Jam sudah menunjukan pukul dua siang lewat lima belas menit. Citra berjalan dengan cepat menyusuri lorong kampusnya dan menuju ke arah parkiran mobil. Dia tidak enak karena telah membuat Raka menunggu cukup lama.
Seharusnya jadwal kuliahnya sudah selesai satu jam yang lalu, namun tiba-tiba ia dipanggil oleh dosen pembimbing skripsi untuk membahas sejauh mana proses skripsinya telah berlangsung. Dan karena itu pula, Citra juga tidak bisa mengabari Raka karena tidak bisa membuka ponselnya di depan dosen. Pikirannya jadi kembali teringat betapa Raka semalam terlihat tidak suka, saat tidak diberi kabar. Mata Citra langsung melihat pada sedan hitam yang terparkir dan segera menghampirinya. Citra mengintip sedikit melalui kaca dan mendapati Raka berada di dalam mobil. Tangannya mengetuk pelan, membuat Raka akhirnya menoleh kepadanya dan membuka kunci mobil. “Maaf, aku terlambat, Mas, tadi ada bimbingan skripsi mendadak,” Citra mengucapkannya sesaat ketika membuka pintu mobil dan duduk. Raka tidak menjawab dan hanya memberikan selembar tissue untuk Citra. Gadis itu mengambilnya dan mengelap keringat di wajahnya. Kemudian Raka melajukan mobilnya, menuju rumah Bramantyo. Sesampainya di sana, Citra dan Raka langsung memasuki ruang tengah dan mendapati keluarga Arga telah hadir dan berkumpul. Citra menyadari raut wajah tidak senang dari semua orang yang ada di sana, terkecuali Kakek Bramantyo ketika melihat kehadirannya dan Raka. “Sungguh tidak sopan sekali, membuat orang yang lebih tua menunggu lama di pertemuan keluarga,” ibu Arga mendelik tidak senang. Sedangkan Nadya duduk dengan senyum penuh sinis di samping Arga, yang terlihat acuh tak acuh seperti biasanya. Bramantyo duduk di kursi utama dengan ekspresi serius, "Baiklah, karena semuanya sudah berkumpul. Ada hal penting yang ingin Kakek bahas," suaranya terdengar tenang namun penuh wibawa. Kakek Bramantyo lanjut bicara, "Pernikahan Nadya dan Arga akan segera dilangsungkan. Namun, Kakek ingin ini dilakukan secara diam-diam. Tanpa pesta mewah, tanpa publikasi." Tatapan Nadya langsung berubah masam, meskipun dia berusaha menutupinya. Dia selalu membayangkan pernikahan megah, yang lebih besar dan lebih mewah dari pernikahan Citra. Yang akan membuatnya dielukan banyak orang. Yang akan diliput oleh semua media di negara ini. Namun, rencana Kakek jelas merusak impiannya. "Tapi, Kek ..." Nadya membuka mulut, tapi Kakek langsung mengangkat tangannya, menandakan tidak ada diskusi lebih lanjut. "Keputusan Kakek sudah bulat. Ini demi kebaikan keluarga. Kita tidak perlu menjadi sorotan media atau membuat spekulasi orang luar. Terutama karena kamu sudah hamil lebih dulu!" Seakan sudah bisa membaca apa yang ada di otak Citra, Kakek Bramantyo pun berkata dengan tegas. Meskipun bagi Arga pernikahan ini hanyalah formalitas, karena sejak awal dirinya tidak pernah cinta pada Nadya, dan hanya tergoda pada tubuhnya saja. Bahkan kini Arga merasa kesal karena menganggap Nadya merusak rencananya untuk mengambil hati Kakek lewat Citra. Namun, jelas Arga juga merasa tidak puas mendengar keputusan Kakeknya. Dirinya adalah pewaris, bagaimana mungkin pernikahannya malah jauh lebih buruk dibandingkan pernikahan cucu terbuang. Arga mengepalkan kedua tangannya. Semakin merasa cemas, bahwa Raka akan semakin mengambil posisinya. Andi juga nampak tak puas, “Pa, bagaimanapun ini adalah pernikahan Arga. Tidak mungkin tidak dirayakan dengan megah.” Bramantyo menatap tajam Andi, “Apa kamu mau membiarkan Arga mempermalukan keluarga kita lagi?” Mendengar hal itu, tentu tak ada yang kembali berani membantah