Share

BAB 7

Aku menatap sarapanku tanpa ada keinginan untuk memakannya sedikitpun. Meskipun terlihat enak, sepiring nasi goreng dari hotel berbintang ini sungguh tak membuatku tertarik. Sebenarnya, aku ingin tinggal di kamar saja sampai waktu check-out berakhir, namun aku butuh udara segar atau setidaknya pemandangan segar untuk membuat mata sepet-ku yang semalaman tidak bisa terpejam ini bisa terasa nyaman.

Mataku terasa panas dan berat karena semalaman memang sulit terpejam. Aku bahkan baru bisa tidur ketika suara adzan subuh menggema dari masjid yang letaknya tak jauh dari hotel. Biasanya memang pengantin baru akan kurang tidur di jam-jam awal pernikahan mereka, karena mereka menunaikan ibadah mereka setelah sah menjadi pasangan suami istri. Namun lain dengan ceritaku, aku tidak bisa tidur karena cemas memikirkan suamiku yang tiba-tiba pergi tanpa menjelaskan alasannya secara detail.

Seperti yang dikatakannya di depan pintu semalam, Reinard benar-benar tidak pulang. Menyisakan rasa kesal, sedih dan tentu saja cemas di dalam hatiku. Seharusnya kami sudah berbahagia semalam, atau jikapun kami belum bisa melakukannya, kami bisa berpelukan semalaman atau tidur seranjang berdua. Agar aku tidak kesepian dan kedinginan.

Sampai detik ini juga, Reinard tak bisa aku hubungi. Lebih tepatnya, aku sedang menunggu telepon atau pesan darinya yang menanyakan kabarku. Tapi nihil. Ponselku teronggok dingin di atas nakas, seperti ponsel rusak. Bahkan yang biasanya bunyi untuk sms-sms spam orang iseng minta pulsa atau menawarkan KPR rumah pun tidak ada sama sekali. Aku heran, apa jangan-jangan ponselku memang rusak? Akh, tapi tidak. Tadi pagi aku bisa menelpon Arian, menanyakan bagaimana keadaan mobilku yang kemarin dibawanya.

“Pengantin baru yang terlihat berantakan sepagi ini.” sebuah suara membuatku mendongak seketika. Sedetik kemudian, aku berdecak malas. Aku heran kenapa malah bertemu orang ini di sini.

“Ngapain lo di sini? Buntutin gue?” mood-ku bertambah buruk Ketika sosok pria bertubuh atletis ini berdiri di depanku. Ia terlihat segar bahkan sepagi ini dengan stelan celana santainya. Salah satu tangannya memegang sebuah tas Adidas berwarna hitam. Namanya Daniel, mantan pacarku semasa SMA. Kami memang masih menjalin komunikasi sampai sekarang, tapi bukan disebut komunikasi yang baik—dari versiku. Karena aku sebal setiap mengingat dia menyakitiku Ketika SMA.

“Nggak usah ke-PEDE-an deh Jul.” bukannya pergi, ia justru meletakkan tasnya di kursi yang kosong sedangkan ia sendiri duduk tepat bersebrangan denganku. “Aku habis nge-gym. Aku member aktif di sini.”

Aku tak menyahut. Pandanganku Kembali pada piring nasi goreng di depanku. Sebenarnya nasi goreng ini terlihat enak, namun setiap kali aku ingin mencoba memakannya, pikiranku kembali pada Reinard dan nafsu makanku langsung amblas.

“Lo kok nikah enggak bilang-bilang gue sih?” tanpa persetujuanku, Daniel mengambil segelas es jeruk yang ada dihadapanku. Aku hendak melayangkan protes, namun keduluan sedotan yang sudah masuk ke dalam mulutnya.

“Ih, itu udah gue minum kali!” Sungutku kesal. Padahal aku sudah meminumnya sedikit. “Lo minum sisa gue tau!” terpikir dalam benakku untuk memesan segelas es jeruk lagi pada waiters nanti.

Daniel justru terkekah. “Kenapa? Ciuman tidak langsung?” ia meletakkan gelas es jeruk itu kembali ke atas meja. “Enggak apa-apa. Kan kita dulu udah sering.” Senyumnya melebar.

