"kenapa tuhan tidak memberikanku kebahagian itu? Aku sudah cukup bersabar selama ini, apa masih kurang kesabaran ku?" Joan menatap Kiana dengan seringainya, meminta agar di berikan jawaban yang mungkin bisa mengubah pola berpikirnya.Kiana tersenyum miring menatap Joan."Joan, kau memang tidak sadar atau pura-pura tidak sadar!? Kekayaanmu itu kebahagiaan! Banyak orang di luar sana yang mati-matian meminta pada tuhan agar di beri kekayaan lebih seperti kau. Tapi tuhan adil, mereka memang tidak di berikan kebahagiaan lewat harta. Tapi lewat keluarga dan teman-teman.""Kau bisa membeli apa saja hari ini atau besok Dengan sesuka hati, tapi di luar sana bahkan ada orang yang pusing memikirkan bagaimana ia harus makan besok dan seterusnya! Ada orang-orang yang harus menjadi tulang punggung untuk keluarganya, memaksakan diri walau sudah lelah demi menghidupi orang-orang yang ia kasihi dan sayangi,"nafas Kiana tersengal-sengal, dadanya sesak berusaha mengatur nafas. "Apa kau tidak pernah berp
Kiana tambah kesal dengan Joan yang bahkan tidak bersuara sama sekali, dada gadis itu terasa sesak untuk mengambil nafas."Joan! Jawab aku!"Kiana semakin emosi dengan sikap aneh Joan kala itu, apa maksudnya menjawab telfon Kiana tapi tak berbicara apapun. Ingin Membuat gadis itu semakin penasaran dan kesal? "Jo …," belum sempat Kiana berbicara, suara berat Joan menyaut. Suara yang terdengar serak membuat Kiana mematung."Kiana … Jona masuk rumah sakit, dia sekarang berada di ruang IGD. Berhenti meneriaki telingaku, aku lelah," lelaki tampan itu sepertinya benar-benar sangat lelah, seluruh tenaganya habis terkuras. Memikirkan perusahaan keluarganya sudah cukup membuatnya hancur.Deg!Raut wajah Kiana berubah seratus delapan puluh derajat, amarah yang terbakar perlahan memadam. Kini bukan lagi emosi yang menguasai dirinya, tetapi kekhawatiran."Kau di mana? Aku ingin bertemu denganmu …,"pinta Kiana dengan suara lirih."Di rumah sakit Danuarta," jawaban singkat Joan, ia langsung mematik
Joan tersenyum tipis lalu berkata."Melihat senyum bahagia mereka, membuatku juga ikut bahagia.""Ciah! Sahabat aku baik banget,"Kiana tertawa kecil mendengar itu."Nanti makannya pesan lewat aplikasi saja ya? Kamu tidak usah masak," Kiana hanya mengangguk mengiyakan perintah dari Joan sembari memandang keluar jendela.Sesampainya di rumah, Kiana tidak langsung membawa Jona kekamar. Karena kondisi kamar cukup berantakan, jadi Joan yang akan merapihkannya terlebih dahulu."Tunggu di sini dulu ya?"Joan mengelus-elus kepala Kiana lembut setelah itu berjalan menuju kamar Jona."Jangan sakit ya Jona? Kakak jadi sedih lihat kamu,"Kiana mengelus-elus lembut kepala Jona lalu menciumnya, tubuh bayi itu masih terasa hangat. namun sudah cukup membaik dari sebelumnya.Tok, tok, tok…Terdengar suara ketukan pintu, Kiana berpikir itu adalah kurir yang mungkin mengantar pesanan makanan joan.
