Share

Bab 6

"Hei, jadi ini kendaraanmu? Apa ini masih bisa jalan?"

Di parkiran itu, motor Zaki paling jadul dan paling jelek, sebuah motor merk Legenda yang sudah begitu tua, mungkin usia motor itu lebih tua dari usianya.

Lelaki itu mengeluarkan motornya dari parkiran, mengengkol dengan kaki kanannya berulang-ulang, tetapi mesin motor itu belum menyala juga. Lelaki itu turun dari motornya dan memeriksa busi motor, mencabut dan mengelap pakai baju kemejanya, memasangnya kembali. Sekali engkol motor itu menyala dengan suara yang sangat nyaring k inihas motor butut.

"Ayo, naik!" ujar lelaki itu dengan gerakan kepalanya.

Nadin ragu-ragu duduk di boncengan, dia memegang pegagang besi yang ada di belakangnya dengan kuat, motor itu hanya suaranya yang nyaring, lajunya sangat lambat. Mungkin jika Nadin berlari dapat menyalip motor tersebut, Nadin tidak bisa berkata-kata. Dia hanya bisa mengelus dada, melapangkan hati, biarlah hidup lelaki ini miskin, semoga hatinya tidak miskin.

Nadin jadi teringat pada Adam, dulu lelaki itu sering menjemputnya dari kost ke kampus, motor MX king yang dikendarainya sungguh sangat nyaman, suaranya yang halus dan kecepatannya yang gesit, membuat gadis itu selalu berpegangan pada pinggang Adam. Tetapi, ah sudahlah ... Sehebat-hebatnya Adam tetap saja lelaki itu pengkhianat. Seandainya Adam mengajak menikah Nadin sekarangpun, Nadin pasti mau menerima lelaki itu walau belum tamat kuliah, tetapi lelaki itu justru memilih Chika dan bekhianat di belakangnya. 

Nadin menghela napas berat, biarpun Zaki miskin, lelaki itu lebih gantleman dibanding Adam, lelaki itu langsung mengajaknya menikah, walaupun nikah kontrak demi simbiosis mutualisme. Nadin sebenarnya tidak mau mempermainkan pernikahan seperti ini, seandainya Zaki mengajaknya menikah betulan dia dengan ikhlas mau, tetapi karena lelaki itu keukeuh ingin nikah kontrak, tentu saja demi harga diri dan gengsi gadis itu tidak mau meminta lelaki itu untuk serius dengannya.

Sampai juga mereka di rumah yang akan mereka kontrak, Zaki segera mematikan motornya yang sudah membuat bising komplek tersebut, seseibu bahkan melongokkan kepalanya melihat ke arah mereka dengan wajah sangar walaupun tidak menegur mereka karena suara motor tersebut.

"Aku telpon dulu yang punya rumah, kita bayarin sekarang saja, kamu bawa duitnya, kan?" tanya Zaki 

"Iya, aku bawa. Kalau gitu aku bersih-bersih rumah dulu."

Nadin memasuki rumah yang memang tidak dikunci. Rumah itu sudah seperti kandang kambing yang sama sekali berantakan dan tidak terawat, namun gadis itu hanya tertegun karena tidak ada satupun alat untuk bersih-bersih. Nadin bermaksud untuk pergi ke rumah tetangga untuk meminjam alat-alat pembersih, minimal sapu-lah.

"Mau ke mana?" tanya Zaki yang sudah selesai menelpon. 

"Mau pinjam sapu sama tetangga," jawab Nadin.

"Gak usah, nanti Pak Salim sebentar lagi ke sini, dia sudah kuminta membawa alat-alat kebersihan."

"Oh?"

Nadin mengurungkan niatnya pergi ke rumah tetangga, baguslah kalau dia memikirkan itu semua, ujarnya dalam hati, bibirnya mengulas senyum tipis.

"Mana uangmu? Biar nanti kubayarkan langsung sama Pak Salim, kau sokongan lima ratus saja," ujar Zaki 

"Kok cuma lima ratus? Harga rumahnya kan sejuta setengah, berarti kita tujuh ratus lima puluh ribuan seorangnya."

"Biarlah aku bayar sejuta, kamu cukup lima ratus saja, sisa uangnya bisa kamu pakai untuk keperluan yang lain," jawab Zaki.

"Terus, biaya kita nikah nanti pakai uang siapa?" tanya Nadin lagi 

"Biaya nikahnya seratus lima puluh ribu, dapat subsidi dari kelurahan kalau nikahnya di KUA. Nanti kamu mau mahar apa?"

"Mahar apa? Apa sajalah yang tidak memberatkan kamu," jawab Nadin. 

"Seperangkat alat salat?" 

"Bukankah itu mahal, paling murah harganya bisa mencapai seratus lima puluh ribu, mukenah sama sajadah. Duit saja, lima puluh ribu atau sepuluh ribu juga gak apa-apa."

"Sepuluh ribu dapat apa?"