lagi keputusan yang telah dibuat oleh sang kepala keluarga. Karena semua keputusan itu berlaku mutlak. "Raka, ikut denganku." Setelah perbincangan singkat itu, Kakek memanggil Raka untuk berbicara di ruang kerjanya secara pribadi. Langkah Raka diikuti oleh tatapan penuh curiga dari orangtua Arga, terutama ayahnya yang tampak tidak senang dengan perlakuan istimewa yang diberikan kepada Raka. Dan, hal itu juga sontak semakin membuat Arga menjadi cemas dan bertanya-tanya apa yang ingin Kakeknya sampaikan pada Raka, sehingga mereka hanya berbicara berdua saja. "Ada apa ini? Kenapa Papa ingin berbicara berdua dengan Raka?" bisik ibu Arga kepada suaminya. "Aku juga tidak tahu, tapi jelas kita harus berhati-hati," jawab Andi yang kini mengalihkan perhatiannya pada Arga, “Jangan sampai melakukan kesalahan lagi, kalau kamu tidak mau digantikan oleh Raka, dengar?” Arga mengangguk mendengar ucapan tegas Ayahnya. ‘Akan aku buktikan bahwa Bang Raka selamanya hanya akan jadi cucu terbuang!’Citra merasa bosan menunggu Raka yang masih berbincang di ruang kerja bersama Kakek Bramantyo. Selain itu, dia juga tidak ingin berdekatan dengan Arga dan Nadya, sehingga ia langsung memisahkan diri dan lebih memilih untuk duduk di pinggir kolam renang yang ada di taman belakang. Saat sedang menikmati menonton film di layar ponselnya. Citra terkejut karena ponselnya ditarik dengan kasar dan dilempar begitu saja ke dalam kolam renang. Citra menoleh dan mendapati Nadya, pelakunya. “Apa yang kamu lakukan?” seru Citra merasa tak senang. Baginya Nadya semakin keterlaluan. Padahal bukankah Nadya sudah mendapatkan apa yang dia inginkan? Yaitu menikah dengan Arga. Lalu, apa lagi yang membuatnya bersikap seenaknya pada dirinya seperti ini? Nadya teringat pernikahan Citra dengan Raka, yang diselenggarakan dengan begitu mewah. Bahkan Kakek mengundang para teman pengusaha yang lain hingga cukup mendapatkan perhatian. Sehingga mendengar keputusan Kakek, Nadya merasa kesal, namun tak
“Tanyakan pada istrimu sendiri. Dia hampir saja mencelakai Nadya dan bayi di dalam kandungan Nadya,” nada tak senang begitu kentara dari suara Ibu Arga. Raka semakin menggenggam tangan Citra.Ada perasaan hangat yang tiba-tiba mengalir di hati Citra. Ia merasa seakan sedang dilindungi. Sebuah perasaan yang tidak pernah ia rasakan, semenjak ibunya meninggal dunia dan ayahnya menikah lagi. Raka menatap dengan dingin. "Aku tahu Citra tidak mungkin melakukan hal itu."Arga tertawa mengejek, “Tahu dari mana? Kalian saja baru saling mengenal. Citra melakukan itu karena dia masih mencintaiku, dan menyesal telah menikah denganmu.”Dalam sedetik tawa mengejek itu langsung terhenti begitu Arga menyadari Raka kini menatapnya tajam. Arga enggan mengakuinya, namun ia memang masih merasa takut dan terintimidasi oleh kakak sepupunya itu. Padahal Arga tahu, bahwa Raka kini bukanlah siapa-siapa, hanya saja dirinya tetap tak mau memancing amarah pria itu. Raka menghembuskan nafas kasar, “Minta pela
Pagi - pagi, Citra sudah sibuk menyiapkan sarapan seadanya sambil memikirkan jadwal kuliahnya yang padat. Saat dia memindahkan piring ke meja makan, tiba-tiba sebuah tangan diulurkan ke hadapannya. Tangan itu memegang sebuah dus berukuran sedang. Citra mendongak dan melihat ke arah Raka dengan raut wajah bingung. Sedangkan yang ditatap, masih saja menampakan wajah datar. Merasa Citra tak juga mengambil dus itu dari tangannya, Raka akhirnya berkata dengan singkat, “Ambil, ini untukmu.”Citra membulatkan mulutnya, membentuk kata ‘Ohh’ dan mengambil dus itu dari tangan Raka. Namun, ketika akhirnya tersadar, Citra membulatkan matanya, “I-ini kan handphone keluaran terbaru? Kenapa Mas memberikannya padaku?” “Bukankah ponselmu rusak?”Sejujurnya Citra tak menyangka bahwa Raka akan membelikannya ponsel baru, karena mengingat sikap pria itu semalam yang terlihat cuek begitu saja. Siapa sangka, Raka masih menaruh perhatian padanya. Namun, rasa khawatir kembali terbesit di pikirannya. Baga
