#Suamiku_Menghilang_Setiap_Malam
Part 7 : Naura dan Nayla
Setelah Mas Gilhan pamit ke kantor, aku melangkah masuk dan di ruang tengah. Di sana terlihat si kembar sedang membongkar keranjang mainannya. Bik Ana kayaknya lagi sibuk di dapur, bagus deh, aku jadi ada kesempatan untuk bermain bersama dua gadis kecil menggemaskan ini.
“Mama Sindy, main yuk!” ajak salah satu dari putri tiriku itu, karena wajah, gaya rambut dan pakaian yang selalu sama, aku tak bisa membedakan keduanya.
“Ayo!” jawabku dengan tesenyum dan duduk di antara mereka.
“Nayla mau yang ini!” ujar anak tiriku itu sambil meraih sebuah boneka barby, aku langsung mengingat kalau yang duduk di sebelah kananku adalah Nayla jadi yang sebelah kiri pasti Naura.
“Iya, Naura yang ini saja dan Mama Sindy yang ini,” ujar Naura dengan memberikan boneka barby dengan gaun pesta bewarna pink itu. “Hmm ... dan untuk Mama .... “ sambungnya dengan memberikan boneka barby dengan baju santai, celana pendek dan tanktop, ke udara.
Eh! Aku bergidik ngeri, bulu kuduk jadi berdiri padahal ini masih pagi juga. Kulirik boneka yang tergeletak di samping kiri Naura, siapa yang ia maksud dengan mama? Kalau denganku mereka masih menambahkan embel namaku yaitu Mama Sindy. Apakah ... roh Mama kandung mereka ada di sini? Aku mulai menerka-nerka, dengan pandangan fokus kepada boneka itu.
“Ma, ayo pegang bonekannya! Kita main berempat, sama Mama Sindy juga, dia baik kok,” ujar Naura lagi dengan menoleh ke kiri, di mana bonekanya masih tergeletak.
“Naura, Mama ada di sebelah sini .... “ ujarku kepada Naura seraya memegang pundaknya, baru kali ini ia terlihat aneh begini.
“Eh, iya, maksudku bukan Mama Sindy tapi Mama yang ini,” ujar Naura lagi dengan menunjuk sebelahnya yang tak tampak siapa pun.
“Oh ya? Emang Mama yang itu siapa namanya?” tanyaku dengan memberanikan diri walau kini bulu tengkuk terasa merinding.
“Mama—“ ucapan Naura terhenti saat melihat Bik Ana yang tiba-tiba sudah ada di dekat kami.
“Nona Naura, Nayla, kok nggak nunggu Bik Ana saja sih mainnya?!” ujar pembantu bertampang sangar itu dengan lirikan tajam ke arahku.
“Bik, emang anak-anak nggak boleh main sama aku, mamanya?!” Aku tak dapat lagi menahan kejengkelan ini.
Bik Ana terdiam dengan bola mata yang bergerak ke kiri dan ke kanan, sepertinya ia sedang memikirkan kata-kata yang tepat untuk menjawab kata-kataku.
“Bukannya nggak boleh, Nyonya, tapi sudah menjadi tugas saya menemani anak-anak Tuan Gilhan bermain. Nyonya Sindy adalah Nyonya di rumah ini jadi tidak perlu melakukan apa pun!” jawabnya dengan nada sinis.
“Aku bukan hanya nyonya, tapi aku juga Mama dari tiga anak Mas Gilhan, jadi ... kamu tak berhak melarangku bermain bersama mereka!” jawabku tak kalah sengit.
“Bukannya begitu, Nyonya ... tapi .... “ Dia terlihat menggigit bibir dengan sambil memegang pergelangan tangan si kembar.
“Kerjakan saja pekerjaan rumahmu, biarkan anak-anak bermain denganku!” Kulepaskan gengaman tangannya kepada Nayla dan Naura.
Bik Ana menatapku kesal.
“Baiklah, saya harap Nyonya berhati-hati bermain bersama mereka sebab saya tak mau disalahkan Tuan Gilhan jika terjadi apa-apa dengan anak-anak juga dengan Nyonya Sindy!!!” ujarnya dengan nada ancaman lalu membalikkan tubuh dan berlalu menuju dapur.
Apa maksudnya berkata demikian? Apa dia sedang menakut-nakuti aku? Dasar pembantu aneh! Akan tetapi, kata-katanya seakan menggema di kepala ini, terasa berputar berulang-ulang membuat telinga pekak.
“Agghh ... hentikan!” jeritku tiba-tiba dengan menutup telinga.
“Mama Sindy kenapa?” Nayla mendekat kepadaku.
Aku menggeleng dan mencoba tersenyum.“Nggak, Sayang, Mama Sindy nggak kenapa-kenapa,” jawabku dengan meredam debaran di dada yang tiba-tiba jadi berpacu cepat.
