Share

3. Nikah kontrak

"Apalagi ini? Setelah menjebakku, dan hampir membuatku gila. Ternyata dia hanya menangis disitu? Hais… Drama Queen."

Suara isakan yang ada di balik tanaman dekat kolam renang, dan sempat menarik perhatian Dewa. Rupanya suara pemilik rumah yang sedang patah hati. Tika yang duduk meringkuk di atas kursi dan menghadap dinding tidak mengetahui jika ada sepasang mata memergoki dirinya.

Sempat tergesa-gesa tidak sabar ingin segera mendekat, mendadak Dewa mematung di tempat. Tidak tahu kenapa, suara isakan Tika bisa sampai menyentuh dinding hatinya. Mungkinkan simpati itu muncul bersamaan meredanya kekesalan yang beberapa saat lalu masih menggebu-gebu?

'Emang boleh sesedih ini?'

Mendesak nafas sekali, Dewa memilih memperhatikan Tika dalam diam. Membiarkan perempuan itu meluapkan kesedihan yang sepertinya cukup dalam.

'Aku bahkan percaya dia bisa mendapatkan laki-laki yang lebih baik dari Roland. Kenapa harus buang-buang waktu dengan menangis seperti ini.'

Sudah hampir tiga puluh menit berlalu, Dewa masih setia menunggu—menatap penuh arti punggung Tika yang masih saja bergetar.

'Apa dia tidak lelah? Berapa banyak lagi tisu yang akan dihabiskan? Benar-benar merepotkan.'

Namun, kendati demikian Dewa tidak berniat untuk pergi. Ia justru bersandar pada tanaman lain berbatang kuat serta berukuran lebih tinggi dari yang lain, sambil melipat tangan di dada. Stok kesabarannya masih cukup untuk menunggu, mungkin sampai satu jam ke depan. 

Sekarang yang melintas di benaknya, Dewa seperti tidak percaya sosok yang sejak tadi diperhatikan masih perempuan yang sama beberapa saat lalu, dan nyaris membuatnya naik darah. 

"Tapi jika tetap dibiarkan seperti ini. Tumpukan tisu akan semakin menggunung, dan bisa dipastikan orang yang melihat bisa salah paham." 

Setelah memastikan sekitar masih sepi, perlahan Dewa mulai mendekati Tika.

"Kenapa menangis di sini? Sengaja biar saya tidak bisa melihatnya?"

Tika yang terkejut ada suara di belakangnya, seketika menoleh. Ia lebih terkejut lagi ternyata itu Dewa.

"Sebenarnya saya tidak suka ada orang melihat saya saat seperti ini. Duduklah." Tidak menunggu perintah dua kali, Dewa segera duduk di depan Tika. 

"Maaf. Saya lupa masih ada Abang di sini."

"Tidak masalah. Anggap saja saya lalat atau nyamuk. Itu jauh lebih berarti."

"Bukan seperti itu, saya—"

"---sudahlah. Saya hanya bergurau jangan dianggap serius." Melihat Tika bisa melengkungkan senyum meski itu jelas sangat dipaksakan, Dewa memposisikan diri duduk dengan nyaman—menumpu satu kaki di atas kaki yang lain. "Jadi karena dia Mbak meminta saya menjadi lelaki sewaan?"

Dewa sudah bisa jauh lebih tenang. Ternyata dengan menunggu, memberi dampak positif pada dirinya sendiri. Sekarang tidak ada lagi kekesalan atau bahkan amarah dalam dirinya, hilang begitu saja. Sesuatu yang sebenarnya Dewa sendiri tidak ketahui kenapa bisa demikian. 

Untuk pertama kali ia bisa menahan diri hingga berulang-ulang, pun masih dengan perempuan yang sama. Ia yang memiliki kesabaran setipis tisu, tak jarang langsung meluapkan kekesalannya pada apapun dan siapapun. Namun bersama Tika, Dewa tak ubahnya kerbau yang begitu mudah dijinakkan. 

Ada apa sebenarnya?

"Saya lelah, Bang. Lelah dihujat banyak orang karena dianggap orang ketiga dalam rumah tangga Roland," ujar Tika tiba-tiba, dan tentu saja berhasil menyentak serta menarik perhatian Dewa. "Selama ini saya terlalu percaya diri. Menganggap cukup dengan menutup mata serta telinga, dan mengabaikan apapun yang orang lain katakan. Saya akan tetap baik-baik saja. Tetapi ternyata saya salah."

Mengetahui Tika akan kembali mencurahkan isi hatinya, Dewa memilih diam menyimak. Sesuatu yang kembali membuatnya heran. Sejak kapan ia peduli dengan urusan orang lain, terlebih itu Tika—perempuan yang baru dikenal bahkan belum genap satu hari.