Sesampainya di rumah, Citra hanya bisa terduduk lesu di ruang tengah. Tak lama kemudian, pintu depan terbuka, dan Raka masuk. Ia sempat terkejut begitu melihat Citra, "Citra? Kukira kamu akan pulang larut malam?" tanyanya dengan nada heran.Citra hanya menunduk, tidak mampu menjawab.Raka mendekat, merasakan ada sesuatu yang salah, "Kamu baik-baik saja?"Citra masih enggan berbicara. Dari sudut matanya, Raka dapat melihat bekas air mata di wajah Citra. Tapi, ia juga tak dapat memaksa gadis itu untuk bercerita padanya. Sehingga dengan nada lembut, Raka kembali berkata, “Malam ini tidak perlu memasak, aku akan membeli makanan dari luar.” Citra hanya merespon ucapan Raka dengan mengangguk kecil. Kemudian membiarkan Raka pergi meninggalkannya. Di kamar, Raka segera mengeluarkan ponsel dan menghubungi seseorang. “Bantu cari tahu apa yang terjadi di Kafe Scarlett siang tadi,” Raka segera memerintah setelah panggilan tersambung dan mematikan sambungan itu. Malam itu, Citra bahkan tak
Sepeninggalan Nadya dan Arga, Citra akhirnya bisa menghembuskan nafas lega. Ia melirik pada Raka yang masih terdiam di sampingnya, dan kemudian memutuskan untuk bertanya darimana Raka mengetahui kejadian ini, “Mas tahu dari mana jika ponselku diambil Nadya?” “Aku menghubungi ponselmu, tapi Nadya yang menjawab. Kemudian aku memintanya untuk bertemu.” Citra mengernyitkan keningnya, masih merasa heran, “Lalu?” Bukannya Raka yang kembali menjawab, melainkan manajer Citra, “Citra maaf karena kemarin langsung memecatmu tanpa melihat bukti lebih dulu. Ini sebuah kebodohan, maafkan saya Citra.” Melihat manajernya membungkukan badan pada Citra, tentu dia merasa tak tega. Karena sejak awal dia pun juga tak menyalahkan manajernya. Di saat terdesak seperti kemarin, mereka bahkan tak memikirkan mengenai soal rekaman. “Gapapa, Pak. Saya paham,” mendengar Citra berkata begitu, Pak manajer baru mengangkat kepalanya lagi dan tersenyum lega. “Untungnya tadi malam, ada seseorang yang menghubu
Citra menutup telepon dengan raut wajah bahagia. Dia tak bisa menyembunyikan rasa senangnya atas kabar baik itu. Ketika kembali duduk di meja makan, Raka sudah menunggu dengan tatapan penuh tanya. "Siapa yang telepon?" tanya Raka sambil memotong potongan daging di piringnya. Citra tersenyum lebar. "Aku baru saja diundang untuk interview di kafe. Padahal aku nggak merasa pernah melamar di sana." Raka terdiam sejenak, lalu tersenyum kecil. "Oh ya? Kafe yang mana?" "Kafe di daerah pusat kota. Kata mereka, mereka tertarik untuk menjadikanku asisten chef pastry. Bayangkan, bukan pelayan atau barista, tapi asisten chef!" Citra tertawa kecil, masih terheran-heran dengan kesempatan yang tiba-tiba ini. "Tapi ... aku heran, kok bisa ya mereka tahu nomorku?" Raka hanya mengangguk pelan. "Mungkin mereka dapat rekomendasi dari seseorang. Siapa tahu?" Citra menatapnya curiga, tapi memutuskan untuk tidak memperpanjang kecurigaan itu. Dia terlalu senang dengan kesempatan baru ini untuk memikir
