“Jaga ucapanmu, Mbak!” tangan perempuan berkutek itu hendak mendarat di pipiku. Namun, dengan sigap aku menghindar. Lantas tubuhnya tersungkur menabrak meja ruang tamu dan merintih kesakitan.
Mala berusaha bangun dan mencoba untuk menyerangku kembali, tapi langkahnya terhenti saat terdengar suara deruman mobil di depan teras.
Kulihat perempuan berkaus merah itu mengacak-acak rambut dan mencakar-cakar seluruh badannya. Tak hanya itu ia pun menampar berkali-kali pipi tirusnya hingga sudut bibir berwarna pink itu mengeluarkan darah.
Tak mengerti dengan apa yang ia lakukan, aku pun berniat untuk mencegahnya. Namun, belum sempat meraih tangannya. Tiba-tiba Mala begitu saja menjatuhkan tubuh ke lantai tepat di hadapan Mas Juan.
“Mala!” seru mas Juan khawatir, lalu membantunya berdiri. “Apa yang terjadi?” tanyanya kemudian.
“Mbak Laras, Mas!” Mala menjawab sembari terisak, seolah-olah ia sangat menderita.
Mas Juan beralih menatapku, dengan tatapan menuntut penjelasan. Rahangnya terlihat mengeras.
“Laras kamu apa kan Mala?” tanyanya berteriak membuatku terlonjak kaget.
“Aku enggak melakukan apa-apa Mas. Tadi dia sendiri yang meluka_” belum selesai aku berucap Mala menyela begitu saja.
“Bohong Mas. Mbak Laras tadi berusaha menganiayai aku, lihat ini Mas." Mala menunjukkan luka-luka ditubuhnya. Membuat pria yang berstatus sebagai suamiku itu tercengang dan kembali menatap tajam ke arahku.
Mala kembali menangis dan mulutnya tak henti membual. “Terus Mbak Laras juga bilang padaku lebih baik kamu mati saja menyusul Mamah,” dustanya.
“Keterlaluan kamu Laras!” kembali mas Juan membentakku.
“Mas, kamu jangan percaya dengan apa yang dia katakan!” sergahku berusaha menjelaskan. “Demi Allah, aku enggak menganiayai dia. Malah dia yang bersikap kurang a_”
“Baiklah Mbak, jika memang Mbak enggak suka aku tinggal di sini, aku akan keluar dari rumah!” Mala hendak melangkah. Namun, suara mas Juan menghentikan langkahnya.
“Tidak ada yang boleh keluar dari rumah ini!” sergah mas Juan membuatku semakin muak dengan perempuan licik itu.
Gemas melihat aktingnya di hadapan mas Juan. Entah setan apa yang merasuki dengan berani aku menyerangnya. Namun tangan kokoh mas Juan menghadang hingga membuatku terjatuh.
“Cukup Laras!”
“Mas, kamu kasar padaku?” aku benar-benar tak percaya. Selama satu tahun pernikahan kami mas Juan tidak pernah sedikit pun berlaku kasar terhadapku. Mulutnya memang pedas, tapi ia tak pernah sekali pun berani mengasariku seperti saat ini.
Aku berusaha berdiri, lantas menatap mas Juan kecewa. “Apa sih, yang membuatmu begitu percaya pada perempuan itu? Kau tahu, selama ini dia berbohong jika dirinya depresi!” beberku penuh emosi.
“Enggak, Mas! Apa yang dikatakan Mbak Laras itu enggak benar, itu fitnah. Mas kan tahu sendiri apa kata psikiater yang menanganiku, jika aku memang mengalami depresi usai kematian mama.” Mala mencoba berkelit sembari memasang wajah teraniaya.
“Sudah cukup!” teriak mas Juan, “Mala masuklah ke kamarmu dan obati luka-lukamu. Ayo, kuantar!” lanjutnya. Kemudian berjalan mendahului adik angkatnya itu.
Tanpa menoleh padaku mas Juan menaiki tangga bersama Mala yang mengekor di belakangnya.
