Tengah malam, lekas setelah dia dan Ayu bertengkar hebat. Jovan pergi mengendarai mobilnya, membelah cuaca dingin dan menuju dengan cepat ke suatu tempat. Dia tahu betul pasti lelaki yang dia incar ada di sana.
Bar IU, sebuah Bar Fancy yang dikelola oleh Marcel.
Turun dari mobilnya, Jovan dengan napasnya yang memburu melangkah tanpa ragu memasuki Bar itu. Dia melihat Marcel yang tengah tertawa sembari berbincang dengan para pembeli. “Sialan itu, masih bisa ketawa ya lo!”
“Jovan? Ada apa nih, tengah malem begini. Ada masalah a-“ kata-kata Marcel tercekat ketika Jovan dengan segera menarik kerah kemejanya.
Lelaki itu terkejut melihat tindakan Jovan, dilihat oleh banyak orang rasanya akan memicu keributan. Marcel harus berkepala dingin di saat seperti ini.
“Wih, santai ... santai. Lo kenapa, Bro?” tanya Marcel.
“Ada hubungan apa lo sama istri gue?!” tanya Jovan, nadanya pelan tetapi langsung menusuk pada sasarannya.
Mengerti pada arah pembicaraannya, Marcel melepaskan tangan Jovan dan merangkulnya menuju ruangan privat dirinya.
“Kita bicarain di ruangan gue.”
Jovan menurut dan ikut melangkahkan kaki menuju ruang privat Marcel.
“Lepasin!” ucap Jovan kasar.
Marcel bingung, ada apa dengan kawannya ini. Tidak biasanya melihat Jovan semarah ini, selain ketika dia sedang mabuk.
“Lo nggak mabuk kan?” tanya Marcel ragu-ragu.
“Dengan kesadaran penuh, sekali lagi gue tanya. Ada hubungan apa lo sama Ayu?” tanya Jovan dengan mata yang memerah.
Marcel terdiam sejenak. Ah, rupanya masalah Ayu. Senyum tipis tercetak di bibir Marcel, entah merasa senang karena apa.
“Teman? Dia kan istri lo, lo temen gue. Berarti teman, kan?” jawab Marcel.
Jovan berdecak, sebenarnya ada hubungan apa antara Marcel dan Ayu di belakangnya?
“Gue cium bau parfum lo di badan Ayu.” Jovan terang-terangan dan Marcel nampak tidak terkejut mendengarnya.
“Ah, itu? Gue sama Ayu nggak sengaja tabrakan pas Ayu keluar dari rumah Tante Jessica. Mungkin pas itu parfum gue jadi nempel?” kata Marcel apa adanya.
Jovan mendelikkan alisnya merasa aneh. “Bukannya lo nggak bisa dateng ke rumah gue, kenapa lo ada di sekitar situ?” tanya Jovan selidik.
“Iya, gue udah sampe di sekitar rumah Tante Jessica tapi abis itu dapet telepon dari client gue. Biasa orang sibuk, karena buru-buru gue langsung cabut nggak sempet mampir.” Marcel menjelaskannya dengan wajah tenang tanpa keraguan.
Penjelasan dari Marcel membuat Jovan berpikir dia sepertinya terlalu berlebihan. Lagi pula, Ayu tidak pernah bertemu dengan Marcel setelah mereka menikah. Bagaimana mereka bisa ada hubungan?
Melihat Jovan yang terdiam, Marcel berteriak dalam hati merasa menang. “Gimana? Masih nggak percaya sama gue? Perlu gue telepon client gue buat mastiin hari ini gue sama dia?” tawar Marcel.
“Nggak, sorry gue kayaknya berlebihan.” Jovan menundukkan kepalanya merasa malu, api cemburu membakar dirinya hingga tidak bisa berpikir logis.
“Santai, santai, gimana kalo duduk dulu? Kayaknya lo lagi banyak pikiran.”
Mereka duduk, lalu Marcel memanggil pelayan untuk membawakan mereka minuman.
Jovan meraup wajahnya kusut, kini suasana di rumah pasti akan kacau setelah pertengkaran tak berarti yang mereka buat karena kesalahpahaman.
“Gue abis berantem sama Ayu,” kata Jovan membuka suara.
Marcel mendengarkan dengan wajah pura-pura simpatinya, “Berantem gara-gara parfum gue?”
“Ya, itu salah satunya. Ayu marah karena gue nggak nurutin dia pas dia minta pulang. Lo kalo jadi gue pasti bakal sama kan? Itu acara keluarga dan kita baru sampe berapa menit, masa minta pulang? Harusnya kan Ayu gunain waktu itu buat berbaur sama keluarga gue.” Jovan mengeluarkan keluh kesahnya, merasa bingung harus memihak siapa.