Citra menyambut Kakek Bramantyo dengan senyum ramah ketika ia masuk ke dalam rumah. Meski dalam hatinya ada kegelisahan yang tak terungkap, karena khawatir Kakek akan mengetahui bahwa selama ini dirinya dan Raka tidur pisah kamar. Namun, Citra tetap berusaha menampakkan wajah tenang di hadapan sang kakek. Raka berjalan di belakangnya dengan langkah santai, sementara Kakek Bramantyo menatap mereka berdua dengan tatapan hangat penuh kebahagiaan. "Silakan duduk, Kek," kata Citra sambil mempersilahkannya menuju sofa di ruang tamu. "Mau minum apa, Kek? Teh, kopi, atau air putih?" "Teh hangat saja, Cit," jawab Kakek Bramantyo sambil duduk dengan tenang. "Aku hanya ingin berbincang dengan kalian." Citra tersenyum kecil dan berjalan menuju dapur untuk menyiapkan teh. Di sana, ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri dari kegugupannya. Setelah menyiapkan teh, Citra kembali ke ruang tamu dengan nampan di tangannya. Ia menaruh cangkir teh di hadapan Kakek Bramantyo yang lan
"Mengapa barang - barang Raka ada di kamar tamu?" Pertanyaan dari Kakek Bramantyo itu membuat Citra kaget. Seperti pencuri yang tertangkap basah."M-Mas Raka hanya ... Karena kamar kami terlalu sempit, akhirnya sebagian barang ditaruh disini, Kek." Dengan gugup Citra pun memberikan alasan.Kakek hanya tersenyum penuh pengertian dan tidak bertanya lebih lanjut.Citra menghela nafas lega setelah mereka selesai merapikan tempat tidur Kakek, dan kini Kakek telah tertidur pulas. Namun, kegelisahannya belum sepenuhnya hilang, karena kini, ia berada di kamar yang sama dengan Raka. Meskipun mereka sudah menikah, tidur bersama di tempat yang sama bukanlah hal biasa bagi Citra. Dari kamar mandi terdengar suara air mengalir. Raka sedang mandi, dan suara gemericik air itu membuat Citra semakin gugup. Ia mencoba untuk tetap tenang, tetapi pikirannya terus melayang pada kata-kata usil kakek tadi sore."Kakek kalau tidur nyenyak banget. Jadi kalian nggak usah khawatir, mau ngapain aja di kamar, Ka
"Apa benar ini rumah sakitnya, Mas?" Citra bertanya dengan nada tak sabar. Mereka berdiri di depan sebuah bangunan tua yang sederhana, dindingnya memudar dimakan waktu.Raka mengangguk sambil memeriksa alamat di ponselnya. "Iya, ini alamat yang dikasih Pak Budi. Kita langsung masuk saja."Mereka berdua melangkah ke dalam rumah sakit kecil itu. Suasana sepi menyelimuti ruangan, hanya terdengar suara langkah kaki mereka di lantai ubin yang sedikit retak. Di meja resepsionis, seorang wanita paruh baya dengan seragam perawat sedang membaca buku."Selamat siang, Bu," Raka membuka percakapan dengan sopan. "Kami sedang mencari informasi tentang seseorang yang pernah dirawat di sini."Wanita itu mengangkat kepalanya, menatap mereka dengan penuh selidik. "Siapa namanya?" tanyanya."Nadya," jawab Citra cepat. "Dia mungkin dirawat di sini beberapa minggu lalu. Apa Ibu mengenalnya?"Perawat itu mengernyit, lalu tampak berpikir sejenak. "Nadya... ya, saya ingat. Perempuan muda itu. Dia memang pern
"Mas, aku nggak bisa diam saja," Citra memulai, suaranya penuh kegelisahan. Mereka duduk di ruang tamu rumah, dengan suasana yang berat menggantung di antara mereka. "Sudah terlalu lama Nadya nggak ada kabar. Aku nggak tenang kalau dia terus menghilang begini."Raka memijat pelipisnya, mencoba menahan rasa frustrasi yang sudah mulai muncul. "Citra, kamu sedang hamil besar. Kamu nggak bisa terlalu memaksakan diri. Lagipula, siapa tahu Nadya memang ingin menjauh untuk sementara waktu.""Jadi menurutmu aku harus diam saja? Aku harus pura-pura nggak peduli?" Citra menatap Raka dengan penuh rasa putus asa. "Nadya itu kakakku, Mas. Aku tahu kita punya masalah, tapi dia tetap keluarga."Raka menghela napas panjang, menatap istrinya yang terlihat begitu serius. "Aku nggak bilang kamu harus pura-pura nggak peduli. Tapi kamu harus berpikir realistis. Kalau kita mencari dia sekarang, apa itu nggak malah bikin masalah baru? Apalagi kalau benar dia pergi karena ingin menghindar."Citra menggenggam