Aku memutar bola mata malas, Daniel mengingatkanku tentang masa lalu kami yang penuh dengan cinta. Andai saja ini bukan di tempat umum, mungkin piring beserta nasi goreng ini sudah melayang mengenai kepalanya. Aku paling benci setiap kali Daniel membahas tentang masa lalu kami di sekolah. Pria itu selalu saja mengaitkan semua hal tentang hubungan kami dulu sebagai pacar di sekolah. Mungkin kenangan membahagiakan Daniel adalah memacariku, sedangkan kenangan terburukku adalah pernah menjadi pacarnya.

“Lo tau enggak Jul, kalau gue patah hati waktu denger lo nikah.” Ia membenarkan letak duduknya dengan nyaman. Aku semakin yakin jika pria ini tidak ingin segera pergi dan malah ingin mengajakku ngobrol ngalor-ngidul. Padahal pagi ini aku sedang dalam mode menarik diri dan tidak ingin didekati oleh siapapun ,apalagi Daniel.

“Bodo. Emang gue pikirin.” Sahutku cuek. Kembali pura-pura sibuk dengan sendok nai gorengku.

“Gue beneran Jul. kenapa waktu itu lo nolak lamaran gue?” ia menatapku serius. “Gue beneran tiap kali ngelamar lo.”

Aku menoleh pada Daniel dengan kening berkerut. Aku ingat jika pria itu teru-menerus mengajakku menikah setiap bertemu. Lah, ternyata dia serius dengan kata-katanya.

“Ya karena gue enggak mau sama lo lah.”  Jawabku enteng. Aku tidak ingin mengambil pusing dengan apa yang baru saja Daniel katakan. Toh bagaimanapun pria itu hanya masa lalu dan aku sama sekali tidak memiliki sekelumit perasaan lagi padanya.

“Atas dasar apa?” pria itu melipat tangannya di atas meja.

“Kita enggak sedekat itu untuk menikah!” sahutku kemudian. “Sudahlah….gue malas membahas masalah pernikahan sama lo Daniel!”

Daniel terkekah.

“Lantas sedekat apa lo sama suami lo sampai mau menikah sama dia?” ia menaikkan salah satu alisnya.

Mulutku bungkam seketika. Daniel benar, aku sama sekali tak dekat dengan Reinard. Bahkan aku hanya tahu namanya, pekerjaannya dan orangtuanya. Bahkan aku tidak tahu tentang hal mendetail tentang dia. Apa yang dia suka, apa hobinya bahkan bagaimana hidupnya selama ini sebelum ada aku. Aku hanya tahu Reinard secara umum.

“Hey…..Jul.” suara Daniel mengaburkan lamunanku. Ia mengibaskan tangannya di depan wajahku. “Mikirin apa?”

Aku berdeham.

“Gue kenal sama dia Dan. Lo enggak usah sok tahu.” Sahutku ketus.

“Lo yakin?” Daniel menatapku dengan intens. “Lo enggak pengen minta bantuan gue buat cari tahu siapa suami lo?”

Aku beranjak dari tempat dudukku. “Gue enggak perlu bantuan lo buat cari tahu siapa suami gue. Karena gue kenal dia. Dan gue yakin, gue enggak salah pilih.” Kataku bersamaan dengan derit kursi yang kugeser.

Aku tidak mau terus berada di dekat manusia toxic macam Daniel. Mama pernah bilang bahwa dalam sebuah hubungan pernikahan, kita tidak perlu mendengarkan kta-kata orang. Cukup kitalah yang berjalan sendiri dengan kepercayaan diri kita, menerima pasangan apa adanya dan tentu aja mendukung setiap apapun yang dikerjakannya.

Sesampainya di kamar, aku segera mengemasi barangku. Aku rasa, malam pengantin sudah lewat dan aku ingin segera kembali ke apartement. Selamat tinggal kamar hotel yang super nyaman, yang seharusnya menjadi saksi bisu apa yang kami lakukan semalam. Semua sudah selesai, dan bayangan malam pengantin yang indah itu sudah lenyap begitu saja dari benakku.

Sebelum beranjak meninggalkan kamar hotel, aku lebih dulu mengetik pesan untuk Reinard dan berharap suamiku membacanya.

‘Aku pulang ke apartement.’

Namun lagi-lagi tak ada balasan apapun darinya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status