Aku menatap lekat wajah Zafran yang tengah berdiri di sebelahku.“Maaf, Dokter. Saya tidak mau menandatangani surat pernyataan ini, karena saya yakin kalau ayah saya masih bisa sembuh,” tolak anakku kemudian.“Untuk masalah itu terserah Mas dan Ibu, karena keputusan mutlak ada di tangan kalian,” kata dokter lagi. “Tapi sebagai sesama muslim, saya hanya ingin mengingatkan supaya Bapak ditunggui, minimal oleh putra-putrinya jika memang beliau sudah bercerai dengan Ibu, karena di saat seperti ini Bapak juga butuh dukungan dari orang-orang terdekat. Dan jika pun beliau tidak panjang umur, beliau akan merasa bahagia karena ketika sedang sakaratul maut semua anaknya mendampingi dan mendoakan beliau,” imbuhnya, benar-benar mengena di hati.Sepertinya aku harus terus berusaha membujuk Zarina dan Zafir untuk menjenguk ayahnya, sebab takut kalau Mas Abi memang sudah hendak pergi, hanya saja merasa berat karena sedang menunggu mereka berdua.“Ya sudah, kalau
Esok harinya, aku kembali datang ke rumah sakit menyusul Zafran yang sejak kemarin masih setia menunggui Mas Abi, ditemani oleh Safania, karena aku berniat mengenalkan dia dengan calon ayah mertuanya sebagai bentuk ikhtiar, siapa tahu setelah melihat calon menantunya Mas Abi bisa memiliki semangat hidup kembali.“Tadi dokter baru saja memeriksa, dan kata dokter keadaan Ayah semakin bertambah parah, Bun. Dokter juga sudah angkat tangan,” ujar Zafran ketika aku baru saja sampai.“Innalillahi, ya Allah. Terus, apa kata dokter lagi?” tanyaku.“Tidak ada. Dokter hanya menyuruh kita untuk terus berdoa supaya ada keajaiban dari Allah,” jawab anakku, membuat dada ini terasa semakin sesak karenanya.Kupandangi wajah pucat Mas Abi, ekspresinya terlihat begitu sedih juga kelelahan.“Mas, saya minta maaf karena belum berhasil membuat anak-anak datang ke sini menjenguk Mas Abi. Tetapi lihat, saya bawa calon menantu kita. Namanya Safania. Dia adalah ca
"Tante! Tante! Kemarin kan Om Abi main ke rumah aku loh? Kami main petak umpet, tapi Om sama Mama aku ngumpetnya di dalam kamar, ditutup selimut, dan pas aku masuk Om Abi sama Mama lagi nggak pake baju. Seru deh!" celoteh Sabrina, putri semata wayang Elfira, istri mendiang Mas Restu sahabat suamiku.Dadaku berdebar tidak karuan mendengar pengakuan bocah berusia lima tahun itu, dan mendadak rasa curiga memenuhi rongga dada, khawatir kalau Mas Abi diam-diam telah mengkhianati pernikahan kami yang sudah berusia lebih dari dua puluh lima tahun itu."Mama dan Om nggak pake baju?" Aku bertanya seraya menatap wajah polos gadis kecil itu."Iya, Mama sama Om Abi sampai keringetan, katanya capek!" jawabnya lagi, dengan mimik polos selayaknya anak kecil ketika sedang bercerita kepada temannya.Aku memang sering membawa Sabrina pulang ke rumah karena selalu merasa kesepian jika putra kedua dan ketigaku sudah berangkat ke sekolah, sementara Zarina putri sulung kami sudah berumah tangga, bahkan saa
Mengambil napas dalam-dalam, melonggarkan dada yang terasa seperti sedang diimpit batu besar lalu membuangnya secara perlahan. Lekas menghapus air mata yang terus saja memburai membasahi pipi, mengayunkan kaki menghampiri si bungsu kemudian tersenyum kepadanya.“Ada apa, Bun? Kok muka Bunda kelihatan sembab? Bunda menangis?” Dua bulat bening milik Zafir terus terpantik ke wajah. “Nggak kok, Dek. Mana mungkin Bunda menangis, memangnya Bunda anak kecil?” elakku, tetap berusaha menerbitkan senyuman kepada remaja berusia delapan belas tahun itu.“Tapi mata Bunda kelihatan memerah, wajah Bunda juga sembab?”“Bunda enggak apa-apa. Ayo kita pulang. Ayah kamu katanya sudah sampai di rumah!” Zafir mengangguk patuh lalu memakaikan helm di kepalaku. Dia memang selalu bersikap manis kepadaku, persis seperti Mas Abi. “Pegangan, ya Bun. Soalnya aku paling merasa nyaman kalau dipeluk sama Bunda!” perintahnya, dan aku segera mencubit pinggang jagoanku yang telah beranjak remaja namun masih selalu
