Bab 2
“Apa maksudnya ini, De?” tanya Kak Fikri setelah membuka kiriman rekaman Suara istrinya yang tadi kirim.Suara bergetar. Ini menjadi pukulan telak untuk abangku. Kak Fikri pasti hancur mengetahui kenyataan pahit ini. Sebab, cintanya terlalu besar untuk Mbak Lilik. Dia terlalu percaya dengan perempuan tersebut.Aku menghirup oksigen sebanyak-banyaknya untuk mengurai sesaknya dada. Hatiku sakit setiap mengingat obrolan dua manusia luck nut tadi. Di sini yang disakiti tidak hanya aku, tapi juga kakakku. Orang yang paling berjasa dalam hidupku setelah ibu. Aku tidak rela beliau disakiti.“Istrimu bermain gila dengan suamiku, Kak. Kita harus segera mengambil tindakan.”“Ini tidak benar kan, De? Ini salah ‘kan? Kamu bohong kan, Amira?” Suara Kak Fikri terdengar berat.Aku tahu Kak Fikri pasti tidak mudah percaya begitu saja sebelum melihatnya secara langsung. Sebab, di matanya Mbak Lilik adalah wanita baik-baik, tidak mungkin selingkuh.Aku pun berpikir sama dengan Kak Fikri sebelum mendengar semua itu. Karena selama ini Mbak Lilik tampak lurus-lurus saja. Tidak neko -neko orangnya. Siapapun pasti tidak akan menyangka dia bisa berbuat senista itu.“Itu semua benar adanya, Kak. Untuk apa aku berbohong? Tidak ada untungnya sama sekali. Di sini kita sama-sama korban. Kita sama-sama dikhianati oleh mereka, Kak.” Tangis yang sejak tadi kutahan kini pecah. Pertahananku jebol.Kak Fikri memutuskan sambungan telepon.“Sudah, jangan menangis terus. Air matamu terlalu berharga untuk menangisi pecundang macam mereka.” Mbak Mayang mengusap-usap pundakku dengan lembut setelah sambungan teleponku dengan Kak Fikri putus.Aku sibuk menyeka air mata. Mbak Mayang menyodorkan tisu. Segera kususut ingus yang mulai keluar.“Kamu harus bersyukur bisa mengetahui penghianatan mereka secepat mungkin. Dengan bukti itu, kamu bisa menggugat cerai Tama tanpa harus pusing memikirkan alasannya. Bukankah sudah lama kamu ingin keluar dari lingkaran keluarga toxicnya, Arumi?” Mbak Mayang memutar tubuhku hingga kami saling berhadapan.Aku manggut-manggut.Mbak Mayang adalah orang yang paling tahu bagaimana kondisi rumah tanggaku dengan Mas Tama selama ini, dua tahun setengah. Karena hanya dia tempat aku mengeluarkan curahan hati ini. Selama bersama Tama, aku tidak benar-benar bahagia. Keluarga suamilah penyebabnya.Mas Tama adalah pilihanku sendiri, maka aku pun tak berani bercerita dengan Ibu mengenai rumah tangga kami. Sebab, dulu ibu sempat menentang hubungan kami. Entah karena apa beliau tidak menyukai Tama? Karena kegigihanku, ah tepatnya aku yang ngeyel ingin menikah dengan Tama, akhirnya terpaksa Ibu merestui kami. Namun, setelah kami menikah Ibu mulai menyukai Mas Tama. Sebab, laki-laki itu selalu berperilaku baik di hadapan ibu. Selalu bersikap manis. Dan ibu percaya itu. Ia selalu menggunakan topeng di hadapan ibu. Rasa sakit di dada ini dua kali lipat, sakit dikhianati pasangan dan sakit melihat Kak Fikri terluka.“Apa yang harus kita lakukan?” tanya Kak Fikri setelah sepuluh menit berlalu. Dia kembali menghubungi aku. Suaranya sengau. Pasti, habis nangis.“Stop mengirim uang untuk istrimu, Kak. Ganti nomor telepon. Jangan gunakan lagi nomor ini biar dia tidak bisa menghubungi Kakak.”Tidak ada jawaban dari Kak Fikri, entah dia setuju atau tidak.