Air mataku luruh begitu saja, melihat kenyataan bahwa mas Juan lebih percaya pada perempuan itu di bandingkan istrinya sendiri.
Di sana Mala menoleh padaku dan tersenyum mengejek. Membuatku ingin sekali menghajar perempuan yang selalu menampilkan wajah polos di depan mas Juan. Namun, di depanku bertingkah seperti nyonya besar tak ada sopan santun sama sekali.
“Tunggu pembalasanku!” geramku menatap tajam ke arahnya.
Flasback
Tubuhku terasa letih setelah seharian berkutat dengan pekerjaan rumah. Biasanya ada bik Imah yang bantu-bantu. Namun, karena hari ini ia mulai cuti untuk pulang kampung, jadi aku yang mengerjakan pekerjaan rumah sendirian.
Aku melangkah menaiki tangga lantai dua menuju kamar, rasanya ingin secepatnya merebahkan tubuh ini di atas kasur.
Namun, saat melewati kamar adik iparku Mala, aku tak sengaja mendengar suara gadis berusia dua puluh tahun itu berteriak, seperti tengah memarahi seseorang.
Rasa penasaran mendorongku untuk mendekat ke pintu bercat kayu itu yang tak tertutup rapat.
Di dalam sana terlihat Mala tengah berbincang dengan seseorang melalui telepon. Tubuhnya menghadap jendela dengan tirai yang tersingkap.
“Pokoknya aku enggak mau tahu. Suruh orang psikiater itu membuat mas Juan lebih percaya dengan kondisi kejiwaanku!” tegasnya pada seseorang di seberang sana.
Mendengar percakapannya barusan, jika kecurigaanku selama ini padanya ternyata benar. Bahwa perempuan itu telah berbohong mengenai kondisinya yang depresi setelah kematian mamah mertuaku dua bulan lalu.
Aku tak menyangka ia berani membohongi mas Juan. Apa sebenarnya yang sedang ia rencanakan? Apakah ia hanya ingin mendapatkan perhatian lebih dari suamiku.
Pantas saja beberapa hari yang lalu aku memergokinya sedang memandang mas Juan dengan tatapan memuja. Apakah Mala memiliki perasaan yang lebih dari sekedar perasaan seorang adik pada kakaknya? Atau mungkin ia ingin merebut mas Juan dariku. Kalau benar awas saja dia. Tak akan aku biarkan itu terjadi.
Tiba-tiba Mala membuka pintu dan memergokiku yang masih berdiri di depan kamarnya.
“Mbak, ngapain di sini?" tanyanya, membuatku gelagapan.
Nasi sudah jadi bubur sekalian saja aku melabraknya menanyakan kebenaran mengenai apa yang ia telah rencanakan dengan seseorang di telepon tadi.
“Aku dengar semuanya. Jadi kamu selama ini bohong mengenai depresi kamu?" todongku tanpa basa-basi.
Mala menatapku terkejut. "Maksud Mbak apa. Aku enggak ngerti?" katanya pura-pura. Memasang raut sok polos.
“Aku mendengar dengan jelas Mala. Sebentar lagi suamiku pulang. Aku akan memberitahunya." Aku berlalu menuju ruang depan menuruni tangga dengan cepat. Sebentar lagi mas Juan pulang, dan akan kubongkar semua kebohongannya
“Mbak!" panggil Mala yang tak kuhiraukan.
Kemudian ia mengejar dan menarik lenganku dengan paksa.
“Mbak. Jangan coba-coba mengatakan itu pada Mas Juan, kalau mbak sampai mengatakannya, maka aku akan nekat melakukan sesuatu yang menyakitkan sama Mbak!" ancamnya.
Aku menarik kasar lenganku dari cengkeramannya dan tersenyum mengejek. "Oh ya, aku enggak takut sama ancaman perempuan pembohong sepertimu, yang memanfaatkan ketulusan mas Juan dan keluarganya. Seharusnya kamu tahu diri, ingat asalmu dari mana!" tekanku. Sambil menempelkan jari telunjuk ke dadanya.