"Ya gak dapat apa-apa, duit itu mau aku bingkai, dimasukkan kotak untuk kenang-kenangan."

"Oh?"

Speechless, Zaki hanya mematung memandang calon istrinya, benar-benar wanita yang mempermudah mahar, sesaat ada yang bersedir di dada lelaki itu, diamatinya gadis berjilbab hitam yang kini tengah membuka tas dan mengeluarkan lembaran merah dari dompetnya. 

Kenapa mendengar ucapan Nadin, perasaan Zaki menjadi begitu damai, seandainya ini pernikahan betulan, tidak akan tega lelaki itu  memberinya mahar sepuluh ribu, namun semua terpaksa dia lakukan.

"Ini uangnya, lima ratus ribu kan? Cepat bayarin!"

"Oh iya, kita tunggu Pak Salim dulu."

Tidak sampai tujuh menit Pak Salim pemilik kontrakan datang, lelaki itu membawa sapu rumah, sapu lidi san sebuah sabit yang diikat di lekukan motor bebeknya. Wajah lelaki paruh baya itu tersenyum sumringah ketika melihat Zaki yang menyambutnya di depan pintu.

"Mas Zaki, jadi serius ya, kalau mas Zaki mau ngontrak rumah saya?" tanya Pak Salim sambil turun dari motor bebeknya.

"Ya serius dong, Pak."

"Loh? Ada mbak Nadin juga? Kenapa bisa barengan? Ada apa ini, hayo?" Pak Salim terkejut ketika melihat Nadin keluar dari rumahnya, wajah lelaki paruh baya itu bahkan sampai melongo.

"Nadin dan saya akan menikah, Pak!"

"Menikah? Wow? Kalian menikah bukan karena saran dari saya tempo hari, kan?"

"Bisa juga karena itu, tetapi mungkin karena sudah jodoh, Pak," ujar Zaki yang langsung menyambut alat-alat yang ada di tangan lelaki paruh baya itu.

Nadin tidak bisa berkata-kata, dia hanya tersenyum menanggapi perkataan Pak Salim dan calon suaminya itu, dia mau ngomong apa? Masak ngomong sejujurnya kalau mereka nikah kontrak demi kontrakan, kan gak lucu.

"Kapan kalian akan menikah?"

"Seminggu lagi, Pak. Kami akan menikah di KUA," jawab Zaki 

"Berarti kalian akan menempati rumah saya seminggu lagi, ya?'

"Nggak, Pak. Hari ini saya akan langsung pindah ke sini, sesudah kami menikah baru Mas Zaki pindah ke sini." Kali ini Nadin bersuara, membuat Pak Salim mengangguk-anggukan kepala.

"Oh ya, Pak. Mohon diterima uang kontrakan ini, semua sejuta setengah, kan?" ujar Zaki sambil mengulurkan sejumlah uang pada Pak Salim.

"Oh, saya terima ya, Mas Zaki. Semoga pernikahan Mas Zaki dan Mbak Nadin langgeng, sampai kakek nenek."

"Amiiin," jawab Zaki sambil menjabat tangan lelaki paruh baya itu.

Nadin hanya diam menatap mereka, dia sendiri heran pada Zaki, doa seperti itu kok diaminkan, sudah jelas-jelas pernikahan mereka paling lama hanya berjalan satu tahun.

"Kalau gitu saya pergi dulu, ya? Masih ada kerjaan di rumah," ujar Pak Salim.

"Oh baik, Pak. Ini peralatan kebersihannya bagaimana? Saya pinjam dulu ya, Pak?" tanya Zaki dengan nada tidak enak 

"Gak usah, saya kasihkan untuk kalian berdua, anggap saja bonus, ya hitung-hitung hadiah pernikahan untuk kalian, itu sapu lidi sama sapu lantainya baru saya beli."

"Oh, terima kasih kalau begitu, Pak," ujar Nadin dengan antusias.

Setelah Pak Salim pergi, Nadin langsung menyapu seluruh rumahnya, debunya yang begitu banyak membuatnya melilitkan bagian depan jilbab ke wajahnya sebagai masker, bukan hanya lantai, dindingnya juga berdebu tebal.

"Kamu bagian membersihkan dalam rumah, aku bagian luarnya, ya?" ujar Zaki.

Nadin tidak menjawab, karena lelaki itu langsung ke halaman menerbas rumput dan semak yang mengelilingi rumah itu, tanaman perdu yang cukup tinggi membuat rumah tak berpenghuni ini rawan dihuni oleh binatang melata seperti ular.

Gadis itu hanya tersenyum, rasanya memang begitu ringan jika kerja dikerjakan sama-sama, apakah ini yang disebut rumah tangga? Memiliki seorang pria yang membantu pekerjaannya tidaklah buruk, justru perasaan Nadin begitu hangat, semoga rumah ini menjadi rumah yang sesungguhnya bagi mereka berdua, harapan gadis itu

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Arif 82
keren kak ceritanya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status