Share

Suddenly, I Miss You
Suddenly, I Miss You
Penulis: ZooPisha

I Miss You?

~ 7 Juli 2019

Sinar matahari senja menghalangi pandangan gadis bermata cokelat gelap yang sedang menatap jenuh ke luar jendela mobil. Sudah 5 jam waktu tempuh perjalanan dari Bandung ke Jakarta, adanya pembangunan proyek jalan membuat kemacetan tidak dapat dihindari. Terdengar hanya pada telinga gadis itu yang terselip earphone mengalun musik favorite-nya.

“Na…”

“Ana!”

Samar mendengar namanya dipanggil, Ana melepas sebelah earphone yang ia kenakan. “Kenapa, Bu?” tanya Ana dingin, matanya masih setia memandang luar jendela.

“Besok kamu sudah mulai masuk sekolah, Ibu harap kamu sudah bisa berinteraksi normal dengan teman-temanmu.” Wanita dewasa yang dipanggil Ibu itu menyetir sambil mengamati Ana dari kaca spion dalam.

“Ibu pikir selama ini aku tidak normal?” celetuk Ana tajam.

“Ah ... bukan begitu maksud Ibu. Semester kemarin wali kelasmu mengatakan perubahanmu karena rumor itu. Kamu tidak menganggapnya serius, bukan?”

“Kenapa baru sekarang Ibu membicarakannya? Diam saja seumur hidup Ibu seperti biasanya, dan jangan pedulikan aku.”

Wanita itu, Silla Hanida, mendapatkan sebuah tamparan dari ucapan Putrinya. Walau begitu ia memaklumi jika Ana yang terlalu muda sulit memahami permasalahan yang disebabkan oleh orang dewasa. “Ana ... untuk yang kemarin ibu minta maaf, tapi tolong terima Mama Nita ya? Bagaimanapun Ayah memutuskan semuanya untuk yang terbaik.”

“Ibu saja terlalu lembek! Bagaimana bisa Ibu rela didua?! Sudahlah aku tidak ingin membahasnya.” Ana memasang kembali earphone dengan volume penuh, tidak perduli dengan efek sampingnya.

“Ibu punya alasan, Ana.” Silla tahu jika ucapannya tidak didengar Ana, ia hanya berharap jika Ana bisa lebih kuat menghadapi apa yang akan terjadi kedepannya.

~ 8 Juli 2019

Ruang makan yang hanya diisi dengan suara dentingan adu piring dengan sendok. Hawa dingin menyelimuti dalam diam, hanya tatapan tersembunyi yang menaruh perhatian penuh yang Silla berikan untuk Putrinya.

Ana bangkit dari duduknya seletah selesai makan. Belum genap tiga langkah Ibu memanggilnya.

“Ana, apa pulang sekolah kamu bisa ikut ibu untuk makan malam?” tanya Silla hanya ditemani kesunyian.

Ana tidak tahu harus menjawab seperti apa. Ingin sekali ia menangis, tapi bukan sekarang waktunya. Ana ingin menunjukkan bahwa dirinya sudah dewasa, “Aku tidak mengerti, kenapa Ibu selemah ini. Ibu punya hak untuk menolak! Aku benci Ibu bersikap pasrah seperti ini, apa Ibu pikir aku akan membiarkan Ibu ditindas wanita ular itu?" Ana langsung pergi begitu saja tanpa berpamitan pada Ibunya.

Silla tersenyum mendengar jawaban Putrinya itu. Walau dari jawaban itu sangat mengkhawatirkan, ini permulaan baik karena Ana tidak mencoba melarikan diri.

14 Oktober 2020

“Nafla Annida!”

Ana tersadar dari lamunannya. Bu Retno yang biasanya memuji kepintarannya, kini menatap Ana seakan orang yang rendah. Pandangan yang tidak seharusnya diberikan seorang Guru pada muridnya.

“Iya, Bu?”

“Ibu tahu pelajaran ini mudah untukmu, tapi apa dengan begitu kamu bisa seenaknya berada di kelas Ibu?”

“Maaf, Bu?” Ana tidak mengerti arah pembicaraan Gurunya ini, teman-teman di kelasnya bahkan cekikikan di belakang.

Guru itu terlihat jelas tidak senang dengan respon yang Ana berikan, sikap seolah tidak tahu apapun. “Kita bahas PR nya bersama, dan Nafla tulis di depan jawaban dan uraian PR yang sudah kamu kerjakan. Kita akan koreksi bersama.”

Ana menunduk melihat halaman PR itu, tapi dari perkataan Gurunya itu ..., “Koreksi bersama bagaimana ya, Bu?”

 “Kita akan mengoreksi PR mu, akan ada hukuman di setiap jawaban yang salah. Dan yang lain akan mencatat jawaban yang benarnya saja untuk dipelajari sendiri. Itu hukuman kamu karena telah mengabaikan mata pelajaran saya,” jelas Bu Retno dengan tegas.