Kemudian terjadilah pertikaian di antara aku dan Mala.
Flasback off
***
Aku terbangun saat mendengar bunyi alarm pukul empat tiga puluh pagi. Menoleh ke samping, mas Juan tak ada di sana. Semalaman aku menunggunya tidur. Namun, pria itu memilih untuk terjaga di ruang kerjanya.
Aku mendesah kasar. Ternyata ia benar-benar marah. Lantas, bagaimana bisa membuka kedok ratu drama itu kepada mas Juan. Sementara posisiku sekarang ini seperti terdakwa.
Aku bangkit dari tempat tidur. Masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri untuk melaksanakan kewajiban sebagai umat muslim.
Usai melaksanakan salat subuh aku keluar dan menuju dapur. Menyiapkan nasi goreng kesukaan mas Juan.
Satu jam berkutat di dapur, akhirnya selesai juga semoga dengan apa yang kulakukan ini, mas Juan tak lagi marah padaku.
Baru saja akan melangkah menuju tempat di mana suamiku berada, tiba-tiba sosoknya muncul di hadapanku. Mas Juan berjalan beriringan dengan Mala. Perempuan itu menggandeng lengan suamiku.
“Manja!" tukasku.
“Kaki aku sakit Mbak. Terkilir karena kemarin di dorong sama Mbak," ucapnya memasang wajah menyedihkan.
“Hai, ratu drama. Jaga ucapan kamu barusan. Apa perlu kita cek CCTV, untuk mengetahui siapa yang salah!” tandasku. Muka Mala mendadak panik. Begitu pun dengan mas Juan sepertinya ia mulai menimbang ucapanku.
“Kena kamu Mala!" aku berseru riang dalam hati.
“Kenapa, kamu takut? Hah!" Tantangku mengejek. Mala masih diam membisu. Aku tahu sebentar lagi ia akan memulai aktingnya kembali. Lihat saja kali ini permainan apalagi yang akan dia tunjukan di hadapan mas Juan.
“Mbak. Salah aku apa sih sama Mbak? Sampai Mbak terus saja menuduhku.” Mala mulai plying victim.
“Salahmu? Membohongi kami!” tandasku.
“Laras sudah cukup!” mas Juan menghentikan perdebatanku dengan Mala.
“Mas kenapa sih! kamu enggak percaya sama aku, buka mas mata kamu, dia itu hanya berpura-pura demi mendapatkan perhatian lebih dari kamu!”
“Sudah cukup!" bentaknya kembali dengan wajah merah padam.
Aku menatapnya sengit lalu bangkit dan membanting sendok ke atas piring hingga menimbulkan bunyi yang cukup keras. Meninggalkan dua kakak beradik itu dengan perasaan kecewa.
