Share

5 Hanya Office Boy

“Apa kamu lihat-lihat?” tanya Yolla ketus ketika dia mendongak dan melihat Mita sedang menatapnya.

“Ah, enggak Bu!” sahut Mita sambil terlonjak kaget. “Saya mau mengantar ini ....”

Dengan agak takut-takut, Mita berjalan mendekat sambil mengulurkan satu map ke meja Yolla.

“Taruh sini, cepat!” gertak Yolla dengan mata menyipit, membuat Mita terlonjak lagi untuk yang kedua kalinya. Cewek itu buru-buru menaruh mapnya dan pergi secepat kilat dari ruangan Yolla dengan jantung berdebar kencang.

Tanpa sengaja Mita menabrak Byanz yang baru saja lewat di depan ruangan, untung Byanz sigap mengulurkan lengan ke pinggang cewek itu sebelum terhuyung ke lantai.

“Maaf ....”

“Kamu nggak apa-apa, Mbak?” tanya Byanz sambil menarik tangannya kembali.

“Iya Mas,” angguk Mita. “Terima kasih ya sudah ....”

“Woy, ngapain kalian berdiri saja di situ?!” teriak Yolla saat menoleh dan menyaksikan Byanz yang saat itu sedang berdiri bersama Mita. “Kerja sana!”

Baik Byanz maupun Mita tidak berani menjawab dan lebih memilih untuk segera menyingkir ke tempat masing-masing.

“Kamu bikin perkara apa lagi sama Bu Yolla sih?” sambut Ifan ketika Byanz muncul di belakang. “Masa suaranya kedengaran sampai sini.”

“Aku sama Mbak Mita tabrakan di depan ruangan Bu Yolla,” jelas Byanz kalem. “Padahal kita nggak ngapa-ngapain, tahu-tahu dia teriak macam ada maling saja di depan matanya.”

Ifan menarik napas.

“Bu Yolla itu anaknya Pak Sony, tapi kok sikapnya beda jauh banget ya?” komentar Ifan tidak habis pikir. “Pak Sony yang punya perusahaan ini aja nggak segalak itu sama karyawannya, bakalan kiamat kalau suatu saat beliau memberikan jabatannya sama Bu Yolla betulan.”

Byanz hanya mengangguk setuju.

“Kita kan cuma karyawan bawah Fan,” katanya. “Kalaupun iya, itu haknya Pak Sony. Apalagi Bu Yolla itu anak kandung satu-satunya kalau nggak salah, kan?”

“Tapi tetap aja itu nggak bagus,” sahut Ifan sambil menggeleng. “Aku sering dengar orang-orang membicarakan Bu Yolla, dia sama sekali nggak bisa kerja. Awal-awal datang ke sini, kerjaannya cuma mainan gawai terus di ruang kerjanya. Yang kayak begitu bisa dapat gaji, Yanz.”

Byanz tersenyum tipis.

“Sudah deh, kenapa kita jadi gosipin anak bos seperti ini sih?” komentarnya sambil menyandarkan punggung di tembok. “Kita kerja saja yang bener, Fan. Rejeki orang kan sendiri-sendiri, sudah rejekinya Bu Yolla mungkin kalau dia akan memimpin perusahaan Pak Sony. Namanya juga anak kandung, masa iya mau dikasih ke orang lain.”

Ifan menganggukkan kepala tanpa berkata apa-apa lagi.

Byanz beristirahat sejenak, sebelum akhirnya dia teringat dengan pacarnya yang sedang libur kerja.

“Halo Yanz?” sapa suara renyah dari ujung sana ketika Byanz menghubunginya. “Kamu udah selesai kerja belum?”

“Sebentar lagi,” sahut Byanz. “Kamu nggak usah ke mana-mana Ran, biar aku saja yang nanti samperin kamu.”

“Eh, kata ibu kamu ... sekarang kamu kerja di perusahaan besar ya?” tanya Rani, nama pacar Byanz. “Aku pengin lihat dong, Yanz ....”

“Nggak usah, mau ngapain?” tukas Byanz. “Aku kan kerja, bukan nongkrong. Sudah ya, nanti pulang kerja aku mampir ke rumah kamu kok.”

Rani terdengar merajuk, tapi Byanz dengan tegas melarangnya karena tidak ingin jam kerjanya terganggu.

“Siapa sih, pacar kamu ya?” tebak Ifan ingin tahu saat Byanz memasukkan kembali ponsel bututnya ke dalam saku celana.

