Bapak dan Ibu segera memusatkan atensinya padaku. Sejujurnya, aku deg-degan untuk mengatakannya. Namun, kali ini aku akan mencoba berani dalam menyuarakan keinginanku.
“Ada apa?” tanya Bapak, Harto.
“Aku ingin menikah dengan Jovandi. Kami sudah membicarakannya dan aku menyutujuinya,” jelasku dengan singkat.
Aku melihat ekspresi kedua orang tuaku yang terkejut. “Menikah? Kamu kan baru lulus kemarin, Nak. Jovan juga belum lulus, kan?” tanya Ibuku.
Aku mengerti apa yang beliau katakan, karena aku juga mengatakan hal serupa pada Jovan sebelumnya. “Aku tahu, Bu. Tapi aku sudah memikirkannya dengan baik, dan aku sudah memutuskan untuk menikah dengan Jovan.”
Bapak yang sedari tadi diam mulai mengangkat suara. “Apa yang membuat kamu memutuskan untuk menikah sekarang? Apa kamu tidak peduli pada mimpimu, Nak?”
Mimpi? Memangnya setelah menikah aku tidak bisa menggapai mimpi? Aku bukannya tidak peduli pada mimpiku, aku hanya menangkap kesempatan yang ada.
“Aku berpikir, apa salahnya menikah muda? Kami berdua saling mencintai dan merasa cocok satu sama lain. Kami hanya tidak ingin membuang waktu dengan berpacaran yang tentunya tidak baik. Lalu, aku tidak berbicara mengenai mimpi. Aku hanya ingin Bapak dan Ibu menyetujui keputusanku,” kataku.
“Lagi pula, setelah menikah aku bisa menggapai mimpiku dengan lebih leluasa karena mempunyai koneksi berkat keluarga Jovan,” lanjutku.
“Nak, menikah itu bukan hanya karena sudah saling mencintai dan sama-sama cocok. Menikah itu tidak sesederhana itu, butuh persiapan yang sangat matang, butuh mental yang kuat. Kamu dan Jovan baru setahun bersama, seberapa yakin kalian untuk bisa hidup bersama selamanya? Apa kamu sudah tahu luar dalamnya Jovan seperti apa? Kamu-“
“Ibu! Bisakah kali ini kalian menuruti keinginanku? Dari kecil aku selalu menurut, bahkan untuk mimpiku, aku mengalah dan menuruti keinginan Bapak Ibu untuk menjadi seorang guru. Aku selama ini berjuang sendiri, aku lelah Ibu, Bapak. Keluarga Jovan itu kaya raya, jika menikah dengan dia, maka aku bisa mewujudkan segala keinginanku yang tak pernah terwujud dari dulu,” potongku karena sudah bosan mendengar nasihat ibu yang selalu menentang apa yang aku mau.
Ini pertama kalinya aku memotong Ibu yang sedang berbicara. Aku sungguh takut melihat Bapak yang sudah melotot. Ah, persetan dengan semuanya, untuk kali ini saja aku ingin menjadi anak pembangkang.
“Ayu! Sejak kapan kamu tidak bisa dinasihati? Apakah seperti itu yang Bapak dan Ibu ajarkan kepadamu selama ini? Lagi pula kamu itu hanya akan menyesalinya jika sekarang kamu memutuskan untuk menikah dengan lelaki yang baru kamu kenal hanya karena dia kaya!” sentak Bapak sampai membuatku terjingkut kaget.
Aku bangkit berdiri karena merasa tidak ada yang mengerti aku. “Bapak dan Ibu memang selalu seperti itu, apakah aku tidak berhak untuk memilih jalanku sendiri?”
Lekas mengatakan itu, aku berlalu pergi meninggalkan kedua orang tuaku yang memangil-manggil namaku dengan keras. Memangnya apa salahnya dengan menikah muda? Toh, hidup kami akan terjamin karena keluarga Wicaksono adalah konglomerat. Aku juga yakin Jovan adalah pria baik yang akan menyayangiku lebih dari siapa pun.
“Aku benci mereka semua! Aku ingin menikah karena aku sudah lelah hidup susah!” Aku menyembunyikan wajahku di dalam bantal, merasa kesal pada orang tuaku yang selalu saja egois.
“Bapak bilang aku hanya akan menyesal jika menikah sekarang? Apakah mungkin manusia akan merasa menyesal jika hidupnya bahagia? Aku tidak akan menyesal karena tentu saja aku bahagia, sebab uang adalah alasan seseorang bahagia.”
Dulu aku menentang dengan sangat keputusan Ibu dan Bapak. Merasa keputusanku yang gegabah waktu itu adalah pilihan yang tepat. Sekarang aku sudah kena batunya, Tuhan sudah menegurku dengan cara yang paling pedih.