Satu gelas minuman keras diminum Jovan, dipastikan malam ini Jovan akan mabuk. Marcel menghela napas berat, malam ini dia akan pulang larut untuk mengantar Jovan pulang. Tapi tidak apa-apa, setelahnya dia bisa bertemu Ayu lagi.
“Mungkin ada alesan kenapa Ayu kayak gitu. Lo udah coba nanya ke dia?” tanya Marcel menimpali curhatan sobatnya itu.
“Dia bilang nggak enak badan, tapi gue yakin itu cuman alesan dia doang. Tapi ... malem ini, gue ngerasa asing sama Ayu. Gue nggak pernah liat dia semarah itu sama gue.”
Jovan sudah mabuk, dan mulai sekarang semua perkataan yang keluar dari bibirnya adalah kejujuran.
“Ayu semarah itu ke Jovan? Jadi penasaran ...,” ucap Marcel dalam hati.
“Padahal kan gue cuman emosi, kata-kata yang gue bilang itu bukan yang sebenarnya. Gue nikahin dia karena gue cinta sama dia. Mulut bodoh ini malah bilang istri sendiri wanita murahan,” racau Jovan sembari menepuk-nepuk bibirnya kesal.
Marcel meraih tangan Jovan agar tidak memukuli bibirya sendiri. Namun, ada tekanan amarah di sana. Degup jantung Marcel berpacu cepat, tersembunyi dari wajahnya yang tenang. Dia marah. Marah, wanitanya dikatai wanita murahan oleh suaminya sendiri.
“Iya, harusnya lo nggak bilang gitu mau seemosi apa pun. Gimana kalo Ayu pergi ninggalin lo?” tanya Marcel dengan mata yang menyala-nyala.
“Nggak!” bentak Jovan.
Lelaki itu ikut menatap mata Marcel dengan matanya yang sayu. “Nggak boleh, Ayu punya gue! Tujuan gue nikah di usia muda karena gue tahu banyak yang ngincar Ayu. Walaupun dia mau sama gue karena liat harta gue, gue nggak masalah. Dia tulus sayang sama gue, Ayu ... nggak mungkin ninggalin gue.”
Marcel tertegun mendengarnya. Tidak menyangka seorang Jovan yang terkenal suka bermain-main justru dengan serius mencintai wanitanya.
“Hmm, gitu. Suatu saat ada yang akan buat itu jadi hal yang mungkin,” bisik Marcel. Setelahnya dia bangkit dengan Jovan dirangkulannya.
-
Larut malam, Marcel berdiri di depan pintu rumah Jovan bersama lelaki yang kini sudah tepar. Bel dibunyikan dan 5 menit kemudian seorang wanita cantik dengan pakaian tidurnya keluar dengan wajah polos.
Marcel terpaku. Pertama kali ini dia melihat Ayu tanpa riasan, dan lekuk tubuh yang diumbar. Cobaan apa ini di larut malam, Tuhan?
“Marcel? Loh, Jovan kenapa?” tanya Ayu. Dengan segera dia mendekat ke arah Jovan dan menepuk-nepuk pipi suaminya itu dengan lembut, seakan lupa beberapa jam lalu mereka telah bertengkar hebat.
“Hmm ... istri aku? Cantik banget, hehehhe.” Jovan meracau sembari meraup wajah Ayu dan mencium pipi chubby istrinya.
Marcel panas dingin melihatnya, ingin dia tendang lelaki tak berguna ini dan mengurung Ayu untuk terjaga sampai subuh.
“Ah, sial! Gue harus tenangin diri,” ucap Marcel dalam hati ketika hasratnya kian menjadi.
Sementara Ayu menatap malu sekaligus canggung karena tingkah manis Jovan ketika mabuk. “U-udah, kamu mabuk Jovan. Ayo masuk,” kata Ayu sembari menuntun suaminya itu.
“Hmm, Marcel ... bisa bantu aku baringin Jovan di kasur?” tanya Ayu merasa cukup kesulitan dengan suaminya.