“Apa Mama Sindy sedang sakit?” tanya Nayla lagi.
“Nggak, Sayang, Mama nggak kenapa-kenapa. Ayo kita main lagi!” ajakku kepada mereka dengan kembali duduk.
“Nggak usah main lagi deh, Ma, kita nonton tv saja!” Nayla menggandeng tanganku menuju ruang tv.
Eh, Naura kok nggak ikut kami? Dia terlihat malah sedang berbicara sendiri. Ada apa dengannya? Apa dia itu indigo? Apa dia sedang berbicara dengan hantu?
“Nayla, Naura kok nggak diajak nonton tv sih?” tanyaku kepada gadis kecil berkuncir dua.
“Biar saja, Ma, dia masih mau main boneka sama—“ Dia memalingkan pandangan dari saudara kembarnya itu.
“Sama siapa, Nay?” tanyaku penasaran dengan pikiran yang mulai menerka-nerka.
“Eh, film upin-ipinnya udah mulai, Ma,” ujar Nayla menunjuk ke arah tv.
Aku menghela napas dengan sesekali menoleh ke belakang, mengamati Naura yang terlihat masih asyik bermain boneka sendirian.
***
Setelah makan siang, anak-anak kembali diambil alih oleh Bik Ana, katanya mereka harus tidur siang. Aku tak kuasa bertengkar lagi, jadi membiarkan saja saat pembantu dengn rambut yang selalu dikuncir kuda itu menggandeng si kembar masuk ke dalam kamar.
Aku melangkah memasuki kamar, lalu duduk di atas tempat tidur, memikirkan apa yang akan kulakukan sekarang. Mau tidur siang, aku malas karena takut susah bangunnya. Kuraih ponsel dan mengetik sebuah pesan di grup wa yaitu grup gengku selama masih gadis dulu.[Gaes, boring ni, ada yang sama gak? Jalan keluar yuk!]
Beberapa saat kemudian, beberapa chat dari teman-temanku pun bermunculan.
[Melly : Hmm ... pengantin baru udah boring aja, suruh ayang bebnya pulang aja, minta dibobo’in siang!]
[Rahel : Iya, ya, Mel, kalo aku sih gitu. Hahaa .... ]
Isshh ... dasar mereka, aku malah diledekin.
[Jadi, nggak ada yang mau diajak jalan keluar ini?]
[Melly : Ceilehh ... pengantin baru mulai sensi, hahaa .... ]
[Sinta : Mau sih kalo ditraktir, hehee ....]
[Rahel : Mau sih, tapi malas bawain bocil.]
[Bianca : Ayok, gaes, aku kebetulan belum makan siang ini. Hehee ....]
Aku mengulum senyum, ternyata teman-temanku masih resfek. Kalo masalah traktir mereka makan sih nggak masalah, apalagi kini aku punya kartu kredit yang limitnya seratus juta, uang cash yang dikasih Mas Gilhan dua minggu yang lalu juga masih utuh.
[Masalah makan siang, beres, gue yang traktir. Ke Mall xxx, ya, kita ketemuan di restoran jepang saja.]
Kuakhir chat, lalu segera berganti pakaian. Eh, aku harus chat Mas Gilhan dulu, izin kalau mau jalan keluar.
[Mas, siang ini aku jalan keluar dengan teman-teman.]
Segera kukirimkan pesan itu, lalu meraih tas dan bersiap untuk keluar dari kamar. Dengan langkah riang, aku menuruni anak tangga. Suasana rumah kembali sepi, di mana Bik Ana? Apa dia masih di kamar anak-anak? Aku mau pamit sama dia. Eh, dia terlihat keluar dari ruangan dapur dan melangkah menuju lorong untuk menuju pintu belakang. Kuurungkan niat untuk menuju garasi. Lebih baik aku mengikuti Bik Ana saja soalnya aku masih penasaran akan penampakan apa yang ada di balik pintu belakang itu.
Bersambung ....