“Mas, kita mau hidup gini terus?” tanyaku pada Mas Jovan. Kami sudah setahun menikah dan Mas Jovan baru lulus kuliah. Dia terus-terusan di rumah tanpa berusaha untuk bekerja.
“Apa sih kamu ini? Aku sudah berusaha!” tukasnya dengan kasar.
Benar, di tahun pertama pernikahan kami Keluarga Wicaksono bangkrut. Setahun yang indah berlalu dengan singkat dan sekarang aku harus menerima kenyataan jika apa yang dikatakan Ibu dan Bapak adalah benar.
Kini aku menyesal telah melanggar kata-kata mereka. Meminta pertolongan pada Ibu dan bapak pun rasanya aku malu. Namun, sudah beberapa bulan berlalu setelah bangkrutnya keluarga Wicaksono, Mas Jovan tidak pernah berusaha bekerja untuk menafkahiku selaku istrinya.
“Berusaha? Kamu selama ini hanya makan tidur menghabiskan tabungan kita yang nggak seberapa itu!” sentakku membantah. Aku sudah kesal melihat tingkah Mas Jovan yang kelewat santai. Dia hanya mengandalkan tabungan yang aku sisihkan setiap bulan saat keluarga Wicaksono masih dalam kejayaannya.
“Ayu! Aku ini baru lulus kemarin, memangnya kamu kira gampang mencari pekerjaan? Kalo gampang kamu saja yang kerja sana!” katanya dengan lagak meremehkan.
Aku tertegun mendengarnya, tidak pernah aku mendengar Jovan berkata kasar kepadaku baik selama pacaran atau menikah. Namun, apa ini? Dia membentakku dan bahkan menyuruhku untuk bekerja?
“Nggak salah kamu nyuruh aku kerja, Mas? Terus tugas kamu sebagai suami apa?” tanyaku yang sedang menahan tangis.
Sakit rasanya ketika Jovan berubah dengan singkat hanya karena tidak memiliki uang dan kekuasaan seperti sebelumnya. Keluarga Wicaksono sudah lepas tangan terhadap kehidupan anak-anaknya, bahkan Jovan yang katanya adalah anak kesayangan disingkirkan begitu saja.
“Ahh! Kamu ini memang tidak tahu diri ya? Dulu kamu bahkan bisa dibeli hanya dengan janji-janji manis. Kamu ini matre dan murahan! Aku tahu, sejak awal kamu menikah denganku hanya ingin mengincar harta keluargaku, kan? Setelah keluargaku bangkrut kamu berniat meninggalkanku, benar kan?!” teriak Jovan dengan emosi.
Aku menutup mulutku tak percaya pada apa yang aku dengar dari mulut Jovan. Lekas setelah mengatakan itu Jovan pergi dari hadapanku. Aku terduduk lemas pada ubin lantai yang dingin.
“Ibu, Bapak . . . bisakah aku memutar waktu?” ucapku menangis dengan pilu.
Tuhan, sekarang aku menyesal. Tolong putar kembali waktu, menikah muda ternyata tidak seindah apa yang aku pikirkan dulu. Sekarang, siapa yang bisa menolongku?
Aku melihat ke sekeliling rumah yang megah ini, apakah lebih baik kita pindah saja ke rumah yang lebih kecil? Dengan keuangan yang sedang kritis dan kebutuhan hidup yang terus mengalir takkan mungkin aku dan Jovan dapat membayar seluruh tagihan rumah ini.
“Bagaimana aku harus bilang pada Mas Jovan? Aku tidak mengambil kendali penuh atas rumah ini. Namun, Mas Jovan pun tidak bisa memenuhi semua kebutuhan dasar kami. Bukankan pilihan yang tepat untuk menjual rumah ini dan pindah ke rumah yang lebih sederhana?” tanyaku pada diri sendiri.
Beruntung asset pribadi yang sudah diberikan keluarga Wicaksono kepada Jovan tidak ikut tersita karena sudah berganti nama. Kami masih mempunyai satu rumah, dua mobil, dan tabungan yang mungkin hanya cukup untuk beberapa bulan ke depan.
Walaupun Jovan tahu finansial kami sedang tidak baik-baik saja, dia seolah tidak mau peduli dan tetap menjalani aktivitas sehari-hari dengan gaya hidup yang dulu. Tentunya hal itu membuat tabungan kami semakin menipis.
“Aku harus bagaimana Tuhan? Alasan kuat untuk menikah dengan Jovan adalah karena keluarganya, lantas kini keluarganya sudah tidak seperti dulu lagi . . . apakah aku harus . . . .”
“Tidak! Tidak! Jika aku begitu berarti aku adalah wanita paling brengsek. Tapi . . . aku harus bagaimana? Haruskah aku mulai bekerja? Tapi, gaji guru memangnya cukup untuk kehidupan kami? Lalu, apakah aku yang harus banting tulang sementara suamiku bersantai di rumah?”
