Aku menunggu dengan cemas, dan mondar-mandir di dekat jendela kamarku. Sebentar-sebentar aku melongok ke luar jendela sambil melihat kalau-kalau rombongan mobil ta'aruf itu datang. Terasa begitu lama, benar ternyata menunggu itu sangat melelahkan.
Tiga jam lebih akhirnya rombongan itu datang. Aku begitu penasaran dengan hasil pertemuan itu. Acara ta'aruf saja yang ikut sekian banyak orang sih, beda dengan Indonesia. Baru kalau acara lamaran melibatkan banyak orang.
Aku mengintip dari jendela, mereka turun dari mobil menuju ke rumah. Wajah mereka berseri-seri semua. Aku keluar kamar dan mengintai dari balkon.
"Kubilang apa? Faruq pasti akan terpana melihat kecantikannya. Dia bukan saja cantik wajahnya, tapi cerdas," ujar tante Umamah.
"Dia juga pandai menari dan bernyanyi." sahut adik nyonya, Hanifah.
"Kamu beruntung sekali, Kak Faruq, selera kamu berkelas sekali," sahut Ihsan menimpali.
"Memang mata kakak masih waras, tau?" jawab Faruq terta
Aku tidak bisa terus berbaring sekalipun badanku demam. Aku harus membantu Iqbal menyiapkan keperluan sekolah juga sarapannya. Mereka berkumpul di meja makan. Makan pagi ini sangat ramai karena semua tamu masih belum pulang.Aku melirik Ikhsan yang dengan nakal matanya berkedip-kedip menggodaku. Aku menunduk takut dan risih, Iqbal bergegas meraih tanganku seolah dia menyadari ketakutanku. Jemari mungil nya meremas tanganku sambil menatap lembut dan mengangguk tersenyum membuat sejuk hatiku."Hei kamu Fahim kan? Kalau Faruq tertarik sama kamu, itu berarti karena kamu cantik," gumam Umamah."Jadi penasaran juga," Ikhsan menimpali."Buka dong!" sela Sholikin sambil tangannya meraih cadar yang menutupi wajahku.Spontan tanganku menangkisnya. Semua mata terbelalak kaget. Mereka merasa aku terlalu berani dan tidak sopan kepada tamu. Kalau saja Faruq melihat semua ini pasti akan terjadi baku hantam lagi.Faruq masih berkemas di kamarnya, demi
Aku semakin penasaran apa benar Faruq ada hubungan khusus dengan Ruby dan Sena sama seperti hubungannya denganku? Apakah Faruq akan marah kepada Sena demi membela diriku? "Senaaa ...!" teriak Faruq dari depan pintu kamarku. Aku penasaran apa yang akan terjadi? Aku menunggu kedatangan Sena dengan hati cemas dan penasaran. "Iya Tuan Muda, ada yang bisa saya bantu?" tanya Sena yang tersenyum genit dan menatap aku dengan tatapan mengejek. Aku tidak tahu apa yang sedang dipikirkan Sena, tapi dengan sikap liciknya aku berkeyakinan dia sedang berpikir curang. "Apa kamu yang mengantarkan Saleeg buat Fahim?" tanya Faruq. "Saleeg? Tidak Tuan Muda saya baru keluar dari gudang mencatat bahan-bahan makanan yang harus di beli hari ini. Ini catatannya, Tuan Muda," kata Sena sambil menunjukkan selembar kertas. "Kamu yakin, Sena?" tanya Faruq datar. "Masak sih Tuan Muda tidak percaya padaku? Tapi tadi habis dari meja m
Di area itu terasa perih dan basah, aku menjadi jijik pada diriku sendiri. Kujambak rambutku kuat-kuat sambil menjerit histeris."Aaaaaagh!"Kugigit bibir bawahku dengan sangat kuat untuk mengalihkan sakit hatiku. Tak henti-hentinya aku mengutuk diriku sendiri yang terlalu lemah dan bodoh sehingga jadi korban penindasan orang lain."Priya, apakah mungkin dia sudah menjamah tubuhku? Sepertinya dia sudah memperkosa aku, kenapa pakaian dalamku lepas?" tanyaku disela isak tangisku."Memang Tuan Muda butuh waktu dari kantor untuk sampai ke rumah ini. Aku tidak bisa menjawab pertanyaanmu, Fahim. Yang tahu kalian berdua, kamu dan Ikhsan," ujar Priya sedih."Tidaaaaak! Aku muak ... aku jijiiiiik!" tangisku histeris.Priya segera memelukku kembali dan memenangkan aku,"Kamu harus kuat, kalau kamu seperti ini mereka akan tertawa puas. Keadaan seperti inilah yang dia harapkan, Fahim," Priya menghibur."Bagaimana kalau Ikhsan berhasil memp
Aku jadi sakit hati bila ingat Faruq memperkenalkan aku sebagai pengasuh Iqbal. Harusnya aku mengerti posisi Faruq, memang tidak mudah. Aku cemburu setelah melihat betapa cantiknya Marwa. Perawakannya sangat bagus tinggi dan sintal, beda jauh denganku. Tinggiku hanya 158 cm dan beratku hanya 46 kg, tak sebanding dengan Marwa. Secara wajah aku juga tidak ada apa-apa nya, orang menyebut dia bagai bidadari. Tak salah bila aku menaruh cemburu. Takut kalau Faruq akan melupakan aku. Bukankah harusnya aku senang tidak menjadi budak nafsunya lagi. Bahkan mungkin dia akan melepaskan aku dari penjara yang membelenggu selama sepuluh tahun. Malah mungkin juga dia mengijinkan aku pulang ke Indonesia. "Umi, Abi pulang!" teriak Iqbal setelah membuka kamarku. Dengan tanpa memperdulikan rasa sakitku, aku segera beranjak bangun dan bergegas bersama Iqbal menyambut Faruq. "Abiiii ...!" teriak Iqbal sambil berlari menghampirinya. Aku dan Iqbal terpe
