kan sama aku? Karena saat ini aku yang paling diutamakan oleh ibu," Irma melengos pergi sembari mencebikkan bibir.

"Cuih ..., siapa juga yang iri? Aku hanya merasa kasihan saja sama mbak Irma. Sejak tadi mondar-mandir nggak jelas, uring-uringan terus semenjak menganggur. Karena mbak Mahira mengambil alih butiknya,"

"Diam! Kamu pikir aku akan terkejut mendengarnya? Apa kamu pikir aku akan mati kelaparan karena sudah tidak lagi menghandle butik milik wanita itu? Oh tidak semudah itu ferguso. Aku selalu banyak ide dan bisa melakukan apapun yang aku mau. Sekalipun membunuhnya," ucap Irma.

Dara dan Hendra saling melempar pandangan sembari mencebikkan bibir.

"Hii takut ...," celetuk Dara dan Hendra.

Mendengar hal itu Irma semakin kesal lalu memilih pergi sambil menghentakkan kaki.

"Akhirnya dia pergi juga," ucap Dara.

"Kenapa sih kamu nyari masalah terus sama mbak Irma?"

"Biar aja. Habisnya aku kesal sama dia," balas Dara.

"Irma lagi hamil jadi wajar kalau dia suka marah-marah," sambung bu Sita tiba-tiba.

"Memangnya wanita hamil rata-rata suka marah-marah seperti itu ya Bu?" tanya Hendra.

"Ya nggak juga sih. Bawaan bayi itu beda-beda,"

"Mungkin bayi yang sedang dikandung merasa kesal karena harus mempunyai ibu seperti mbak Irma. Andai bisa memilih mungkin sibayi ini juga nggak mau masuk ke perut mbak Irma," celetuk Dara.

"Husst, jangan bicara sembarangan. Nanti kedengeran sama mbak Irma lho. Baru tahu rasa," balas Hendra.

"Bodo amat," balas Dara.

Keduanya justru tertawa ngakak tidak merasa takut jika ghibahannya akan didengar oleh Irma.

***

Alex dan anak buahnya telah berhasil menjalankan perintah Mahira. Mereka telah memesan karangan bunga yang ukurannya lumayan besar dan meletakkan didepan rumah bu Sita.

Karangan bunga itu benar-benar memikat semua orang yang sedang melintas didepan rumah itu. Banyak orang berhenti untuk melihat karangan bunga yang dihias dengan sangat bagus itu dari dekat.

"Masa iya sih, mas Fahri yang terkenal pendiam, baik, nggak suka neko-neko punya istri dua?" tanya bu Dias.

"Iya, masa sih mas Fahri mempunyai istri dua? Tapi kenapa bu Sita tidak pernah menceritakan kepada kita?" sambung bu Ita.

"Mungkin bu Sita malu kali. Namanya aib mana mungkin disebar luaskan. Mau ditaruh dimana wajahnya," sahut Bu Sri.

"Betul, betul," seru mereka serentak.

Kebetulan bu Sita ingin pergi ke teras depan rumah karena ingin menyirami tanaman dipekarangannya. Mendengar suara gaduh di depan rumahnya bergegas dia mengintip dari pintu gerbang.

"Eh, itu bu Sita," seru ibu-ibu yang lain.

"Ada apa bu, ibu? Kenapa pada ngumpul di depan rumah saya?" tanya bu Sita.

"Eh bu Sita. Ternyata diam-diam mas Fahri punya istri dua ya?" celetuk bu Ita.

Deg!

"Ibu dapat kabar darimana? Kalau belum pasti jangan suka menuduh nanti jadi fitnah lho," sahut bu Sita.

"Lihat karangan bunga ini. Disini tertulis ucapan selamat atas kehamilan mbak Santi. Dia menambahkan kalau keluarga bu Sita itu suka mempermainkan orang. Hobi bermain drama dan fasih memikat hati seseorang. Anaknya Fahri sudah punya istri tapi diam-diam mengaku lajang supaya bisa menikah lagi dengan anak orang kaya. Kini gelar istri pertama berubah menjadi istri kedua. Dan lebih anehnya lagi si istri pertama mengaku sebagai adiknya supaya bisa ikut mencicipi harta istri kedua," ujar bu Sri meniru tulisan di karangan bunga yang dikirim oleh Mahira.

Bu Sita buru-buru keluar lalu ikut membaca tulisan yang tertempel di karangan bunga itu. Dadanya bergemuruh hebat. Rasa malu sudah tak bisa di elakkan lagi dari mimik wajahnya.

Merasa kesal bu Sita langsung merusak karangan bunga itu dan membuangnya ke tong sampah. Melihat hal itu sebagian orang percaya bahwa Fahri atau Panji memang punya istri dua.

"Kenapa bu Sita membuang karangan bunga itu?"

"Iya, kenapa karangan bunganya di rusak? Apa itu artinya tulisan ini benar?"

"Berarti benar dong keluarga bu Sita suka mempermainkan orang. Waduh aku harus berhati-hati nih. Jangan sampai anakku menikah dengan anaknya bu Sita," celetuk

ibu-ibu yang lain.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status