Share

2. Kenapa datang?

"Mau apalagi kau datang?!" Tika berucap dingin begitu pintu pagar dibuka, dan mengetahui siapa yang berdiri di hadapannya. "Jika kedatanganmu berhubungan dengan pekerjaan, kita bicarakan besok di kantor. Tentunya pada jam kerja." 

"Kenapa kau tidak pernah memberiku kesempatan untuk menjelaskan yang sebenarnya, Tika. Apa yang terjadi tidak seperti yang terlihat semua orang," terangnya dengan nafas terengah. "Percayalah padaku."

Tika segera menyembunyikan tangan ke belakang punggung, mengetahui Roland berniat akan meraihnya. 

"Tidak ada yang perlu dijelaskan lagi. Kau telah berbohong. Itu faktanya."

"Itu tidak benar. Semua hanya kamuflase. Kami tetap menjalani hidup masing-masing, baik dulu maupun sekarang."

Alih-alih percaya, lewat desakan nafas panjang yang baru saja lolos, Tika sama sekali tidak peduli dengan apa yang Roland jelaskan. Wajah malasnya seakan meminta lelaki itu segera pergi. Bahkan bila perlu sejauh mungkin dari hidupnya.

"Aku sudah memutuskan apa yang menurutku benar. Hubungan kita tidak layak diperjuangkan lagi. Kedepannya kita hanya partner. Bukan lagi dua orang dewasa yang pernah menjalin hubungan terlarang," tegas Tika memberi ultimatum.

Roland berubah gusar dengan meremas rambut atas. "Tapi aku masih ingin kita seperti dulu, Tika. Kau bahkan tahu seberapa dalam perasaanku terhadapmu.

Tatapan Tika masih sedingin Antartika, dan itu sesuatu yang baru pertama kali Roland temui.  

Kegusaran Roland tidak akan menyurutkan tekad Tika untuk tetap pada keputusannya. Semua harus segera dihentikan, sebelum pandangan luar semakin menguliti dirinya hingga tak tersisa.

"Sudah berulang kali aku katakan padamu. Pernikahan kami hanya kesepakatan bisnis. Tidak ada cinta, ataupun komitmen di dalamnya. Kami juga sudah sepakat untuk berpisah setelah aku berhasil menyakinkan Mr. Logan."

Mendengar penjelasan Roland, Tika mendesak alis tinggi, berusaha menghalau rasa sesak yang tiba-tiba menyusup hati. Ternyata Roland tidak pernah peduli dengan apa yang ia rasakan. Lelaki itu tetap memaksakan kehendaknya. Lantas, apakah itu yang disebut CINTA? 

Bukankah cinta lebih mementingkan perasaan orang yang dicintai, daripada kepentingan pribadi?

Dan, memilih melepaskan setelah sadar cintanya menyakiti?

"Ada apa ini? Sayang… kau baik-baik saja? Hei.. lihat aku, kenapa menangis, hm?" 

Setelah muncul dengan penuh percaya diri, Dewa langsung memeluk Tika erat di hadapan Roland yang seketika menajamkan mata. Terlihat jelas lelaki itu tengah menahan kesal. Tapi Dewa mengabaikannya dengan semakin posesif merangkul Tika. Sesuatu yang sebenarnya sangat ingin ia lakukan sejak tadi.

"Apa terjadi sesuatu? Kenapa tamumu tidak dipersilahkan masuk?"

Dewa benar-benar totalitas, menunjukkan sikap manisnya di depan Roland, sesuai keinginan Tika.

"Aku akan baik-baik saja jika kau tetap bersamaku."

"Oh ya Tuhan... aku bahkan ragu bisa jauh darimu meski itu hanya sedetik, Sayang." Sambil meninggalkan kecupan singkat di puncak kepala Tika, Dewa mengulas senyum licik mengetahui wajah Roland sudah merah padam. Ia tahu semarah apa lelaki itu sekarang.

"Siapa dia?!" Muak dengan kemesraan yang sengaja dipamerkan di depan mata, Roland bertanya dengan lantang----tidak sabaran. "Jawab Tika! Siapa dia dan kenapa ada di rumahmu sepagi ini? Apa yang sudah kalian lakukan, hah!" 

Kemarahan Roland memuncak begitu paham rambut panjang Dewa dalam keadaan setengah basah, pun dengan pakaian santai yang pemuda itu kenakan. Hanya lelaki bodoh yang tidak bisa mengartikan situasi apa yang sudah terjadi di rumah Tika sebelum dirinya datang.

"Jadi seperti ini hubungan yang kau inginkan? Tinggal bersama agar bisa melakukan banyak hal, iya?!"

Plakkk!!!

Sontak, Roland mengeraskan rahang dengan kepala masih menoleh ke samping. Ia juga sampai mematung sepersekian detik.  Meyakinkan diri bahwa Tika benar-benar telah menamparnya.

"Pergi!" ucap Tika dingin dengan cairan bening sudah membanjiri pipi. 