"Ayah, aku butuh penjelasan," suara Citra terdengar tegas, memecah keheningan pagi itu. Mereka duduk di ruang tamu kecil rumah Ahmad, suasananya penuh ketegangan.Ahmad menghela napas panjang, tangannya yang keriput menggenggam cangkir kopi hangat yang sejak tadi tidak disentuh. "Citra, Ayah tahu kamu pasti terluka dengan apa yang dikatakan Anita semalam. Tapi percayalah, Ayah nggak pernah berniat menyakiti keluarga kita. Ayah hanya...""Hanya apa, Ayah?" Citra memotong, nadanya tajam. Matanya berkaca-kaca. "Benarkah Ayah lebih memprioritaskan orang lain daripada Ibu? Itu yang Ibu rasakan sampai akhirnya dia sakit, sampai semuanya berantakan?"Raka, yang duduk di samping Citra, menepuk punggungnya pelan, mencoba menenangkan. Namun, Citra tidak memperhatikan, pandangannya tetap terfokus pada Ahmad.Ahmad meletakkan cangkirnya di meja. Wajahnya terlihat semakin lelah. "Ibu kamu adalah wanita yang kuat, Citra. Tapi dia punya sisi rapuh yang kadang Ayah nggak pahami. Saat Anita datang, Ay
"Ibu!" suara Citra menggema di ruang tamu yang sudah tegang sejak mereka tiba. "Aku nggak bisa diam begitu saja setelah apa yang Ibu katakan tadi. Jelaskan sekarang! Apa maksud Ibu dengan semua tuduhan itu tentang ibu kandungku?"Anita, yang sedang menuang teh ke cangkir, berhenti sejenak. Ia menatap Citra dengan tatapan dingin, lalu meletakkan teko perlahan. "Kamu benar-benar ingin tahu, Citra? Aku rasa kamu nggak akan suka jawabannya.""Aku nggak peduli! Aku berhak tahu!" Citra membalas dengan nada penuh emosi.Ahmad, yang duduk di kursi seberang, mencoba meredakan suasana. "Sudahlah, Anita. Ini bukan waktunya membahas hal-hal seperti ini."Namun Anita hanya mendengus kesal. "Diam, Mas. Ini saatnya kebenaran keluar. Selama ini kamu selalu berlindung di balik kesopananmu, tapi semua ini terjadi karena keputusan bodohmu sendiri."Ahmad menghela napas panjang, wajahnya terlihat penuh penyesalan. Sementara itu, Citra menatap mereka bergantian, hatinya terasa berat."Dulu, aku nggak puny
"Mas, aku nggak tenang," suara Citra terdengar lirih saat ia duduk di sofa, tangannya memegang perutnya yang semakin membesar. "Nadya nggak kasih kabar sama sekali. Aku nggak tahu dia di mana atau gimana keadaannya."Raka meletakkan koran yang sejak tadi ia baca, menatap istrinya dengan penuh perhatian. "Citra, kamu harus fokus sama kesehatanmu dan bayi kita. Jangan terlalu stres.""Aku nggak bisa," Citra membalas cepat. "Dia saudara aku, Mas. Kalau aku diam saja, aku nggak tahu apa yang mungkin terjadi padanya. Aku harus cari dia."Raka menghela napas panjang, mengusap wajahnya. "Kamu ini keras kepala, ya. Kamu tahu nggak kalau sekarang prioritas kamu itu diri kamu sendiri dan bayi ini? Nadya itu sudah dewasa, dia tahu apa yang dia lakukan.""Itu masalahnya, Mas!" Citra menaikkan nada suaranya sedikit. "Nadya bukan tipe orang yang diam saja kalau ada masalah. Dia pasti sedang dalam kondisi buruk kalau sampai menghilang seperti ini. Aku mohon, temani aku cari dia."Raka terdiam, melih