“Baringin kamu sekalian boleh?” jawab Marcel
“Marcel! Nanti Jovan denger gimana?” sentakku berbisik, walaupun begitu kiranya pipiku sudah seperti tomat.Aku lihat Marcel tertawa dengan manisnya sembari ikut membantuku menuntun Jovan menuju ranjang.Lekas kami merebahkan Jovan di ranjang, aku dan Marcel saling menatap satu sama lain. Mata Marcel yang tak goyah menatap diriku membuatku terpaku. Larut malam, berdua, di kamar.“Ah, tidak-tidak . Apa yang ada di otakku? Marcel itu teman suamiku, sadarlah Ayu!” ucapku dalam hati merasa gemas dengan pikiran kotorku sendiri.“Hayo, mikirin apa?” tanya Marcel tersenyum jahil padaku.Lelaki itu berniat mendekat, tapi dengan sigap aku raih tangannya untuk keluar dari kamar. Aku menutup pintu kamar rapat-rapat dengan jantung berdegup cepat, seakan takut Jovan terbangun lalu melihat kami.“Emm ... makasih ya, udah anterin Jovan. Ayo aku antar ke depan,” ucapku dengan cepat sembari melangkahkan kaki menuju teras.Namun, sebuah tangan kekar tiba-tiba mendekapku dari belakang, menghirup dalam-d
Bapak dan Ibu segera memusatkan atensinya padaku. Sejujurnya, aku deg-degan untuk mengatakannya. Namun, kali ini aku akan mencoba berani dalam menyuarakan keinginanku.“Ada apa?” tanya Bapak, Harto.“Aku ingin menikah dengan Jovandi. Kami sudah membicarakannya dan aku menyutujuinya,” jelasku dengan singkat.Aku melihat ekspresi kedua orang tuaku yang terkejut. “Menikah? Kamu kan baru lulus kemarin, Nak. Jovan juga belum lulus, kan?” tanya Ibuku.Aku mengerti apa yang beliau katakan, karena aku juga mengatakan hal serupa pada Jovan sebelumnya. “Aku tahu, Bu. Tapi aku sudah memikirkannya dengan baik, dan aku sudah memutuskan untuk menikah dengan Jovan.”Bapak yang sedari tadi diam mulai mengangkat suara. “Apa yang membuat kamu memutuskan untuk menikah sekarang? Apa kamu tidak peduli pada mimpimu, Nak?”Mimpi? Memangnya setelah menikah aku tidak bisa menggapai mimpi? Aku bukannya tidak peduli pada mimpiku, aku hanya menangkap kesempatan yang ada.“Aku berpikir, apa salahnya menikah muda?
Tring . . . Dering ponsel milikku berbunyi dengan nyaring, aku yang tengah pusing memikirkan masalahku tiba-tiba semakin pusing saat melihat nama yang tercantum di layer ponsel. “Ahh . . . Elisa, pasti mereka mengajakku bertemu lagi. Padahal kan minggu kemarin kita sudah hang out bareng,” kesalku. Aku angkat panggilan itu dan suara Elisa yang lembut menyapa telingaku. “Halo, Yu!” katanya. “O-oh, halo Lis. Kenapa nih?” tanyaku dengan nada yang malas. “Di Plaza XX ada event loh! Kita kan sering belanja di situ, punya member juga, katanya dapat barang gratis setiap pembeliannya. Ke sana, yuk!” Sudah kuduga. Kali ini Plaza XX? Di sana kan mahal-mahal sekali untuk budget keuanganku yang sekarang. Gimana ini? Tapi jika aku tolak nanti Elisa berpikir aku benar-benar jatuh miskin karena keluarga Wicaksono yang bangkrut. “Wah, sekarang banget, nih?” tanyaku berpura-pura seolah sedang sibuk. “Iya dong! Sekarang kan weekend, terus juga persediaannya terbatas! Utami juga ikut,” ucapnya be
Sembari menunggu pesanan kami sampai, kami mengobrol seperti biasanya. “Utami, bagaimana dengan pacarmu yang minggu kemarin? Apakah dia cocok sama kamu?” tanyaku penasaran. Minggu kemarin Utami membangga-banggakan pacar barunya di depan aku dan Elisa. Aku dan Elisa tau betul bagaimana kisah percintaan Utami yang tak pernah berakhir baik. Maka dari itu kita selalu menanyakan bagaimana jalannya hubungan Utami. “A-ah? Yang minggu kemarin? Si Willy? Setelah kupikir-pikir lagi sepertinya kita tidak cocok, dia tidak suka dengan aku yang mementingkan banyak hal. Terutama aku yang selalu sibuk karena aktif dalam kegiatan kuliahku,” jawabnya. “Wah, seperti dugaan. Nggak bertahan lebih dari seminggu?” tanya Elisa. “Yah, begitulah.” Utami hanya tersenyum kaku. Aku tak mengerti mengapa orang yang dia temui tidak pernah cocok dengannya. Se