Ternyata Tika sendiri cukup terkejut bisa sampai meninggalkan bekas merah di pipi Roland. Tamparan itu sangat keras. Naasnya, menyakiti lelaki yang dicintai, seakan ia juga merasakan sakit yang sama.

"Apa salahnya jika aku tinggal bersama suamiku? Apa hakmu menghakimi kami." Tika mengusap kasar pipinya yang basah. "Sekarang kau sudah tahu alasan kita tidak mungkin lagi bersama, bukan? Lantas, untuk apa kau masih di sini!"

"Cih! Suami?" Roland dengan cepat menyangkal. Di sertai tatapan remeh ia beralih pada Dewa. "Hei anak muda, berapa dia membayarmu? Apakah itu seharga rumah mewah? Atau mobil keluaran terbaru?"

Dewa yang sebelumnya hanya diam menyaksikan, seketika terhenyak. Lebih lagi dengan tuduhan yang Roland lontarkan.

"Aku akan memberimu dua kali lipat, asal kau tinggalkan Tika saat ini juga." 

Kendati mulutnya masih tertutup rapat, tetapi kepalan tangan Dewa sudah terangkat hendak menghantam wajah Roland, sampai tiba-tiba Tika menahannya.

"Tidak ada gunanya kita meladeni mulut kotornya, Sayang. Biarkan saja dia berspekulasi seperti apa yang diinginakn. Kita hanya perlu menunjukan pada dunia jika rumah tangga kita bukanlah rekayasa."

Namun, bukannya tenang yang ada bola mata Dewa seakan keluar dari cangkangnya. Kali ini tidak hanya marah, Dewa juga merasa sangat bodoh sudah mau menuruti permintaan Tika. Perempuan itu sudah melampaui batas kesepakatan. Tidak hanya berani menyebut dirinya suami, Tika juga mengatakan sesuatu yang tidak masuk akal. 

'Sialan. Jadi ini rencananya. Licik!'  

Detik berikutnya Roland pergi tanpa meninggalkan sepatah kata. Tidak lama disusul Tika yang juga langsung masuk ke dalam rumah. Menyisakan Dewa yang lagi-lagi hanya bisa menahan kemarahan atas apa yang terjadi. Cerdik. Rupanya Tika sudah mengatur semuanya sejak awal saat tahu Roland akan datang, dan menjerat Dewa agar masuk ke dalam permasalahannya yang pelik.

"Cih! Tika sialan. Tak kusangka dia bisa selicik itu. Dan sekarang, mustahil Roland tidak mengejarku setelah apa yang terjadi hari ini. Pes, apes. Tau begini jadinya, aku ambil saja uangnya tadi. Biar sekalian bisa menutup mulut Clara."

****

Dewa masih celingukan berusaha mencari keberadaan Tika. Sayangnya, sejauh mata mengitari setiap sudut ruang tengah, tetap tidak menemukan keberadaan perempuan itu. "Dimana dia? Mungkinkah rumah ini ada pintu rahasia menuju dimensi lain?"    

Merasa masih ada yang perlu diluruskan, Dewa memilih menunggu Tika. Tapi naasnya, sudah hampir satu jam menunggu, Tika tak juga muncul. Kemana sebenarnya perempuan itu bersembunyi?

Tidak sabar hanya menunggu seperti orang bodoh, Dewa menyakinkan diri untuk memastikan beberapa tempat di lantai satu, termasuk dapur. Entah kemana perginya bibi yang tadi sempat menyuguhkan minuman untuknya. Karena ketika ia berkeliling, rumah dalam keadaan benar-benar sepi, seperti tak berpenghuni.

"Seharusnya aku yang marah dengan dia menyebutku suami. Bukan malah dia yang melakukan ini padaku," ujarnya bermonolog ketika tidak menemukan Tika dimanapun.

Namun, tiba-tiba saja langkah Dewa terhenti saat melewati pintu kaca yang terbuka lebar, dan ternyata mengarah ke halaman samping. Kendati tidak menjamin apakah Tika ada di sana, setidaknya Dewa tetap harus memastikan. Ia sudah tidak sabar ingin membuat perhitungan dengan perempuan licik itu.

"Rupanya di sini juga tidak ada. Ck. Dimana dia sebenarnya?" Dewa semakin jauh meninggalkan pintu kaca. "Astaga! Kenapa tiba-tiba aku jadi khawatir begini?" 

Dewa masih melihat-lihat sekitar. Karena tidak berhati-hati, ia beberapa kali nyaris terjatuh. Terlalu banyak menahan kekesalan atas kelicikan Tika. Terlebih mulai muncul kecemasan setelah tidak juga menemukan perempuan itu, Dewa kurang memperhatikan jalan yang akan dipijak. Alhasil, ia sering tergelincir lantai setapak yang membelah rerumputan taman. Sampai akhirnya ia yang terkejut, seketika menoleh ke samping.

"Oh shit! Ini tidak mungkin!" 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status