#Suamiku_Menghilang_Setiap_MalamPart 8 : Ramalan BiancaBik Ana terlihat mempercepat langkahnya, sedang aku mengikutinya dari belakang. Sesampainya di depan pintu belakang, wanita yang selalu mengenakan pakaian berwarna putih itu menoleh ke belakang, mungkin memastikan tak ada yang membuntutinya.“Hey, siapa di sana?!” teriaknya lantang dengan membalik badan dan menatap ke sekeliling.Aku yang sedang bersembunyi di balik dinding jadi berdebar-debar, takut tertangkap olehnya. Dengan sambil berdoa dalam hati, aku memegangi dada, berharap ia tak tahu kalau aku sedang membuntutinya.Beberapa saat kemudian. Bik Ana tak kunjung keluar dari lorong itu, kuberanikan diri untuk kembali mengintip ke posisi ia berdiri tadi tapi tak ada siapa pun lagi di lorong depan pintu itu. Apakah dia sudah keluar? Tapi kok aku nggak dengar suara pintu terbuka, ya? Bagaimana ini, aku masuk atau tidak, ya? Jangan-jangan Bik Ana hanya sedang bersembunyi saja dan ingin menangkap basah siapa yang sedang membuntu
Suamiku Menghilang Setiap MalamBab 9 : Lingeri“A—apa, Bi?!” tanyaku dengan dada yang mendadak terasa sesak, jantung berdebar tak karuan, tubuh jadi panas dingin.“Ah, ya sudah ... anggap saja aku tak mengatakan apa pun, aku benci dengan perasaan aneh ini. Maafkan aku, Sin!” Bianca tiba-tiba memegangi kepalanya dengan tatapan mata yang nanar.“Bi, kalau ngomong itu jangan setengah-setengah, aku jadi merinding ini,” ujar Rahel dengan menyikut Bianca.“Jangan percaya dengan ucapanku yang tadi, aku cuma ngelantur!” Bianca bangkit dari kursinya, meraih tas dan pergi begitu saja.“Bi, kok langsung pergi sih?” teriak Sinta.Aku masih termenung, terus terang, aku takut akan kebenaran kata-kata dari sahabatku dari bangku kuliah itu. Dari dulu dia memang aneh, tapi terkadang apa yang diocehkannya itu menjadi kenyataan. Dia juga bisa merasakan adanya makhluk gaib dan aku percaya akan kelebihannya itu, walau terkadang teman-teman suka menetertawainya.Dulu, Bianca juga pernah meramalkan kalau a
Suamiku Menghilang Setiap MalamBab 10 : Dicumbu dalam kegelapanPintu kamar terbuka, terlihat Mas Gilhan muncul dai balik pintu. Jantung ini jadi berdebar cepat dan aku tak berani bergerak dari depan meja rias karena tak pede dengan lingeri yang kukenakan ini.“Sayang, ayo makan malam dulu!” Mas Gilhan menghampiriku.Aku meliriknya namun masih tetap pura-pura fokus dengan cermin di hadapan, jadi ningung harus melakukan apa.“Sayang, ayo!” Mas Gilhan mengulurkan tangannya.Dengan meremas jemari yang kini menjadi dingin dan gemetar, aku bangkit dari kursi dan memberanikan diri meliriknya.“Sayang, kamu baju baru?” tanya Mas Gilhan sambil tersenyum.“Iya, Mas, kamu suka gak?” tanyaku pelan dengan meliriknya sekilas lalu menundukkan wajah.“Hmm ... suka dong, tapi lapisi lagi pakaianmu ini jika mau keluar!” jawab Mas Gilhan dengan mengamatiku lalu menarikku ke dalam pelukannya.“Iya, Mas .... “ Aku mengangkat wajah lalu melingkarkan tangan di lehernya berharap lelaki ini mengerti mauku.
Suamiku Menghilang Setiap MalamBab 11 : Nyata atau Mimpi?“Selamat pagi, Sayang.” Terasa sebuah kecupan mendarat di dahi juga suara lembut khas suamiku.Aku membuka mata dan mendapati diriku sedang terbaring di tempat tidur, padahal tadi malam aku ingat betul kalau sedang duduk meringkuk dengan memeluk lutut yang mungkin telah ketiduran, tapi kini aku tertidur dengan posisi seperti biasanya, di samping suamiku, lengkap dengan selimut.“Sayang, kok bengong saja? Kamu kenapa?” tanya Mas Gilhan menyentuh pipiku, ia berbaring menyamping dengan menghadap kepadaku.“Mas, tadi malam kamu ke mana?” tanyaku dengan berusaha mengingat apa yang terjadi setelah aku duduk meringkuk dengan memeluk lutut saat putus asa mencari keberadaan suamiku itu.“Maksudmu apa, Sayang? Aku tak ada ke mana pun. Hmm ... bangunlah, hari ini kita ajak anak-anak jalan keluar,” ujar Mas Gilhan sambil beranjak dari tempat tidur.“Mas, tadi malam ... pas mati lampu, kamu ke mana?” Aku beranjak bangkit lalu menarik tanga