Tring . . . Dering ponsel milikku berbunyi dengan nyaring, aku yang tengah pusing memikirkan masalahku tiba-tiba semakin pusing saat melihat nama yang tercantum di layer ponsel. “Ahh . . . Elisa, pasti mereka mengajakku bertemu lagi. Padahal kan minggu kemarin kita sudah hang out bareng,” kesalku. Aku angkat panggilan itu dan suara Elisa yang lembut menyapa telingaku. “Halo, Yu!” katanya. “O-oh, halo Lis. Kenapa nih?” tanyaku dengan nada yang malas. “Di Plaza XX ada event loh! Kita kan sering belanja di situ, punya member juga, katanya dapat barang gratis setiap pembeliannya. Ke sana, yuk!” Sudah kuduga. Kali ini Plaza XX? Di sana kan mahal-mahal sekali untuk budget keuanganku yang sekarang. Gimana ini? Tapi jika aku tolak nanti Elisa berpikir aku benar-benar jatuh miskin karena keluarga Wicaksono yang bangkrut. “Wah, sekarang banget, nih?” tanyaku berpura-pura seolah sedang sibuk. “Iya dong! Sekarang kan weekend, terus juga persediaannya terbatas! Utami juga ikut,” ucapnya be
Sembari menunggu pesanan kami sampai, kami mengobrol seperti biasanya. “Utami, bagaimana dengan pacarmu yang minggu kemarin? Apakah dia cocok sama kamu?” tanyaku penasaran. Minggu kemarin Utami membangga-banggakan pacar barunya di depan aku dan Elisa. Aku dan Elisa tau betul bagaimana kisah percintaan Utami yang tak pernah berakhir baik. Maka dari itu kita selalu menanyakan bagaimana jalannya hubungan Utami. “A-ah? Yang minggu kemarin? Si Willy? Setelah kupikir-pikir lagi sepertinya kita tidak cocok, dia tidak suka dengan aku yang mementingkan banyak hal. Terutama aku yang selalu sibuk karena aktif dalam kegiatan kuliahku,” jawabnya. “Wah, seperti dugaan. Nggak bertahan lebih dari seminggu?” tanya Elisa. “Yah, begitulah.” Utami hanya tersenyum kaku. Aku tak mengerti mengapa orang yang dia temui tidak pernah cocok dengannya. Se
-POV Author-Ketiga orang tadi yaitu, Elisa, Utami, dan Ayu sudah pulang ke rumah masing-masing. Mari mulai dari Elisa, di rumahnya sudah ada suaminya Galuh yang tengah menunggu kepulangan istrinya. “Loh, Mas? Kapan pulang?” tanya Elisa terkejut karena mendapati suaminya yang pulang dinas. “Bukannya Mas sudah kabarin kamu? Kenapa kamu malah keluar pas Mas mau pulang?” tanya Galuh pada istrinya. Dia melihat beberapa paper bag dari barang-barang branded yang berada di tangan istrinya. Galuh membuang napasnya lelah, lagi dan lagi Elisa menghambur-hamburkan uang untuk hal yang tak berguna. “Ini sudah yang keberapa kali? Mas kan bilang, simpan uangnya dengan baik, jika perlu untuk sesuatu maka gunakanlah untuk yang bermanfaat. Itu kan uang untuk persiapan kita punya anak, sayang,” ucap Galuh dengan penuh kelembutan pada istrinya itu. “Kamu kenapa sih, Mas? Lihat Istri senang nggak suka, kah? Aku ini malu karena aku kelihatan yang paling nggak ma
Jam 22.00Suara bel kamar apartemen Utami berbunyi nyaring. Perempuan itu dengan malas berdiri dan mempersilakan kekasihnya masuk. “Halo, baby girl!” sapa Sam dengan merentangkan tangannya lebar. Utami dengan wajah berpura-pura bahagia memeluk Sam dengan lembut. Demi barang branded dan uang yang telah dia habiskan siang tadi, Utami harus bekerja lagi melayani Sam, pemuda yang sangat obsessed padanya. “Kamu selalu tepat waktu ya,” kata Utami. Dia menggiring Sam untuk masuk dan mempersilakannya duduk. Sam melingkarkan tangannya di perut Utami, membuat perempuan itu terduduk di pangkuannya. Sam mengendus harumnya tubuh Utami yang khas, bau ini selalu memabukkannya. Entah mengapa tidak ada perempuan yang memiliki wangi secandu Utami. “Ahh . . . aku tidak akan bisa berhenti menghirupnya,” bisiknya di telinga Utami. Dalam hati Utami berdecak, Sam mencarinya ketika lelaki itu menginginkan tubuhnya. Utami tidak benar-benar tahu apakah Sam benar-benar mencintainya atau hanya sekedar menyu