“Lalu, bagaimana kondisi ibu saat ini?” Kak Fikri mengganti topik pembicaraan.“Ibu sudah mendingan. Tapi, beliau tidak boleh berpikir keras untuk saat ini. Tidak boleh mendengar berita yang berat-berat. Ibu harus happy.” Aku mengerjap, menghalau turunnya air mata lagi.Sungguh, ini tidak mudah bagi kami. Mendapatkan masalah besar di saat kondisi ibu yang tidak baik-baik saja. Aku harus menekan emosi kuat-kuat di depan ibu. Aku harus bersandiwara seolah semua baik-baik saja. Meskipun hatiku hancur.***“Kamu dari mana saja, De? Kok baru datang. Ditelepon juga nggak aktif. Untung Mas cepat datang ke sini. Kalau tidak, Ibu pasti sendiri. Bibi tadi buru-buru pulang karena mertuanya mau datang. Lain kali jangan menghilang seperti ini,” omel Mas Tama setelah aku kembali ke rumah sakit malam harinya.Di depan ruang rawat Ibu ia menghadangku.“Aku istirahat di rumahnya Mbak Mayang.”Aku menjawab tanpa menatap wajahnya. Muak melihatnya.Mas Tama berhasil mencekal lenganku yang hendak meninggalkannya. Kini kami saling berhadapan. Ia mengangkat daguku. Sungguh, seandainya tidak dalam keadaan pura-pura tidak tahu perselingkuhannya, sudah pasti kusingkirkan tangan kotor itu dari wajahku.“Ada apa dengan kamu, Sayang? Masih marah karena semalam mas nggak bisa nemani kamu di rumah sakit?” Mas Tama menatapku lekat.Biarlah dia menganggapku begitu. Toh, memang semalam aku marah karena ditinggal sendiri dengan alasan dia harus istirahat di rumah.“Sayang, maaf, ya, Mas tidak bisa menemani kamu malam ini. Nggak papa kan kamu menjaga ibu sendiri di sini. Kan besok pagi hari Senin, Mas harus berangkat bekerja kembali. Mas pulang dulu, ya,” kata Mas Tama kemarin malam sebelum pergi meninggalkan aku sendiri di rumah sakit.Aku percaya saja, meskipun kesal karena harus jaga sendirian. Padahal, setiap orang tuanya sakit, aku tidak pernah absen menemaninya jaga malam hari di rumah sakit.Walaupun sedikit kesal, aku percaya Mas Tama benar-benar pulang ke rumah untuk istirahat. Tapi, rupanya itu hanya kebohongannya semata karena nyatanya dia di ada di rumah Mbak Lilik. Bermain suami-istri suami-istrian di sana. Sungguh menjijikan.Lihatlah wajahnya kini, dia tampak baik-baik saja, tanpa rasa bersalah apalagi berdosa sudah berkhianat. Ya Allah … betapa hebatnya dia memainkan sandiwaranya selama ini sampai-sampai aku tidak tahu kelakuan mereka.“Mas minta maaf kalau memang kejadian tadi malam membuatmu marah.” Aku masih bergeming.“Apa yang harus Mas lakukan agar kamu mau memaafkan Mas, Sayang?”Aku mundur dua langkah saat ia mencondongkan wajahnya ke arahku.“benar kamu mau melakukan apapun agar aku memaafkanmu?” Mas Tama mengangguk. Aku bersorak di dalam hati. Aku tak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini.“Aku merasa capek banget. Malam ini mas yang menjaga ibu, ya. Aku ingin istirahat di rumah. Besok ke sini pagi-pagi membawakan seragam kerja Mas sekalian.”“Tapi, Mas tidak mungkin sendirian, Sayang. Harus ada yang menemani. Bagaimana kalau ibu menginginkan ke kamar mandi. Masak Mas yang harus ngurusin ibu di dalam WC.”Aku tersenyum tipis menanggapi ucapannya.“Bagaimana kalau ditemani oleh Mbak Lilik?” Aku memberikan penawaran. Bibir ini tersenyum penuh kemenangan saat melihatnya terdiam.