“Mas Abi!” panggilku seraya keluar dari persembunyian, membuat mata suami serta perempuan di sebelahnya membelalak hingga hampir lepas dari kelopak.“Bu—nda?” gagap pria itu, segera menjauhkan tangannya yang tengah menggenggam jemari Elfira.“Jadi benar kalau selama ini kalian berdua memiliki hubungan spesial?” Menatap tajam wajah mereka berdua.“Semua tidak seperti yang kamu lihat, Bun. Ayah bisa jelaskan semuanya!” Dia berjalan menghampiri, mencoba meraih tangan ini namun aku segera menepisnya.“Apanya yang mau dijelaskan, Mas. Semua sudah terpampang nyata, kalau kalian berdua telah bermain di belakangku, mengkhianati aku!”“Mbak, aku bisa jelaskan. Aku sama Mas Abi memang tidak memiliki hubungan apa-apa, Mbak. Mbak jangan salah sangka!” Kini wanita perebut suami orang itu ikut bicara.Aku mengangkat satu ujung bibir, sedikit mendongak menahan genangan air mata agar tidak luruh di hadapan mereka. Namun sekuat apa pun diri ini menahan, bulir-bulir bening tersebut tetap merembes melew
"Ini maksudnya apa, Mbak? Hutang? Mas Abi punya banyak hutang?" Tanpa disangka Elfira mengejar hingga ke dapur, menanyakan kebenaran dari apa yang baru saja aku katakan.Aku menoleh sambil tersenyum, lalu menatap wajahnya yang terlihat semakin memucat dengan perasaan tidak karuan.Ingin rasanya menjambak rambutnya, mencakar wajahnya, lalu membanting tubuhnya ke lantai, namun enggan mau melakukan sebab itu termasuk kekerasan. Aku tidak mau menghabiskan banyak waktu di persidangan, apalagi jika harus mendekam di balik jeruji besi karena apa yang telah aku lakukan. Biar tangan Allah saja yang bekerja, dan aku sebagai hamba cukup meminta keadilan atas apa yang sudah Mas Abi dan Elfira lakukan."Kenapa? Kamu nggak nyangka ya kalau Mas Abi punya hutang? Banyak, Dek. Banyak sekali. Nanti juga kamu tahu siapa saja yang bakalan nagih ke dia, karena mulai detik ini saya sudah tidak mau lagi ikut mengurus masalahnya. Pusing kepala saya karena harus membagi penghasilan restoran untuk membayar hut
Tidak ada yang berubah di setiap pagi. Sambil menunggu anak-anak pulang dari musala aku selalu menyiapkan teh hangat juga sarapan untuk semua, lalu berjibaku dengan pekerjaan lainnya karena kebetulan Asisten Rumah Tangga di rumah ini sedang cuti melahirkan.Meskipun dalam hati menyimpan luka begitu dalam aku harus tetap tersenyum, menjalani peran seperti biasa tanpa menunjukkan bahwa saat ini keadaanku sedang tidak baik-baik saja.Aku harus menunggu waktu yang tepat untuk bercerita, mengungkapkan segalanya kepada anak-anak sebab tidak mungkin selamanya menyimpan luka ini sendiri. Aku tidak akan sanggup."Bun!"Aku tersentak kaget ketika tiba-tiba sebuah tangan menyentuh lembut bahu ini, menoleh lalu tersenyum saat melihat Zafran anak keduaku."Sudah pulang, Anak Saleh?" tanyaku kemudian, dengan senyum terukir di bibir.Zafran tidak menjawab, dia malah menghambur memelukku.Ah, ada apa ini? "Kenapa, Sayang?" Aku bertanya seraya membelai rambutnya yang sudah sedikit memanjang."Nggak t
"Memangnya berapa hutang Ayah ke kamu, Van?" tanyaku, mengulik informasi dari menantu karena selama ini Mas Abi tidak pernah cerita apa-apa tentang hutangnya."Nggak banyak, Bun. Hanya tiga puluh lima juta, tapi kan Bunda tahu sendiri uang saya sudah habis dipakai untuk renovasi rumah, jadi tabungan saya sudah habis, sisa yang dipinjam Ayah saja karena memang uang tersebut dialokasikan untuk biaya persalinan Zarina!" jawab Revan terdengar sungkan."Yasudah, tolong kamu jaga baik-baik Zarina, sebentar lagi Bunda ke rumah sakit sekalian bawa uangnya!""Baik, Bun. Kalau bisa jangan lama-lama, ya Bun. Soalnya Zarina nanyain Bunda terus.""Iya, Van. Ini Bunda sudah mau siap-siap.""Terima kasih. Sekali lagi saya minta maaf karena sudah merepotkan Bunda."Tidak sama sekali, Sayang.""Assalamualaikum, Bun!"Aku menutup sambungan telepon setelah menjawab salam, menghirup oksigen sebanyak-banyaknya menahan kesal karena diam-diam Mas Abi meminjam uang kepada menantunya tanpa sepengetahuan darik