Share

Cincin Pernikahan

Nero melirik Leah yang fokus pada makan siangnya. Tapi sebelum gadis itu sadar jika dia mencuri pandang, Nero dengan cepat mengalihkan pandangannya.

"Dia memang cantik sih." Nero seolah membenarkan ucapan Alton waktu itu.

"Aku sudah selesai, apakah aku boleh kembali ke kantor?" tanya Leah sesaat setelah menghambiskan makanannya.

"Kau lapar?" Nero melihat piring Leah yang kosong, tak ada satu makanan pun yang tersisa.

"Kata Ibu tidak boleh mubazir pada makanan, kau harus menghargainya walaupun makanan itu tidak enak sekali pun." Leah mengulangi apa yang pernah dikatakan oleh ibunya.

"Kan memang aku membayar makanan ini." Sikap Nero acuh, baginya jika makanan sudah dibayar maka dia bebas melakukan apapun.

"Jadi, aku sekarang bisa kembali ke kantor kan?" Leah mengulang pertanyannya. Karena sepertinya urusannya dengan Nero sudah selesai.

"Tidak, kita akan memilih gaun untukmu." Nero masih melanjutkan acara makannya.

"Cincin?" tanya Leah.

"Untuk apa?" Nero malah balik bertanya.

"Sebuah pernikahan tidak akan afdol jika tidak ada cincin. Kamu harus memakai cincin jika sudah menikah. Lihat ini, jari manisku kosong, berarti belum ada yang memiliki." Leah menunjukkan jari manisnya.

Tapi tidak bagi Nero, sama seperti cinta. Baginya cincin hanya sebuah simbolis. Tidak memakai juga tidak apa-apa.

"Ketika seseorang menikah dan memakai cincin pernikahan, lalu dia melepas cincin itu saat keluar rumah. Apa orang percaya jika dia mengatakan jika dia masih single?" tanya Nero, dia menatap Leah dengan sinis.

"Ya bisa percaya bisa tidak," jawab Leah.

"Memakai cincin mungkin bisa dikatakan jika dia sudah menikah, tetapi saat dia melepasnya dan mengatakan bahwa dia belum memiliki ikatan apapun maka semua orang akan percaya. Karena cincin bisa dilepas dan lidah bisa berbohong." Nero menjelaskan arti cincin pernikahan baginya, karena percuma jika jari terikat oleh cincin pernikahan tapi hatimu tidak terikat oleh pernikahan itu sendiri.

Wajah Leah bersemu merah mendengar penjelasan Nero. Benar apa yang dikatakan oleh pria di depannya ini. Banyak laki-laki bahkan perempuan di luar sana yang sudah menikah tapi menjebak dirinya sendiri masuk ke dalam lingkaran perselingkuhan.

"Tapi aku mau kita memakai cincin pernikahan," ujar Leah.

"Baiklah." Nero menghela nafas pelan. Bagaimana pun Leah akan membantunya mendapatkan hak atas perusahaan.

Leah tersenyum. Dilihatnya Nero dengan tatapan teduh membuat pria itu gelagapan.

Setelah acara makan siang selesai, Leah berjalan di belakang Nero, mengikuti sambil menatap bahu Nero yang lebar.

"Pasti berotot kan ya." Mata Leah seolah bisa menembus benda padat. Lalu dia menutup wajahnya karena malu dengan pikirannya sendiri. Dia tidak melihat Nero yang tiba-tiba berhenti. 

Bbbukk..

Leah menabrak punggung Nero, tapi pria itu tampak tidak peduli.

"Kenapa kamu tiba-tiba berhenti sih." Leah protes, dia memegang hidungnya yang terasa sakit.

"Itu punggung atau besi sih, kenapa hidungku berasa bengkok setelah menabraknya." Leah berbicara dalam hati.

"Kau yang jalan tidak lihat-lihat," kata Nero.

"Silahkan, Nona." Seorang pengawal mempersilahkan Leah masuk ke mobil. Tapi Leah tidak kunjung masuk karena dilihatnya Nero masuk ke dalam mobil lain.

"Kenapa dia tidak naik mobil yang sama," tanya Leah pada pengawal.

"Itu mobil khusus untuk Tuan Nero, Nona. Belum ada yang naik mobil itu tanpa izin dari Tuan Nero," jawab pengawal itu. 

Akhirnya Leah masuk ke dalam mobil sambil berpikir apa yang sebenarnya terjadi. Tak sampai sepuluh menit mobil itu tiba di depan sebuag galeri.

"Ternyata sedekat ini, kenapa tidak jalan kaki saja sih." Leah menggerutu dalam hati 

Dilihatnya Nero sudah masuk terlebih dahulu, meninggalkannya yang masih ada di dalam mobil.

"Sebenarnya dia itu serius menikah tidak sih."

Leah memasuki galeri yang sangat besar dan luas itu. Terlihat semua baju rancangan seorang desainer ternama berjajar rapi di sana.