Setelah puas menangis karena kecewa atas sikap mas Juan tadi pagi, aku keluar menuju halaman belakang duduk bersandar di bawah gazebo. Sambil menikmati pemandangan tanaman hias yang memanjakan mata.Di sana ada beberapa jenis tanamanAlgonemapemberian mama mertuaku saat pertama kali aku dan mas Juan menempati rumah ini.Ibu dari suamiku itu sangat baik dan perhatian terhadapku. Ia sering memberi nasihat tentang karakter mas Juan yang memang sangat dingin dan pemarah.“Juan anak baik dan sayang pada kedua orang tuanya. Karakternya sangat mirip dengan mendiang papanya. Bukan hanya rupanya saja, tapi semuanya.” ungkap Mama kala itu. Tangannya bergerak kembali menyiram bibit DonaCarmendan lipstik di depannya yang baru saja berpindah pot. “Anak itu memang tidak banyak bicara, tidak suka basa-basi dan hal remeh temeh. Terkadang sikap dinginnya membuat orang di sampingnya jengah.” Mama tertawa, lalu kem
Kejadian semalam membuatku benar-bebar tak bisa tinggal diam. Aku menyalakan laptop. Memeriksa CCTV dan menunjukkannya pada mas Juan. Ia terlihat menahan marah agar tidak meledak.“Kamu sadar enggak sih. Perbuatan kamu itu hampir saja membuat mas Juan melakukan zina!” bentakku.“Maaf Mbak, Mas. Aku khilaf,” ucapnya terisak.“Apa? Khilaf katamu?” ucapku semakin geram mendengar penyesalannya yang di buat-buat.Mas Juan menyentuh pundakku mencoba menenangkan. Agar tak bertindak kasar pada adik angkatnya itu.“Mas benar-benar kecewa sama kamu Mala.” Mas Juan mulai angkat suara. “Sebaiknya kamu kembali ke rumah Mama,” putusnya.“Apa? Mas aku enggak mau kembali ke rumah itu. Apa Mas lupa, Mas janji akan selalu menjagaku sampai kapan pun,” protes Mala. “Apa kamu sudah tak mencintaiku lagi?” ungkapnya, membuatku terkejut.Apa? Cinta?
Aku terbangun saat mendengar suara mas Juan berbicara dengan seseorang di telepon.“Iya Mas segera ke sana,” ucapnya lalu menutup gawainya dan meletakkannya di atas nakas.“Siapa Mas?” tanyaku.“Mala. Dia bilang katanya minta di temani sebentar. Sepertinya ia mulai ketakutan lagi,” jelas mas Juan.“Mas tunggu!” panggilku. Mas Juan menghentikan langkahnya dan menoleh padaku heran.“Ada apa?” tanyanya yang masih berdiri di depan pintu.“Biar aku saja yang menemani Mala, Mas lanjut tidur lagi.” Aku menawarkan diri. Mas Juan terlihat menimbang dan akhirnya ia mengangguk.“Baiklah.” Kembali ia merebahkan diri di kasur.Aku tersenyum menyeringai. Lihat saja Mala, akan kubuat kau menyesal.Aku mengetuk pintu bercat cokelat itu perlahan dan tak lama pintu terbuka. Ah, cepat sekali dia. Sepertinya memang ia sudah siap menggoda suamiku.Mata
Aku membuka mata perlahan, kepala masih terasa pusing, saat Mencoba mengiat-ingat kembali apa yang telah terjadi padaku.Handphone-ku? Aku panik ketika otakku mengingat kembali apa yang telah terjadi sebelum aku dibekap tadi.Aku bangun dari tempat tidur dan mencari benda pipih itu. Pintu terbuka menampilkan tubuh tegap mas Juan dengan wajah datar. Rahangnya mengeras seolah ia tengah menahan amarah.Perasaanku mulai tak enak, aku merasa akan terjadi sesuatu yang buruk.Mas Juan melangkah perlahan mendekat padaku dan seketika kedua tangan kekarnya menarik lenganku kuat. Sehingga membuat diriku meringis kesakitan.“Apa yang sudah kau lakukan dengan pria itu. Hah!” Teriaknya, tepat di depan wajahku. Tatapannya begitu tajam menusuk ke dalam mataku.“Ini, yang kamu cari. Hah!” mas Juan menunjukkan gawai milikku di tangannya.Saat hendak meraihnya, mas Juan menarik