"Saya semakin terpuruk setelah sadar, Roland tidak benar-benar mencintai saya. Dia hanya butuh kekuasaan, dan hanya menjadikan saya pijakan untuk mendapatkan mangsa yang lebih besar." 

Menatap dalam manik Tika yang kembali meneteskan cairan bening, tidak tahu kenapa memunculkan rasa yang lain di hati Dewa, selain simpati. Detik berikutnya, Dewa buru-buru berpaling ke kolam ikan koi. Tidak ingin rasa asing itu semakin mempengaruhi dirinya.

"Lantas, apa yang Mbak inginkan sekarang? Tentunya setelah menyeret saya masuk ke dalam masalah Mbak."

"Saya hanya ingin hidup dengan tenang." 

Helaan nafas panjang Tika mampu menarik kembali pandangan Dewa. Sialnya, melihat wajah sembab perempuan itu dari samping, kekaguman Dewa kembali muncul. Tika memiliki kecantikan spek bidadari, atau memang dialah sang bidadari yang kehilangan selendangnya dahulu kala? Sedangkan Dewa yang memang dasarnya playboy, dengan mudah langsung terpikat.

'Bodohnya Roland bisa menyia-nyiakan perempuan secantik ini.'

"Mbak bisa mendapatkan apa yang Mbak inginkan. Syaratnya bersihkan dulu nama Mbak dan jelaskan pada mereka kedekatan yang selama ini terjadi antara Mbak dengan Roland hanya sebatas rekan kerja. Bukan seperti yang selama ini publik tuduhkan."

"Tidak semudah itu. Kecuali jika saya sudah memiliki hubungan atau bahkan menikah dengan lelaki lain."

"Kenapa begitu?"

"Beberapa bulan lalu, saat saya memutuskan untuk mengakhiri hubungan dengan Roland. Saya sempat memberi statement jika saya memiliki seseorang yang berharga dalam hidup saya. Tapi bukan Roland." 

Menggaruk kepala yang tiba-tiba gatal, Dewa ikut pusing memikirkan permasalahan Tika, ternyata tidak sesederhana yang dibayangkan. Selain itu, sekarang Dewa juga paham, kenapa Tika begitu bersikeras memintanya menjadi lelaki sewaan di depan Roland.

'Tapi yang lebih pantas dikasihani adalah diriku sendiri. Kenapa tidak mencari tahu dulu kemarin sebelum menerima tawaran Inez, dan akhirnya membuatku terjebak.'

"Diusia saya yang terbilang sudah sangat cukup untuk menikah. Tapi tak kunjung memiliki pasangan halal. Menguatkan alibi mereka, dengan menganggap saya penghancur rumah tangga Roland. Walaupun sebenarnya yang terjadi, sumpah demi apapun. Saya sendiri belum lama mengetahui jika Roland dan istrinya belum sah bercerai. Jujur. Saya sangat menyesal sudah mempercayai mulut manis laki-laki itu pada saat mendekati saya, dulu."

Dewa mendadak gusar, merasa sesuatu akan terjadi, dan yang pasti merugikan dirinya.

'Tolong. Siapapun. Bukakan pintu rahasia yang bisa membawaku ke tempat lain. Aku harus pergi sekarang. Sebelum dia membuatku berada di posisi yang semakin sulit.'

"Boleh saya bertanya sesuatu?" 

Deg!!

Pertanyaan tiba-tiba Tika menyentak punggung Dewa. Ia yang biasanya selalu mendominasi, kini terlihat sangat bodoh dengan menelan saliva usaha payah. Sebesar itukah pengaruh Tika pada dirinya?

"Apa yang ingin Mbak ketahui dari saya?" jawab Dewa setelah berhasil menguasai diri.

Sialnya, Tika yang tidak langsung menjawab, membuat Dewa berubah waspada. Meyakini pertanyaan perempun itu pasti sesuatu yang tidak mudah untuk dijawab.

"Apakah Abang masih sendiri?"

Glek!

Dewa seketika mendesak nafas kasar. Persetan jika Tika bisa mendengarnya. Yang pasti ia ingin berteriak sekeras mungkin.

'Brengsek! Rasanya aku ingin menceburkan diri ke dalam kolam saja. Aku tahu apa yang dia inginkan dari pertanyaan itu.'

"Saya masih sendiri." Kendati sudah bisa menebak, tapi Dewa tetap menjawab.

Dan, begitu menangkap Tika melengkungkan senyum samar, Dewa mendengus dalam hati.

"Bagaimana kalau kita menikah kontrak?"

"Apa!!!"

"Iya, menikah kontrak."

"Ini gula! Eh, gila!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status