-POV Author-Ketiga orang tadi yaitu, Elisa, Utami, dan Ayu sudah pulang ke rumah masing-masing. Mari mulai dari Elisa, di rumahnya sudah ada suaminya Galuh yang tengah menunggu kepulangan istrinya. “Loh, Mas? Kapan pulang?” tanya Elisa terkejut karena mendapati suaminya yang pulang dinas. “Bukannya Mas sudah kabarin kamu? Kenapa kamu malah keluar pas Mas mau pulang?” tanya Galuh pada istrinya. Dia melihat beberapa paper bag dari barang-barang branded yang berada di tangan istrinya. Galuh membuang napasnya lelah, lagi dan lagi Elisa menghambur-hamburkan uang untuk hal yang tak berguna. “Ini sudah yang keberapa kali? Mas kan bilang, simpan uangnya dengan baik, jika perlu untuk sesuatu maka gunakanlah untuk yang bermanfaat. Itu kan uang untuk persiapan kita punya anak, sayang,” ucap Galuh dengan penuh kelembutan pada istrinya itu. “Kamu kenapa sih, Mas? Lihat Istri senang nggak suka, kah? Aku ini malu karena aku kelihatan yang paling nggak ma
Jam 22.00Suara bel kamar apartemen Utami berbunyi nyaring. Perempuan itu dengan malas berdiri dan mempersilakan kekasihnya masuk. “Halo, baby girl!” sapa Sam dengan merentangkan tangannya lebar. Utami dengan wajah berpura-pura bahagia memeluk Sam dengan lembut. Demi barang branded dan uang yang telah dia habiskan siang tadi, Utami harus bekerja lagi melayani Sam, pemuda yang sangat obsessed padanya. “Kamu selalu tepat waktu ya,” kata Utami. Dia menggiring Sam untuk masuk dan mempersilakannya duduk. Sam melingkarkan tangannya di perut Utami, membuat perempuan itu terduduk di pangkuannya. Sam mengendus harumnya tubuh Utami yang khas, bau ini selalu memabukkannya. Entah mengapa tidak ada perempuan yang memiliki wangi secandu Utami. “Ahh . . . aku tidak akan bisa berhenti menghirupnya,” bisiknya di telinga Utami. Dalam hati Utami berdecak, Sam mencarinya ketika lelaki itu menginginkan tubuhnya. Utami tidak benar-benar tahu apakah Sam benar-benar mencintainya atau hanya sekedar menyu
Sinar Mentari pagi masuk ke sela-sela kamar kami, tembus dari jendela dan menusuk mataku hingga aku pun akhirnya terbangun. Ku lihat Jovan seperti biasa masih terlelap dari tidurnya, seakan silaunya matahari tidak mengganggunya.“Sayang, mandi dulu gih. Aku mau masak dulu,” kataku membangunkan Jovan yang masih terbaring di kasur. “Eung . . . aku masih ngantuk,” balas Jovan. Seperti biasa, setiap pagi Jovan selalu menolak untuk bangun awal dan bermalas-malasan di kasur. Tidak masalah sebenarnya jika perekonomian kami masih seperti dulu, di mana aku dan Jovan tidak perlu memikirkan uang dan segala macamnya. Namun, sekarang berbeda.Seharusnya Jovan membuang kebiasaan buruknya dan berusaha menjadi kepala keluarga yang baik. “Ah, sudahlah. Mari lupakan soal uang dulu, akan banyak masalah berdatangan jika aku mengungkitnya terus,” gumamku. Aku mendekat ke arah suamiku, aku mengelus rambutnya itu dengan sayang berharap Jovan bangun dan segera
“Eh, itu liat deh. Dia guru honorer baru di sini, padahal denger-denger keluarga suaminya itu konglomerat yang bangkrut itu loh! Apa jangan-jangan dia juga ikutan jatuh miskin, ya? Makanya kerja di sini deh,” seru sosok ibu-ibu yang memakai seragam guru juga. “Sutt, nanti orangnya denger gimana?” kata sosok di sebelahnya. Sialan, dipikir aku tidak mendengarnya apa? Benar, aku sudah jatuh miskin, kenapa? Ingin rasanya aku berteriak di depan wajah mereka. Jika tidak terpaksa akan keadaan, mana mungkin aku mau menekuni pekerjaan dengan gaji receh ini? Memilih untuk pura-pura tuli, aku segera melangkah menuju kelas yang akan aku ajar. Aku mengajar anak SMA dengan mata pelajaran Biologi. Kira-kira baru beberapa minggu aku di sini, aku sudah merasa jengah akan tingkah anak muridku yang kelewat bandel. “Anak-anak, segera kumpulkan pekerjaan rumah kalian di meja ibu agar kita bisa langsung mulai pembahasannya,” kataku Ketika sudah memasuki kelas.