“Iya,” Byanz menganggukkan kepalanya. “Ngotot banget mau nyamperin aku ke sini, jelas saja aku larang. Bisa dikuliti hidup-hidup dia sama Bu Yolla kalau sampai ketahuan.”

“Tapi ... dia tahu kalau kamu kerja bersih-bersih di sini?” tanya Ifan penasaran. “Bukan apa-apa, kadang ada cewek yang meremehkan pekerjaan laki-laki kalau menurutnya nggak sesuai sama ekspektasi dia.”

Byanz terdiam, dia memang belum cerita kepada Rani bahwa dirinya untuk sementara menggantikan tugas ayahnya menjadi petugas cleaning service di perusahaan besar.

“Aku pikir itu nggak perlu,” ujar Byanz. “Lagipula kan aku cuma sementara kerja di sini sampai ayah aku sembuh, setelah itu aku akan cari kerja lain lagi di luar.”

Ifan hanya tersenyum tidak enak menanggapinya.

Setelah jam kerja berakhir, Byanz mengurungkan niatnya untuk berganti seragam karena dia ingin secepatnya pulang agar bisa segera mampir ke rumah Rani.

Baru juga Byanz berjalan menyusuri halaman, dia melihat seorang perempuan dengan rambut diikat ekor kuda melambai dari kejauhan.

“Rani?” gumam Byanz yang lantas mempercepat langkah kakinya.

“Byanz!” panggil perempuan itu dengan wajah gembira.

“Kamu ngapain ke sini sih?” tanya Byanz begitu tiba di hadapan Rani. “Aku kan sudah bilang biar aku saja yang ke rumah kamu nanti.”

Bertepatan dengan itu, Yolla baru saja keluar dari ruangannya dan mngurungkan niatnya untuk pergi ke parkiran mobil saat melihat Byanz yang sedang bersama seorang perempuan muda yang tidak dia kenal.

Terusik oleh rasa keingintahuannya, diam-diam Yolla berjalan mendekati mereka.

“Perusahaan kamu gede juga ya, Byanz?” komentar Rani dengan wajah takjub. “Jabatan kamu sebagai apa di sini?”

“Jabatanku nggak tinggi-tinggi banget kok,” geleng Byanz. “Lagipula aku cuma sementara menggantikan ayah aku yang lagi sakit, setelah itu aku bakalan berhenti.”

Rani terlihat menyapukan pandangannya ke sekitaran gedung yang menjulang megah di hadapannya.

“Kok cuma sementara sih, kenapa nggak dilanjutkan saja? Lumayan kan,” tanya Rani kemudian. “Memangnya kamu jadi apa Byanz, manajer?”

Mendadak Yolla tertawa sebelum Byanz menjawab pertanyaan itu, membuat Rani menolehkan kepalanya.

“Bu Yolla?” ucap Byanz sambil mengernyit heran saat melihat kemunculan Yolla.

“Manajer dari Hong Kong?” komentar Yolla dengan nada meremehkan.

“Serius kamu jadi manajer di Hong Kong?” tanya Rani antusias sambil memandang Byanz. “Hebat kamu, aku benar-benar bangga.”

Byanz menggeleng sementara Yolla menepuk jidatnya sambil masih tertawa.

“Pikiran kamu di mana sih?” sinis Yolla kemudian. “Siapa yang bilang kalau Babangs ini jadi manajer? Kamu nggak lihat seragam yang dia pakai? Lihat dong baik-baik.”

“Seragam ...?” Rani nampak kebingungan sesaat.

“Iya, seragam!” tegas Yolla sementara Byanz diam saja.

“Oh, jadi ini seragam manajer itu?” tanya Rani dengan wajah polos.

“Ya ampun, kamu ini ogeb atau apa sih?” sembur Yolla gemas. “Ini tuh seragam office boy! Alias cleaning service, tukang bersih-bersih kalau kamu nggak paham apa itu office boy!”

Rani terpaku, pandangannya perlahan bergeser ke arah Byanz yang terlihat tenang.

“Kamu ... hanya tukang bersih-bersih di perusahaan sebesar ini?” tanya Rani menegaskan.

“Iya,” jawab Byanz, meskipun pekerjaan ini hanya sementara dilakoninya selama ayahnya belum sembuh total.

“Memang selama ini kamu nggak tahu?” sergah Yolla, yang merasa perlu melibatkan diri dalam pembicaran sepasang insan ini. “Bangs, kamu sudah nipu cewek ini, ya?”

Byanz menggelengkan kepala.

“Saya nggak nipu, saya cuma belum sempat menjelaskan yang sebenarnya sama Rani.” Dia menyahut.

Bersambung—

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status