“Kamu yang benar saja, Sayang. Bagaimana mungkin kami yang hanya ipar bekerja sama menjaga Ibu? Apa kata orang nanti.” Mas Tama pura-pura polos.Aku sangat yakin Mas Tama hatinya bersorak senang mendengar penawaranku.Tanpa menjawab, aku menatap penuh rasa muak pada laki-laki yang masih bergelar suamiku.Sungguh, aku muak melihat tampang yang penuh kepalsuan ini. Sok polos. Sok jaga jarak dengan ipar. Padahal, seluruh bentuk tubuhnya pun dia sudah tahu. Tapi, aku juga tidak bisa berbuat gegabah. Aku harus terlihat tenang, tidak boleh menunjukkan kebencian baik kepada Tama maupun dengan iparku. Aku harus terlihat biasa saja dan seolah-olah tidak tahu apa-apa. Biar semuanya berjalan dengan lancar.“Nggak papa, Mas. Aku percaya kok kamu dan Mbak Lilik bisa diandalkan. Kalau sampai terjadi apa-apa dengan Ibu, aku tinggal menyalahkan kalian. Ingat, rumah sakit ini dilengkapi dengan CCTV. Dan satu lagi, temanku yang menjadi perawat di rumah sakit ini bertugas malam ini. Itu tempat jaganya.” Tanganku menunjuk ke arah ruang jaga perawat.Jakunnya terlihat naik turun kesusahan menelan ludahnya sendiri. Dengan gerakan cepat aku menghubungi nomor Mbak Lilik. Tentu saja dia menyanggupinya tanpa kata tapi. Bagaimana tidak,“Oke, deal, ya, Mas. Aku mau pamit pada ibu. Lalu pulang.” Lekas kubawa langkah kaki menuju kamar rawat Ibu. Kelas satu, ruang yang diinginkan oleh Kak Fikri.Setelah pamit pada ibu, aku segera keluar dari rumah sakit tanpa mempedulikan lagi Mas Tama.“Mbak jemput aku sekarang.” Aku menghubungi Mbak Mayang setelah sampai di parkiran rumah sakit.“Yakin mau beraksi malam ini?” tanya sepupuku setelah kami bertemu di parkiran.“Tentu. Kini saatnya beraksi.”“Oke, gas. Jangan kasih kendor mereka.”Aku menyeringai, mungkin Tama dan Lilik berpikir aku benar-benar akan istirahat di rumah. Padahal, tidak. Malam ini kami akan melakukan sesuatu yang tidak pernah mereka pikirkan sebelumnya.“Kamu mau ke mana dulu ini, De?” Dari balik kemudi Mbak Mayang bertanya.“Ke rumahku dulu, Mbak.” Diantara desauan angin aku menjawab.Tujuanku absen menjaga ibu malam ini adalah, mengamankan seluruh aset yang kami miliki. Harta ku dan juga milik kakakku. Tak rela bila nanti kami berpisah harta itu dijadikan gono gini. Enak saja. Toh, harta itu kami hasilkan dari kerja keras kami sendiri tanpa melibatkan pasangan. Meskipun sudah menikah, bukan berarti aku menjadi ibu rumah tangga biasa yang tidak memiliki penghasilan sendiri. Aku bekerja di salah satu perusahaan swasta. Dua hari lalu, sewaktu ibu masuk rumah sakit aku langsung mengajukan resign. Beruntungnya, di perusahaan tempat aku mencari uang selama ini tidak harus menunggu satu bulan setelah mengajukan surat pengunduran diri. Bisa langsung resign asal sudah menyerahkan surat pengunduran diri. Dua puluh menit berlalu, dan kami telah sampai di depan rumah kami.“De. Mbak tunggu di sini, ya. Jaga-jaga kalau mertuamu lewat.” Mba