Sinar Mentari pagi masuk ke sela-sela kamar kami, tembus dari jendela dan menusuk mataku hingga aku pun akhirnya terbangun. Ku lihat Jovan seperti biasa masih terlelap dari tidurnya, seakan silaunya matahari tidak mengganggunya.“Sayang, mandi dulu gih. Aku mau masak dulu,” kataku membangunkan Jovan yang masih terbaring di kasur. “Eung . . . aku masih ngantuk,” balas Jovan. Seperti biasa, setiap pagi Jovan selalu menolak untuk bangun awal dan bermalas-malasan di kasur. Tidak masalah sebenarnya jika perekonomian kami masih seperti dulu, di mana aku dan Jovan tidak perlu memikirkan uang dan segala macamnya. Namun, sekarang berbeda.Seharusnya Jovan membuang kebiasaan buruknya dan berusaha menjadi kepala keluarga yang baik. “Ah, sudahlah. Mari lupakan soal uang dulu, akan banyak masalah berdatangan jika aku mengungkitnya terus,” gumamku. Aku mendekat ke arah suamiku, aku mengelus rambutnya itu dengan sayang berharap Jovan bangun dan segera
“Eh, itu liat deh. Dia guru honorer baru di sini, padahal denger-denger keluarga suaminya itu konglomerat yang bangkrut itu loh! Apa jangan-jangan dia juga ikutan jatuh miskin, ya? Makanya kerja di sini deh,” seru sosok ibu-ibu yang memakai seragam guru juga. “Sutt, nanti orangnya denger gimana?” kata sosok di sebelahnya. Sialan, dipikir aku tidak mendengarnya apa? Benar, aku sudah jatuh miskin, kenapa? Ingin rasanya aku berteriak di depan wajah mereka. Jika tidak terpaksa akan keadaan, mana mungkin aku mau menekuni pekerjaan dengan gaji receh ini? Memilih untuk pura-pura tuli, aku segera melangkah menuju kelas yang akan aku ajar. Aku mengajar anak SMA dengan mata pelajaran Biologi. Kira-kira baru beberapa minggu aku di sini, aku sudah merasa jengah akan tingkah anak muridku yang kelewat bandel. “Anak-anak, segera kumpulkan pekerjaan rumah kalian di meja ibu agar kita bisa langsung mulai pembahasannya,” kataku Ketika sudah memasuki kelas.
“Halo, Marcel. Aku ada di depan apartemen kamu, kamu ada di dalam?” tanyaku lewat telepon. Lekas pulang dari sekolah, aku urungkan niat untuk pulang ke rumah. Marcel memberikan alamat apartemennya kemarin dan letaknya tak jauh dari halte bus tempat aku turun tadi. “Oh, kamu sudah di depan? Wait sayang, 5 menit lagi aku sampai,” katanya. Telepon pun dia matikan sepihak. Aku menghela napas pada tingkah Marcel yang semakin terang-terangan mengatakan ketertarikannya padaku. Aku tidak tahu apakah Marcel benar-benar menyukaiku atau dia memang lelaki yang senang mempermainkan perempuan? Aku menunggu di lobby karena akan canggung rasanya bila aku berdiri di depan pintu apartemen Marcel. Selang 5 menit kemudian Marcel menemukanku dengan senyum sumringahnya. Mungkin dia merasa tak menyangka jika aku benar-benar datang. “Maaf kamu jadi menunggu,” katanya sembari mengulurkan tangan untuk meraih tanganku. Namun, aku tak menghiraukannya.
“Aku nggak ngerti maksud kamu. Apapun itu mari kita akhiri di sini,” kataku sudah merasa pening mendengar begitu banyak hal mengejutkan dari Marcel. “Tidak! Ini tidak adil bagiku, Ayu!” protes Marcel, dia mengikutiku yang hendak pergi, sekali lagi tanganku dijegal olehnya. Mimiknya memelas, mungkin dia berharap sekali saja aku berpihak padanya. Kini berbalik aku menatapnya dengan rasa kasihan, “Maaf, Marcel itu di luar kuasa aku. Pada siapa kamu meminta keadilan pada hal yang sudah kejadian? Jika memang Jovan merebutku darimu, kenapa kamu menyerah begitu saja? Itu artinya, aku tidak sepenting itu bagimu kan?” Marcel terdiam, kepalanya menunduk dalam, bibirnya kelu untuk membalas perkataanku. Tangannya kian pasrah menggengam lenganku. Ada rasa kecewa dalam hatiku karena Marcel secara tak langsung mengakui apa yang aku katakan memang benar adanya. “Hubunganku dengan Jovan kini membaik berkatmu, terima kasih karena tidak mengatakan yang sebenarny