Bau obat menyergap di penciumanku, saat aku tersadar dengan kepala yang masih terasa berdenyut nyeri.“Sudah sadar.” Aku menoleh pada sumber suara. Wanita berhijab dengan jas putih itu tersenyum ramah padaku.Melirik sebelah kiri mas Juan diam tanpa kata. Terlihat wajahnya seperti menahan amarah. Entahlah apa lagi yang terjadi, setelah aku pingsan tadi. Aku benar-benar sudah pasrah.“Selamat ya Bu. Sebentar lagi Anda akan menjadi seorang ibu,” ucap dokter tersenyum ramah.Sungguh aku bahagia mendengar berita yang selama ini sangat dinantikan. Setahun lebih kami menunggu kehadiran sang buah hati, dan akhirnya Allah mengabulkannya.Tak terasa aku menitikkan air mata haru. Mengelus perut yang masih rata, sembari mengucapkan kalimat hamdalah.“Ayo kita pulang!” ucap mas Juan tiba-tiba dengan wajah datar. Apa dia tidak bahagia? Bukankah ia juga begitu mengharapkan anak selama ini.Aku mengangguk mengiyakan, lalu ia membantuku
Keesokan harinya aku terbangun masih dengan morning sickness yang luar biasa. Bolak-balik kamar mandi. Kebetulan memang di rumah bunda yang sederhana setiap kamar tidak memiliki toilet, tak seperti di rumah mas Juan. Karena merasa lelah kuletakan bokong di kursi meja makan. Ternyata seperti ini rasanya mengidam yang sering para wanita bersuami keluhkan. Aku menelungkup kan wajah di atas meja dengan di topang kedua tangan.Tubuhku rasanya lemas sekali, ditambah kepala pusing dan mual yang tiada berkesudahan.“Minumlah, ini bisa mengurangi sedikit rasa mualmu,” kata bunda menyodorkan segelas teh lemon hangat dengan madu di hadapanku.Aku mengangkat kepala, meraihnya lantas meminumnya perlahan. Benar saja, rasa mual sedikit berkurang, bunda memang terbaik.Bunda tersenyum melihat perubahan raut wajahku yang terlihat lega. Mengelus kepala ini yang tak tertutup hijab saat di dalam rumah, karena tak ada pria yang buka mahram di sini
“Jangan sembarangan menerima ajakan pria yang bukan mahram, apalagi memberikan nomor, ingat! kamu itu wanita bersuami.” Peringat bunda, wanita itu terus mengoceh saat kami sudah berada di dalam jok penumpang. Untunglah taksi yang kami pesan tadi cepat datang sehingga kami tidak harus menunggu sambil kepanasan di depan rumah sakit. “Iya, Bun. Tadi Laras hanya menghormatinya saja. Lagi pula belum tentu kan kita bertemu lagi dengan David,” sambungku sembari memijat kening yang mulai terasa pusing kembali. “Dia pria yang dulu ayahmu ceritakan itu, bukan?” tanya bunda memastikan. “Iya.” Aku tak percaya bunda masih ingat dengan David. Pria dulu pernah mengutarakan cinta di depan ayah yang pada saat itu menjemputku di sekolah. “Hati-hati, jangan di respons kalau pria itu kembali menghubungi kamu. Ingat kamu sudah bersuami, dan Juan masih jadi menantu kesayangan Bunda!” putusnya sewot, jika
Berkali-kali aku menguap, rasanya sangat mengantuk. Padahal, masih pukul sembilan pagi. Hamil membuatku ingin rebahan terus.“Mau ngapain?” tegur bunda cepat, usai melayani pelanggan.“Rebahan, Laras ngantuk.” Aku langsung menempelkan kepala di atas sofa panjang yang di sediakan bunda untuk pelanggan yang biasa menunggu pesanan.“Masih pagi, jangan di biasakan, enggak baik buat janin.” Bunda menarik lenganku supaya bangun.“Bunda ....” rengekku, karena sudah sangat mengantuk.“Ayo, bangun, bergerak bantu Lela sama Darmi di belakang sana!” Beliau menggiringku ke dapur tempat membuat aneka kue tradisional.Bunda memiliki usaha toko kue tradisional sejak aku masih SMP. Kue- kue buatannya sudah terkenal enak dan terjangkau. Dan para pelanggannya pun sudah banyak bahkan sudah mencapai luar kota. Sesampainya di tempat khusus memproduksi kue-kue, bunda menyuruh kedua bawahannya memberiku pekerjaan.“Darmi, Lela, kasih Laras kerjaan!” titahnya pada kedua wanita yang tengah membungkus lemper.