"Silahkan , Tuan." Seorang pegawai mempersilahkan Nero masuk ke dalam sebuah ruangan khusus. Pria itu berdiri di depan pintu, diliriknya Leah yang bukannya mengikuti dia malah menatap galeri dengan tatapan takjub.

Tatapan tajam Nero seolah menusuk jantung Leah, hanya dengan tatapan mata itu Leah segera menghampiri Nero. 

"Semua sudah disiapkan, Tuan."

"Silahkan, Nona." Pegawai itu mempersilahkan Leah masuk ke dalam sebuah tirai berwarna maroon. Setelah masuk tirai itu di tutup oleh pegawai yang mengenakan seragam yang berbeda dengan seragam pegawai lainnya, mungkin dia atasannya di sini.

"Kenapa kalian masih di sini?" tanya Leah bingung.

"Kami akan membantu nona berganti pakaian," ucap pegawai itu.

"Tidak perlu, aku bisa sendiri." Leah menolak dengan keras.

Pegawai itu hanya tersenyum, "Tak perlu sungkan, Nona. Atau anda ingin Tuan Nero sendiri yang membantu anda."

"Eh, tidak. Enak saja. Bahkan mataku saja masih perawan tahu," ucap Leah yang diiringi gelak tawa dari dua pegawai itu.

Leah membuka pakaiannya, dan hanya menyisakan kaos dalam dan celana pendek. Pegawai tadi menyerahkan sebuah gaun berwarna putih gading. 

"Mari saya bantu, Nona." Pegawai tadi membantu menaiikan resleting.

"Terima kasih," ucap Leah.

"Tidak perlu sungkan, Nona."

"Gaun ini sangat cocok untuk anda," ucap pegawai itu memuji Leah. Leah menatap dirinya di cermin besar itu. Benar, dia terlihat sangat cantik, gaun panjang polos dan bervolume dari bagian pinggang ke bawah itu melekat indah di tubuhnya.

Setelah selesai, pegawai itu membuka tirai. Nero yang sudah berada di kursi dekat tirai tampak terpesona dengan Leah dengan balutan busana pengantin tapi dengan cepat dia mengubah ekpresinya. 

"Terlalu sederhana, ganti." Nero tidak mempedulikan wajah Leah yang masam.

Tak berselang lama tirai dibuka lagi, menampakkan Leah yang menggunakan gaun pengantin yang lebih megah bak princess di negeri dongeng.

"Hmm. Kau mau memakai itu di pesta nanti? Tidak berlebihan?" tanya Nero.

"Jadi maumu apa?"

"Yang tadi saja," perintah Nero, sebenarnya dia memang lebih menyukai gaun yang pertama.

Terlihat Leah mendengus kesal. Tapi entah kenapa dia menurut saja.

"Setelah ini kita ke mana?" tanya Leah.

"Cincin." Nero menghelan nafas pelan.

"Nero, kenapa harus pisah mobil sih?" Leah berteriak sesaat sebelum Nero masuk ke dalam mobil.

Nero hanya melirik Leah sekilas, "Gadis itu masih saja memanggilku nama."

Kali ini perjalanan tidak sesingkat tadi, mereka sudah tiba di sebuah toko perhiasan. Terlihat banyak sekali perhiasan berkilauan di sana. Pemandangan ini sangat indah di mata Leah.

"Ah, seandainya ibu ikut ke sini pasti sangat senang," gumamnya.

"Kenapa sepi sekali?" tanya Leah.

Nero tidak menjawab jika sebenarnya toko perhiasan ini adalah milik perusahaannya, tentu saja dia bisa kapan saja mengosongkannya kan.

"Tuan Nero." Seorang pria menyambut mereka. Pria itu juga terlihat menganggukan kepala pada Leah.

"Pilih yang mana yang kau mau." Nero melirik Leah sekilas.

"Ini semua berlian asli?" tanya Leah sambil berbisik.

Nero hanya menggelengkan kepala dan mengerutkan keningnya. Bagaimana mungkin seorang gadis yang dibawa ke toko perhiasan bukannya sibuk memilih ini dan itu, malah bertanya tentang keaslian dari perhiasan itu.

"Aku mau yang itu." Leah menunjuk cincin pasangan yang terlihat paling sederhana dibanding perhiasan yang lain. Cincin yang hanya ada satu mata berlian, tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil.

"Kenapa dia memilih yang paling murah." Nero melihat cincin yang ditunjuk Leah. Tapi dia menurutinya, karena ternyata selera mereka sama.

***

"Nyonya, tuan muda datang ke toko perhiasan bersama seorang gadis." Seseorang berbicara lewat sambungan telepon.

"Baik, Nyonya." Dia menutup telepon itu, lalu menyandarkan tubuhnya di kursi kemudi.

"Ah, melelahkan sekali." Pria itu menghela nafas berat.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status