Bisik-bisik terdengar lebih berisik dari sebelumnya. Ana semakin merasa panas di punggungnya mendapatkan tatapan dari teman-teman kelasnya, sebagai bentuk kepuasan melihat Ana kesusahan sendirian.

Dengan santainya Ana berhadapan dengan papan tulis bersama spidol di tangannya. Tanpa membawa buku catatan yang berisi uraian semua jawaban di buku tugas, tangannya  bergerak sangat lancar seakan mengerjakan tanpa dipikir terlebih dahulu.

Bu Retno selalu merasa puas dengan hasil kerja Ana, senyumnya tidak bisa ditahan untuk mengapresiasikannya. “Semuanya, catat jawaban Nafla. Temukan jawaban yang salah dari yang dikerjakan Nafla, jika kalian tidak menemukannya satu kelas akan Ibu hukum kecuali Nafla.”

Sambil menulis sudut bibir Ana menyungging mendengar nasib teman-temannya. Ana mengakui dirinya salah karena melamun saat kelas berlangsung, tapi siapa saja yang tidak mengerjakan PR akan terlihat jelas saat ini. Karena semua teman Ana tidak ada yang mengerjakannya.

Di tengah kesibukkan kelas yang mencari kesalahan Ana, ketukan pintu mengalihkan perhatian penghuni kelas. Masuk seseorang dengan seragam SMA Horizon, namun tampak asing. Seseorang berpenampilan mencolok dengan kulit putih dan rambut pirangnya. Tidak ada yang berkedip melihatnya, katampanan lelaki yang bersinar seperti Dewa yang turun dari langit.

“Maaf, siapa ya?” tanya Bu Retno senormalnya, ia tidak pernah melihat ada siswa ‘bule’ sebelumnya.

“Permisi, saya murid baru, Bu. Saya di tempatkan di kelas 12 IPA 1 oleh kepala sekolah.”

Semua melongo dengan kefasihan bahasa Indonesia lelaki itu, walau gestur tubuhnya yang bermaksud untuk sopan - santun sangatlah kaku.

“Oh, saya baru ingat amanah kepala sekolah.” Bu Retno beralih pada Ana yang tidak menghiraukan keadaan sekitar dan masih sibuk memenuhi papan tulis dengan coretan tangannya. “Cukup Ana, bisa duduk kembali ke tempatmu.”

Seakan tidak terganggu keseriusannya dihentikan, Ana kembali ke tempat duduknya seperti robot yang sedang mematuhi perintah.

“Nah, sekarang kamu bisa memperkenalkan diri terlebih dahulu, silahkan.”

Lelaki itu tersenyum begitu manis, senyum yang tidak pudar dari wajahnya yang berseri dari awal memasuki kelas. Entah kemana arah pandang lelaki itu, senyum yang seakan hanya tertuju pada apa yang ia perhatikan saat ini.

Thank you, Mrs. Hallo everybody. Nama saya Shoan Himenaios, panggil saja Shoan. Saya murid pindahan dari German. Alasan saya ke Indonesia adalah untuk menemui seseorang yang saya cintai. Terima kasih.”

Seketika kelas menjadi ramai. Teriakan sahut-sahutan tidak dapat dihindari, terutama bagi para siswi.

Bu Retno bahkan tersipu mendengarnya. Perkataan yang norak itu terdengar seperti alunan puisi indah saat Shoan yang mengatakannya.

“Shoan, saya Retno, kamu bisa memanggil saya Bu Retno, saya tersentuh berbahasa Indonesiamu sangat bagus, perkataanmu juga sangat manis, tapi kamu tidak boleh sembarangan mengatakan gombalan seperti itu.”

Nasihat Bu Retno hanya ditanggapi dengan senyuman.

Baru kali ini Bu Retno merasa cukup dengan respon apa adanya dari murid, biasanya minimal ucapan maaf yang harus ia dengar. “Baiklah, kamu bisa menempati bangku yang kosong itu.” Tunjuk Bu Retno pada kursi di samping Ana. “Kita lanjut dengan mengoreksi bersama jawaban yang sudah dikerjakan Nafla.” Bu Ratno pun mengurungkan niatnya untuk memberikan hukuman seperti peraturan yang ia buat.

“Baik, Bu. Thank you,” jawab Shoan sebelum menuju tempat duduknya.

Ana tidak terkejut ataupun berantusias akan hal itu, bahkan ia hanya memandang lurus tidak perduli apapun di sekitarnya.

Bu Retno pun kembali mengkondusifkan kelas dengan membahas uraian yang sudah Ana kerjakan di papan tulis.

Namun ... Ana yang tadinya tak acuh, dibuat risih dengan mata seseorang yang memperhatikannya terang-terangan. Sungguh Ana tidak tahan lagi, ia menoleh pada teman sebangku barunya untuk memberi peringatan agar tidak terus menatapnya. Tiba-tiba ...

I miss you.

Mata bulat Ana melebar disuguhkan senyuman manis oleh siswa baru setelah mengatakan hal yang tak lazim padanya. 'Apa dia gila?'

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status