Aku menoleh ke arah kamar ibu. Kupastikan beliau tidak mendengar obrolan kami. Aku berada di luar ruang rawat Ibu. Sebisa mungkin aku menjaga agar ibu tidak mendengar berita-berita yang tak mengenakan.“Jangan berpikir macam-macam kamu, De. Tadi itu … tadi itu motor Mbak Lilik mogok di tengah jalan. Jadi, terpaksa mas antarkan pulang.” Aku tersenyum miring mendengar alasannya. Sungguh, baru kutahu suamiku selain orang yang sangat pelit, dia juga orang yang lihai berdusta. Dan sayangnya aku baru tahu saat ini. Kemana saja aku selama ini? Aku tersenyum miris, mengasihani diri sendiri yang dengan mudahnya dibohongi, dibodohi oleh suami sendiri. Mas Tama begitu lancar sekali beralasan, masuk akal, bisa diterima oleh orang yang tidak tahu apa-apa. Tapi, sayangnya aku nggak bisa percaya sama sekali. Bagaimana bisa motor baru sudah mogok? Kentara sekali bohongnya. Dia pikir aku masih tak tahu apa-apa!“Oh, motornya Mbak Lilik mogok? Mesinnya rusak atau kehabisan bensin, Mas?” Aku menebakny
“De, nomor Kak Fikri tidak bisa dihubungi. Gimana ini?” Suara Lilik terdengar panik. “Masak sih, Mbak? Mungkin sedang tidak ada sinyal. Mungkin juga l Kak Fikri sedang sibuk bekerja sehingga tidak sempat mengaktifkan nomornya.” Aku pura-pura menenangkannya. Padahal, di bibir mencebik.“Tapi, ini sudah seharian lho, De. Sudah puluhan mungkin malah mungkin ratusan panggilan dari Mbak, tapi tetap sama, tidak aktif. Bagaimana ini?” Lilik kembali bersuara. Kali ini lebih sedih dari sebelumnya. Aku tersenyum miring alih-alih bersimpati kepadanya. “Ya aku nggak tahu, Mbak. Doakan saja semoga Kak Fikri di sana baik-baik saja. Mbak tenang aja, nanti kalau sudah senggang Kak Fikri pasti menghubungi kita, kok. ” “Bagaimana nasib Mbak kalau nggak ada Kak Fikri? Apalagi sudah tidak ada simpanan lagi. Seharusnya dua hari lagi ia kirim uang. Tapi, kalau nomornya nggak bisa dihubungi kayak gini gimana?” Baru sadar dia? Saat selingkuh dan enak-enak dengan suamiku tidak kepikiran tentang perjuangan
Degup jantungku bertalu-talu saat Mbak Lilik mengatakan akan lapor polisi. “Mbak yakin pelakunya akan segera ditangkap.” Ucapan Lilik membuat aku menggigit bibir bawah.Tenang Amira, tenang. Jangan panik. Kuhirup oksigen sebanyak-banyaknya. Berharap bisa sedikit tenang setelah ini.“Memangnya Mbak ada bukti mau melaporkan polisi? Laporan pada polisi itu nggak bisa asal lho, Mbak. Harus ada bukti. Lagian, untuk mengurus ini dan itu Mbak ada uang?” Sebisa mungkin aku menahannya agar tidak laporan pada pihak kepolisian. Meskipun benar, tetap saja nanti aku disalahkan kalau ketahuan. Dan pasti akan panjang urusannya. Dia terdiam. Pikirannya kacau di sini. Takut-takut dia memiliki bukti. Aku bisa saja masuk penjara dan urusannya akan panjang kalau dia memiliki bukti. Sungguh, aku tidak mau itu terjadi. Bagaimana nasib ibuku nanti? “Kamu benar, De. Mbak nggak punya bukti. Nggak ada yang tahu siapa yang merampok. Tadi udah nanya-nanya ke tetangga, mereka nggak ada yang tahu apa yang terj
Setengah sebelas siang kami sudah berada di rumah Ibu. Beliau sudah diizinkan pulang dengan beberapa catatan dokter yang harus aku perhatikan. Mbak Mayang menjemput kami. Dia masih di depan menunggu aku. Kami mau segera pergi untuk menjalankan misi selanjutnya.Saat ini, jarum jam di pergelangan tangan ini menunjuk ke angka tiga belas tepat. Karena ada misi yang harus diselesaikan, aku pun berniat menitipkan ibu pada Bibi.“Bi, nitip Ibu. Tolong jagain beliau sampai sore kira-kira, bisa?” Aku menatap adik iparnya ibuku. Beliau ada di rumah Ibu. Datang setengah jam yang lalu setelah ibu tidur. Wanita yang biasa aku panggil bibi itu mengangguk dengan cepat.“Bisa. Mau ke mana?” Dia balik bertanya sembari mengurut kakinya sendiri.“Mau ada perlu. Nanti kalau urusannya sudah selesai, aku segera kembali. Bibi mau nitip apa? Mumpung ke kota ini.” Aku pun menyebutkan semua jenis makanan kesukaannya. Dia menggelengkan kepala.Beliau memang tidak pernah meminta imbalan, selalu tulus membantu