"Iya, iya, iya! Kiana pulang sekarang!"Kiana segera mengambil jaket dan kunci motornya."Aku ikut, ya?"pinta Joan."Tidak usah, jaga mama dan Jona saja, " ucap kiana ketus."Hiii … kamu pikir mama anak TK kayak kamu? Mama bisa jaga diri, sudah Joan, pergi sana nak,"ucap dania mengelus lembut punggung Joan mendorong pelan tubuh kekar lelaki tampan itu ke arah Kiana."Sebenarnya anak mama siapa? Aku atau Joan?"batin Kiana menatap Dania keheranan dengan sudut mulutnya terangkat tak percaya.Mereka pun berjalan berdampingan menuju halaman rumah."Naik mobil saja, panas."Joan membuka tiga kancing kemejanya sebelum masuk ke dalam mobil, memang sudah menuju waktu senja. Namun entah kenapa matahari masih saja terik."Joan? Ini kita tidak mimpi, kan? Mama beneran lagi jagain Jona, kan?" Kiana menyandarkan tubuhnya ke kursi sembari menutupi kedua wajahnya dengan tangan."Kalau mau tahu ini mimpi atau tidak, coba cium aku! Jika kau merasakannya berarti nyata!" Tantang Joan dengan tatapan mesum
"Tidak, baru saja ada bidadari yang menebarkan senyum kebahagiaan pada orang lain,"ucap Joan lalu tertawa kecil."Ah, itu wajar Joan. Apa kau tidak kasihan melihat tubuh kurus pak nuga yang harus memaksa bekerja sementara anak dan menantunya hanya berdiam diri di rumah! Tak tahu malu,"pekik Kiana dengan nada ketus, lalu mendengus kasar sembari melipat kedua tangannya di dada."Kenapa tidak menyuruh pak nuga untuk tinggal di rumahmu saja? Lagi pula istrinya juga sudah tiada,kan? Anak-anaknya sudah menjadi tanggung jawab para suaminya, bukan pak nuga lagi!"jelas Joan, sama kesalnya seperti Kiana."Masalahnya hati pak nuga terlalu lembut, ia tak tega meninggalkan anak dan cucunya hidup dalam kesengsaraan. Orang tua mana yang mau anak-anaknya menderita tetapi ia hanya diam saja seperti sebuah benda mati?""Aku sekarang mengerti, mengapa banyak orang tua yang mengekang anaknya untuk hal-hal baru, karena ia sudah tau akan seperti apa kedepannya. Tidak ada orang tua yang egois, mereka juga o
"Oh, boleh saja. Di sini juga cukup mencekam jika hanya sendiri.""Kalau begitu di sana saja,"Alen menunjuk toko roti itu, menuntun Kiana dengan memegang punggungnya lembut.Merasa kurang nyaman dengan posisinya dan Alen, Kiana mengambil tangan lelaki tampan itu lalu menaruhnya ke bawah, setelah itu memegang kemeja hitam Alen."Kamu mau genggam tangan saya juga boleh," tawar Alen dengan wajah sumringah."Ti-tidak perlu, begini saja."Alen terus memandang Kiana dengan tatapan kekaguman yang tak bisa ia kendalikan, senyumannya tersebar kemana-mana." Ah, bagaimana cara memilikinya ya tuhan! Saya sungguh mengagumi keindahan ciptaan mu ini!"Alen berteriak dalam batinnya, pikiran tentang keinginan memiliki Kiana membuatnya gila."Alen? Hey …," Kiana melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Alen."Bagaimana caranya?"celetuk Alen membuat Kiana keheranan."Apa?"tanya Kiana mendekatkan wajahnya pada Alen, ia tidak mengerti mengapa tiba-tiba Alen bertanya di keheningan itu.Deg!Jantung Alen
"Iya! Loh? Jadi tadi itu siapa? Joan mana!?" Dania mulai khawatir, bagaimana pun Joan itu adalah anak sahabatnya. Ia sudah menganggap Joan bagian dari keluarganya juga."Tapi tadi …,"Kiana mematung tak percaya, dadanya terasa berat untuk mengambil nafas. Seharusnya Joan sudah sampai lebih dulu sebelum ia pulang."Kamu bertengkar dengan Joan? Karena apa?"seperti tahu ia dan Joan tengah bertengkar, Dania memang sudah memiliki firasat jika mereka sudah bertengkar hebat."Salah paham ma …,"suara Kiana merendah menatap Dania dengan ekspresi tumpul."Kalau terjadi sesuatu pada Joan, mama gagal jaga anak sahabat mama sendiri," Dania menjatuhkan dirinya ke sofa sembari memijat-mijat pelipisnya."Mama tidur saja ya … biar Kiana yang tunggu Joan pulang, kalau perlu Kiana cari,"tegas Kiana."Kamu mau cari dia tengah malam begini!? Kamu pikir di luar sana tidak bahaya! Kamu malah bikin mama tambah pusing na.""Mama pokoknya tidur saja, Kiana janji Joan pasti pulang,"Kiana memasang senyum tipis ber
"Iyalah! Kasihan dia, masa rezeki di tolak. Bunganya wangi kesukaan ku loh, kenapa Alen bisa tahu ya?"Kiana bergumam berusaha memikirkan bagaimana bisa Alen mengetahui wangi bunga kesukaannya, Joan saja tidak tahu."Karena dia menguntit mu, Kiana,"batin Joan menerka-nerka ingin mengatakan hal itu pada Kiana, gadis itu pasti akan merasa jijik jika tahu kelakuan busuk Alen. Bahkan motor Kiana dan juga mobilnya memiliki sebuah GPS yang Alen pasang berulang kali, dan berulang kali juga Joan melepasnya ketika mendapatkannya. Kenapa Alen juga memasang di mobil Joan, karena ia tahu gadis itu selalu bersama Joan.Mendengar pembicaraan mereka berdua, Dania lalu menatap Joan dengan kening berkerut."Kenapa Joan? Cemburu kamu gak ada yang kasih bunga juga?"ucapan Dania terdengar sangat menohok, bunga adalah hadiah yang hampir setiap hari gadis-gadis di kampus berikan pada Joan. Lelaki tampan itu menganggap semuanya adalah sampah, hadiah menurutnya adalah barang-barang bermerek dan berharga tinggi