Saat aku membuka mataku, ada tangan kekar melingkar di pinggangku. Betapa terkejutnya ternyata Faruq tidur di sampingku. Aku melirik jam di atas meja kecil di samping ranjang menunjukkan pukul 03.00. Aku terbiasa terbangun di jam-jam itu, karena kebiasaan aku sholat Tahajud. Kenapa tiba-tiba Faruq menyusul tidur di kamarku? Padahal tadi Abi dan uminya, marah besar kepadaku. Mencaci aku separah itu, bila mengingatnya benar-benar membuat sakit hatiku. Aku perlahan menyibakkan tangan Faruq dan bangun untuk mengambil air wudhu untuk sholat Sunnah Tahajud. Dalam sholatku aku selalu menumpahkan tangisku kepada Zat Yang Maha Pengasih. Kadang aku berpikir, tubuhku yang kotor, selalu jadi pelampiasan nafsu majikan dan aku tak mampu menghindarinya hingga melahirkan seorang anak. Bagaimana dengan ibadahku, apakah Allah bisa menerima ibadahku? Wallahu A'lam Bish-shawab. Sekalian aku sholat Istikharah, sebentar lagi Faruq ulang tahun, aku harus memenuhi permintaan
Aku masih penasaran apa yang sedang direncanakan mereka bertiga di depan kamarku. Aku melihat dan samar-samar mendengar ada pertengkaran diantara mereka. Setelah aku memberikan sarapan Iqbal, dengan alasan mengambil tas ke kamar Iqbal aku kepo ingin mendengarkan percakapan mereka. Kebetulan kamarku bersebelahan dengan kamar Iqbal. "Aku tidak mau tahu, aku tetap akan mengusirnya, aku tidak mau keluarga Marwa memutuskan hubungan ini, Faruq," Tuan Hussein emosi. Seketika tubuhku lemas lunglai mendengarnya. Kalau saja aku mendengarkannya saat aku belum mempunyai Iqbal, jelas aku bahagia sekali. Tapi sekarang, aku berpikir bagaimana dengan Iqbalku? Apakah aku bisa berpisah dengan Iqbal, anakku? "Apa kalian tidak memikirkan perasaan Iqbal? Bagaimana dia dipisahkan dari uminya?" tanya Faruq memohon. "Kalau begitu kamu harus bisa meyakinkan Marwa agar dia tidak cemburu dan tidak membatalkan pernikahan ini! Dan yakinkanlah keberadaan Fahim
Plog ... Plog ... Plog ... Plog! Faruq bertepuk tangan dengan senyum bangga."Sama sekali aku tidak menyangka, Fahim," ujarnya sambil mengacak rambutku.Aku bisa melihat matanya menatap aku dengan berbinar-binar. Dengan penuh kekaguman dia terus memainkan rambutku. Dia mengambil gelas berisi air putih dan disodorkannya kepadaku."Tuan Muda, bisa lihat sendiri kelakuannya. Sok kuasa, arogan! Kita bertiga bisa membalasnya, tapi ini bukan negara kami, kami takut terlibat masalah hukum, Tuan Muda," ujar Ruby menahan malu karena sedang roboh di lantai.Aku hanya diam menatap Markamah yang salah tingkah. Sebenarnya aku kasian padanya yang harus jadi pecundang untuk mencari aman. Faruq juga memandang sinis kepada Markamah, tapi dia tidak mengungkapkannya dengan kata-kata."Tanganku sakit sekali, Tuan, kalau sampai terjadi cidera aku bisa memenjarakan dia!" hardik Sena sambil mengusap lengannya yang kesakitan."Kalian bertiga pantas mendapatkannya,
Faruq terperanjat dengan permintaan Marwa, dia menatap mataku sendu. "Kok diam Faruq, aku tanya kamu bisa usir dia kan? Apa permintaanku berat buat kamu? Bukankah Om Hussein sudah berjanji akan mengusirnya?" Marwa mengingatkannya. "Iya aku tahu, tapi bagaimana dengan Iqbal anakku? Aku bisa kehilangan apa saja tapi bukan Iqbal anakku. Mereka berdua ibu anak yang tidak bisa terpisahkan, Marwa. Beri aku waktu berpikir ya?" kata Faruq sedih sambil menutup teleponnya. Paling sedih adalah diriku, bagaimana aku dipisahkan dari Iqbal? Aku bisa menerima sakit sebesar apapun asal aku tetap bersama Iqbal. Dia adalah sumber kekuatan bagiku, dia adalah nafasku bagaimana aku bisa hidup tanpa dia? "Aku bisa tinggalkan semuanya termasuk Marwa, asal kamu menikah denganku di hari ulang tahunku dua hari lagi," bisik Faruq di telingaku. "Ini tawaran terakhirku, Fahim," lanjutnya berbisik menyentuh daun telingaku membuat aku terbelalak merinding. Aku menatap pungg