Suamiku Menghilang Setiap MalamBab 12 : Sendiri di RumahAku tak jadi membalas pesan Bianca, tapi melakukan panggilan video saja, biar lebih enak ngobrolnya.“Bi, kamu lagi di mana?” tanyaku saat panggilan telah tersambung kepada temanku dengan rambut potongan bob itu.“Lagi di rumah, kamu udah baca chat dari aku ‘kan? Kalau kamu merasa tak mau percaya, nggak apa-apa kok,” jawabnya.“Udah, emang kamu mimpiin aku kenapa tadi malam?” tanyaku penasaran.“Hmm ... itu cuma mimpi sih, kamu boleh percaya atau tidak, semuanya hanya firasatku saja.” Bianca terlihat sedang duduk di atas tempat tidurnya.“Apa itu? Cepat ceritakan!” desakku penasaran.“Tadi malam ... aku mimpiin kamu ... hendak dibunuh oleh makhluk bertubuh hitam besar, berbulu, berkuku panjang juga bertaring .... “ ujar Bianca dengan raut cemas.Aku menelan ludah sebab yang dikatakan Bianca memang sudah terjadi kepadaku, hanya saja aku masih belum bisa membedakan itu mimpi atau nyata.“Bi, yang kamu mimpiin itu memang sudah kua
Suamiku Menghilang Setiap MalamBab 13 : KesurupanRasanya tidak sah jika pintu yang hanya tinggal dibuka ini malah kutinggal begitu saja. Aku menarik napas panjang dan bersiap melihat ada apa di balik pintu ini.“Bi, tunggu sebentar, aku akan segera ke sana. Ini aku sedang dalam misi penting, teleponnya jangan dimatiin dulu,” ujarku dengan mengapit ponsel diantara bahu dan telinga, sedang kedua tangan kugunakan untuk membuka pintu berbahan keras ini.Jantung semakin berdebar tak karuan, tubuh jadi panas dingin. Semuanya akan segera terkuak. Kutarik pintu itu perlahan dan menyiapkan diri melihat apa yang didatangi suamiku setiap malam itu.“Nyonya Sindy, sedang apa di sini? Itu di depan ada temannya yang nyari.” Sebuah suara membuatku terkejut dan membuatku harus menoleh ke belakang.Belum sempat aku membuka pintu itu, tangan Pak Satpam sudah menekan ke depan, membuat aku tak bisa untuk menarik daun pintu.“Pak Satpam, lepaskan tanganmu! Aku mau membuka pintu ini,” ujarku dengan jengk
Suamiku Menghilang Setiap MalamBab 14 : Keluar RumahSetelah mengalami pergolakan batin beberapa saat, kuputuskan untuk tetap pergi bersama Bianca walau raga seakan tak mau terpisah dari suamiku yang mendadak romantis siang ini. Sedikit dilema juga, namun aku harus menentukan pilihan.“Mas, aku pergi, ya,” ujarku berusaha melepaskan diri dari pelukannya.“Hmm ... kasih Mas kiss dulu,” ujarnya dengan sambil menoleh ke sekitar, mungkin karena takut ada anak-anak yang melihat adegan dewasa ini.Aku menahan senyum dan membiarkan dia menautkan bibir kamu. Napasku menjadi memburu, seakan menginginkan hal yang lebih lagi. Agghh ... Bianca ada di teras, dia pasti sudah keluh kesah menungguku.“Mas, aku harus pergi, kasihan Bianca udah nungguin,” ujarku dengan sambil mengelap bibirku yang mungkin lipstiknya sudah memudar karena ulah Mas Gilhan barusan.Mas Gilhan tersenyum. Aku bangkit dari sofa lalu melangkah bersamanya menuju teras.“Hati-hati, Sayang.” Mas Gilhan melambaikan tangan saat ak
Suamiku Menghilang Setiap MalamBab 15 : Sedikit Terkuak“Kamu takkan dibunuh, Sin. Jadi, setelah kamu kembali ke rumah suamimu nanti, bersikaplah seperti biasanya. Lalu selidiki misi suamimu di halaman belakang itu, sebab mata batinku tak bisa menembus sana,” ujar Bianca dengan memegang pundakku, ia berusaha membuatku tenang.“Bi, kenapa aku harus mengalami hal aneh ini, Bi? Mengapa harus aku, lalu kenapa Mas Gilhan melakukan semua ini kepadaku?” Aku menahan tangis, semua ini begitu membuatku terpukul.“Ada sesuatu di dalam dirimu yang membuat Mas Gilhan memilihmu, Sin. Dekatkan dirimu dengan Yang Maha Kuasa, mintalah pertolongan dengan-Nya sebab hanya Dialah yang mengetahui segalanya." Bianca menggenggam tanganku."Bi, semenjak di rumah itu ... aku jadi tak bisa melakukan ibadah apa pun, aku mendadak lupa semua ayat-ayat Al-quran. Aku harus gimana, Bi?" Aku menatap nelangsa Bianca, sumpah ... Aku bingung saat ini. Semuanya tak masuk diakal, tapi kejadian ini nyata adanya.***Setela