"Bu, apa saya boleh ngutang dulu beli nasi? Uangnya lagi nggak cukup," suara Nadya terdengar pelan di depan warung kecil.Pemilik warung, seorang ibu tua, memandang Nadya dengan iba. "Ya ampun, Nadya, jangan sungkan. Ambil aja dulu. Bayar kapan-kapan nggak apa-apa."Nadya tersenyum tipis. "Makasih ya, Bu. Saya beneran nggak tahu kapan bisa bayar, tapi saya janji nggak akan lupa."Setelah mengambil sekotak nasi kecil, Nadya melangkah lemah menuju jalan setapak yang menuju kontrakannya. Tubuhnya terasa lemas, dan kepalanya mulai terasa ringan. Langit sore yang mulai memerah semakin membuat matanya sulit fokus.Dia mencoba mengatur napas. "Sedikit lagi, Nadya. Kamu pasti bisa sampai," bisiknya pada dirinya sendiri.Namun, langkahnya semakin berat. Tiba-tiba, pandangannya menjadi gelap, dan tubuhnya kehilangan keseimbangan.*"Nadya! Hey Nadya!"Fajar berjongkok di samping tubuh Nadya yang tergeletak di pinggir jalan. Wajahnya panik, tidak yakin apa yang harus dilakukan. Ia segera memerik
"Kamu masih mau membelanya, Mas? Setelah semua ini?" suara Anita memecah keheningan di ruang makan kecil itu. Nada suaranya tajam, penuh dengan kemarahan yang sulit disembunyikan.Ahmad meletakkan cangkir tehnya dengan perlahan, mencoba menjaga ketenangan meskipun wajahnya menunjukkan kelelahan. "Anita, aku hanya mencoba melihat ini dari sudut pandang yang lebih adil. Nadya sudah cukup menderita. Apa salahnya kita beri dia sedikit ruang untuk memperbaiki semuanya?"Anita tertawa pendek, hampir sinis. "Adil? Kamu benar-benar berpikir dia pantas mendapatkan keadilan setelah apa yang dia lakukan? Dia bahkan menghancurkan hubungan dengan keluarga Bramantyo."Ahmad menggeleng, mencoba tetap tenang. "Dia butuh bantuan, Anita. Apa salahnya kalau kita mencoba membantu? Bagaimanapun juga, dia anak kita."Anita memutar matanya dengan kesal. "Bagian keluarga? Jangan mulai, Mas. Dia sudah kehilangan hak itu sejak dia nggak mau menuruti perintahku. Dan jujur saja, aku muak melihat kamu terus-terus
“Kenapa kamu terus-terusan bersikap seperti itu, Mas? Bukankah Nadya sudah minta maaf?” Citra duduk di sofa ruang tamu, tatapannya lurus ke arah suaminya yang tengah menyandarkan tubuhnya di kursi berlapis kain cokelat.Raka mendesah pelan, tetapi sorot matanya tajam. “Minta maaf? Citra, kamu benar-benar percaya permintaan maaf itu tulus? Kamu lupa apa saja yang dia lakukan selama ini?”Citra menggeleng lemah. “Aku tahu apa yang dia lakukan dulu, tapi kali ini... Aku benar-benar merasa dia tulus. Orang bisa berubah, Mas.”Raka terkekeh sarkastik, lalu bangkit dari kursinya dan berjalan ke arah jendela. “Berubah? Orang seperti Nadya nggak akan pernah berubah. Dia cuma pintar memainkan perasaan orang. Sekarang dia datang dengan wajah sedih, bilang ‘maaf’, dan kamu langsung percaya?”Citra berdiri, mencoba mendekati Raka. “Bukan masalah percaya atau tidak, tapi aku yakin dia benar-benar menyesal. Kamu lihat sendiri, kan, dia nggak seperti Nadya yang dulu. Bahkan dia sampai kehilangan seg
"Bu, tolong angkat telepon ini... aku tidak punya tempat lain untuk pergi," suara Nadya terdengar parau, hampir tertelan isak tangisnya. Ponsel di tangannya terus berdering tanpa jawaban. Untuk keempat kalinya ia mencoba, tetapi hasilnya tetap sama. Nadya memandang layar ponselnya yang redup, lalu dengan berat hati ia menyelipkannya kembali ke tas kecil yang sudah usang.Ia berdiri di depan rumah sakit dengan tubuh lemah, menggigit bibir untuk menahan tangis yang semakin mendesak keluar. Angin malam yang dingin menusuk kulitnya, namun lebih menusuk lagi rasa kehilangan yang kini memenuhi dadanya.“Harus ke mana aku sekarang?” Nadya bergumam pada dirinya sendiri, suaranya hampir seperti bisikan. Ia mulai melangkah, tanpa arah, hanya mengikuti trotoar panjang yang dihiasi lampu jalan yang suram.Langkah kakinya membawanya ke sebuah taman kecil. Di sana, ia melihat sekelompok ibu-ibu yang tengah duduk bercengkerama di bangku taman. Nadya mengenali beberapa wajah mereka—orang-orang yang d