“Alhamdulillah, barangnya sudah habis. Rezekimu bagus, De. Tidak butuh waktu lama langsung laku.” Mbak Mayang menepuk pundakku yang sedang menatap truk pengangkut barang milikku pergi meninggalkan rumah Mbak Mayang.“Terima kasih banyak, ya, Mbak. Semua ini berkat jasa Mbak Mayang, barang langsung terjual. Sungguh, aku tidak menyangka akan secepat ini. Tadinya aku pikir butuh waktu berhari-hari untuk mencari pembeli.” Aku memeluk Mbak Mayang erat. “Itu semua pertolongan dari Allah. Mbak mah apa atuh kalau Allah tidak menggerakkan hati orang tersebut, tidak mungkin orang tadi itu menanggapi postingan Mbak di media sosial.” Mbak Mayang melerai pelukannya.“Ini komisi buatmu, Mbak,” ucapku setelah kembali ke ruang tamu milik Mbak Mayang. Aku mengeluarkan beberapa lembar uang berwarna merah dari dalam gepokan, hasil penjualan barang-barangku. “Kamu nggak perlu repot ngasih komisi ke kami. Pake saja semua untuk kebutuhanmu dan Bulik Sumi,” ucap Mbak Mayang, menolak uang bonus pemberi
Jam tujuh malam, aku membawa ibu ke meja makan. Sebelum pulang, aku tadi sengaja mampir membeli beberapa lauk untuk makan malam. “Kamu kenapa, Mbak?” tanyaku saat melihat gelagat aneh Lilik. Di meja makan ia menutup mulut seperti hendak muntah saat aku membuka tutup penanak nasi. “Bau nasinya bikin mual.” Dia menjawab dengan ragu.Aku dan ibu saling pandang. Aku mengerutkan kening, tapi tidak dengan ibu. Wajah yang semua cerah kini menjadi keruh. Aku tak tahu sebabnya.“Sejak kapan kamu mual melihat nasi, Lik?” Dari atas kursi roda, ibu menatap menantunya penuh selidik. Ah, calon mantan menantu tepatnya. Karena Kak Fikri sudah sepakat dengan aku, akan menceraikan istrinya jika kondisi ibu sudah benar-benar pulih. Sementara waktu, kami akan bersikap biasa dulu.Dia menggelengkan kepalanya, ambigu. “Coba ambilkan nasi untuk Mbakmu, Mir.” Ibu menyuruhku. Meskipun enggan aku menurut, demi akting. Aku tak mau ibu curiga bila sikapku mendadak berubah pada Lilik, sang pelakor. Tangan ya
POV TamaApa sih maunya perempuan itu? Kenapa semua barang di rumah ia angkut semuanya? Kepala ini benar-benar pusing memikirkan sikap Amira yang mendadak berubah akhir-akhir ini. Tidak ada lagi istriku yang penurut. “Tam, jujur sama Ibu, sebenarnya ada masalah apa dengan rumah tangga kalian? Kenapa Amira mendadak berubah?” Aku yang baru pulang ke rumah sudah dicecar pertanyaan oleh ibu.“Tidak ada apa-apa, Bu. Mungkin, dia sedang capek saja menghadapi ibunya yang sakit-sakitan.” Aku menjawab asal sembari menjatuhkan bobot tubuh di atas sofa.“Kenapa semua barangnya harus dijual? Jangan-jangan dia mau pergi dari hidupmu, Tama! Jangan sampai itu terjadi!”Aku mengibaskan tangan. Rasanya sangat mustahil Amira meninggalkan aku. Cintanya begitu besar padaku. Aku yakin itu.“Ibu takut Amira benar-benar akan pergi dari hidupmu. Ibu tidak mau itu terjadi. Bagi ibu, dia tambang emas.” “kekhawatiran Ibu tidak akan pernah terbukti. Percayalah padaku, Bu.” Aku menggenggam tangan ibu untuk me