Share

Nasib yang Sama Apakah Karena Keturunan

"Kamu sudah datang rupanya."

Suara Nadia membuat Farida sangat terkejut hingga menarik kuat tangannya dari genggaman bapak mertuanya.

Saat itu juga bapak mertua Farida membiarkan tangan Farida lolos begitu saja karena tak mau membuat Nadia curiga.

"Alhamdulillah ya Allah. Engkau masih melindungi ku," batin Farida bersyukur. Ia mengusap pelan tangannya yang bekas digenggam kuat oleh bapak mertuanya. Ia tak tahu apa yang akan terjadi padanya jika Nadia tak datang saat itu.

Mungkin saja bapak mertuanya belum melepaskan genggaman tangannya dan bisa saja bapak mertuanya malah bertindak tak baik padanya lebih jauh karena bapak mertuanya yang memang sangat genit padanya.

"Ini beras dan juga lauk-pauknya." Nadia mengulurkan dua bungkusan plastik hitam.

Wajah Nadia terlihat sangat ketus dan tak ada senyum dari bibirnya. Nada suaranya pun terdengar sedikit keras dan tak ramah di telinga.

Farida mencoba menerima bungkusan itu dari tangan Nadia. Hatinya sangat teriris mendapat perlakuan yang tak baik dari mertuanya, tapi Farida tak bisa melakukan apapun. 

Semuanya karena Adam yang tak mau mencari pekerjaan untuk menghidupi keluarganya sampai-sampai Farida nyaris dilecehkan oleh bapak mertuanya sendiri.

Jika Nadia tidak segera datang, entah apa yang akan terjadi padanya. Padahal Farida sudah berusaha menutup rapat tubuhnya dengan memakai baju gamis panjang dan jilbab yang menutupi dadanya.

Namun, tetap saja ada mata-mata jahil yang seolah bernafsu setiap kali melihat tubuh yang bahkan sudah ditutup rapat oleh pemiliknya.

"Itu beras dan lauk-pauk untuk anakku dan juga cucuku bukan untukmu. Kalau kamu mau makan, ya kamu harus usaha cari sendiri."

Bak ditusuk jarum. Kalimat itu begitu menancap di dalam hatinya hingga menyisakan rasa sakit dan nyeri yang teramat sangat.

Luka yang tak berdarah itu membuat Farida ingin menangis, namun lagi-lagi ia tak bisa membiarkannya jatuh begitu saja.

"Iya, Bu."

Hanya kalimat itu yang bisa Farida ucapkan sembari menunduk.

"Yaudah, kamu mau ngapain lagi di sini!" kata Nadia ketus.

"Ya sudah kalau begitu Farida pamit pulang ya, Bu, Pak," kata Farida.

Tangannya diulurkan kembali mengarah pada ibu mertuanya namun, tak dibalas oleh Nadia. Ia justru melengos membuang pandangannya dari Farida.

Farida hanya bisa menghembuskan napas pelan menerima respon yang tak baik dari ibu mertuanya.

Namun, tangannya mendadak menjadi gemetaran dan juga dingin karena saatnya ia kembali berjabat tangan dengan bapak mertuanya yang genit untuk berpamitan.

"Pak, Farida pamit pulang, ya," ucap Farida mengulurkan tangan.

Kali ini Farida mendapatkan perlakuan yang baik. Bapak mertuanya meloloskan tangannya begitu saja sampai akhirnya ia pulang.

Saat pulang dari rumah Nadia, Farida berpapasan di jalan dengan ibunya. Wajahnya tampak sedih dan matanya sedikit berkaca-kaca.

"Ibu darimana, Bu. Ibu kenapa? Kok nangis?" tanya Farida pada ibunya.

Farida menghentikan langkah kakinya dan berdiri tepat di depan ibunya. Dalam hati Farida sudah menebak apa yang membuat ibunya bersusah hati saat itu. Tampak jelas dari ekspresi wajahnya yang sudah menua.

Bukannya menjawab, Nani malah meneteskan air matanya hingga berjatuhan membasahi pipinya yang keriput.

Farida semakin dibuat khawatir oleh Nani. "Bu, ada apa? Kok ibu malah nangis?" tanya Farida cemas.

"Ibu tadi habis dari warung buat hutang beras tapi nggak dikasih sama ibu warungnya, katanya hutang ibu sudah menumpuk jadi ibu tidak boleh berhutang lagi."

Nani bercerita dengan sesenggukan. Terkadang kalimatnya sedikit tersendat, namun Nani kembali melanjutkannya.

"Ya Allah, ibu." Farida memeluk tubuh ibunya yang kurus dan lebih rendah daripada dirinya.

Farida merasa sangat sedih dan juga lemas. Otot-otot tangannya seolah tak mampu lagi membawa beban meski hanya beras satu kantung berukuran sedang.

"Ya Allah ujian apa lagi yang Engkau berikan pada keluarga ku," batin Farida.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status