Share

Khawatir

“Tujuan hidupku sebenarnya apa?” gumam Abel, bertanya pada dirinya sendiri. Ia tersenyum, meyakinkan bahwa dirinya akan baik-baik saja dengan keadaan yang seperti itu.

Ting

Nada pesan dari ponsel Abel membertahu adanya pesan. Pesan itu berasal dari Rangga.

Rangga

[Maaf tadi ibu belum sempat menjelaskan tugas untuk saya]

***

Rangga pulang lebih awal dari biasanya. Dia memilih untuk tidak bekerja dan segera pulang. Niatnya pulang cepat yakni ingin menyiapkan makan malam untuknya dan juga Abel. Dia juga ingin mengerjakan tugas kuliahnya, agar saat akhir pekan dia bisa fokus mempelajari pekerjaan Abel yang akan dialihkan kepadanya.

Waktu menunjukkan pukul sembilan malam dan Abel tak kunjung pulang. Rangga mulai cemas dan menghubungi Abel. Dia tahu kalau Abel hanya mengambil perkuliahan pagi saja, dan seharusnya sudah pulang di jam enam sore. Sayangnya Abel tidak menerima panggilan dari Rangga dan membuat Rangga semakin cemas. Rangga pun segera bersiap dan tak lupa membawakan hasil masakannya untuk Abel.

Karena tidak memiliki kendaraan, Rangga pun pergi menuju ke kampusnya dengan ojek online, karena sudah tidak ada lagi bus di jam malam seperti ini. Sesekali Rangga melihat ponselnya dan belum mendapatkan balasan dari Abel.

Setibanya di kampus, Rangga langsung. bergegas menuju ke gedung jurusannya dan naik ke lantai empat dengan menggunakan lift. Rangga langsung menuju ke ruangan Abel yang berada di ruangan yang berbeda dengan dosen lain, karena jabatannya sebagai ketua jurusan. Rangga melihat lampu ruangan Abel menyala, berarti benar, Abel ada. di dalam ruangan. Rangga pun yakin untuk mengetuk pintu dan masuk menemui Abel.

Tok tok tok

Rangga mengetuk pintu dan menunggu hingga ada respon dari Abel. Namun yang ada hanya keheningan saja,

Tok tok tok

Rangga mencoba mengetuknya lagi, karena tidak ada respon dari Abel.

“Bu? Ini saya Rangga,” ucap Rangga, agar Abel mau membukakan pintu karena itu adalah suaminya.

Tidak ada suara apapun dari dalam, membuat Rangga nekat membuka pintunya dan masuk, untuk memastikan kalau Abel berada di dalam.

“Astaga! Bu Abel!” seru Rangga ketika melihat Abel tak sadarkan diri di samping meja kerjanya.

Rangga segera menghampiri Abel dan berusaha menyadarkannya, namun sepertinya Abel butuh tindakan medis, bukan hanya pertolongan pertama. Rangga mengangkat tubuh Abel dan membawanya keluar kamar. Dia meninggalkan ruangan Abel dengan pintu terbuka, juga meninggalkan makanan yang ia bawa untuk Abel.

Rangga menta bantuan kepada beberapa mahasiswa yang ada di dekat lift untuk memberikan jalan kepadanya dan meminta tolong untuk memesankan taksi online menuju ke rumah sakit.

Bukan hanya Rangga saja yang panik, mahasiswa dan security yang melihat juga ikut panik. Bukan hanya panik, Rangga juga jadi merasa bersalah karena tidak bisa menjaga Abel dengan baik. Walau status dirinya hanyalah suami bayaran, Abel tetaplah wanita yang harus dijaga olehnya.

***

Rangga masih menemani Abel yang tak sadarkan diri di IGD. Tak henti Rangga berdoa, sembari mengusap lembut kepala Abel. Rangga juga berusaha tetap terjaga, agar bisa bertindak jika ada tanda-tanda Abel akan sadarkan diri.

“Rangga?”

Rangga mengangkat kepalanya, menoleh pada Abel.

“Bu, saya panggilkan dokter dulu, ya,” ucap Rangga.

“Rangga,” ucap Abel menahan Rangga. “Setelah memanggil dokter, boleh tolong belikan saya permen atau cokelat atau apapun manakan ringan yang manis? Mulut saya terasa pahit,” pinta Abel.

“Baik, saya akan pergi membelinya. Ibu tunggu sebentar ya.”

Rangga segera berlalu untuk memanggil dokter dan kemudian pergi membeli makanan manis yang diminta oleh Abel.

Sementara itu di IGD, Abel sedang diperiksa oleh dokter jaga yang menanganinya.

“Beliau sudah pulang jam segini, apa mau saya hubungi?” tanya dokter jaga tersebut.

“Tidak perlu. Setelah ini saya akan pulang saja,” jawab Abel.

“Tapi kamu harus dirawat, Abel. Kamu sepertinya akhirr-akhir ini bertindak sesuka hati ya, sehingga tidak memikirkan kesehatanmu dan melupakan konsekuensi yang telah dibuat.”

“Besok saya akan kembali untuk check up, tapi untuk saat ini, saya harus pulang. Jangan sampai suami saya berpikiran yang tidak-tidak,” Abel menolak keras untuk dirawat inap.

“Jadi … yang tadi itu suami kamu?”

***

“Bu? Sudah lepas infus?” tanya Rangga yang baru saja kembali dari minimarket.

“Iya, saya sudah bisa pulang, Besok saja saya kembali untuk check up. Oh ya, mana permennya?” tanya Abel menadahkan tangannya, meminta makanan manis yang dipesannya.

“Adanya cokelat, Bu,” jawab Rangga, memberikan dua cokelat dengan ukuran bar kecil. “Adanya yang ukuran kecil, nanti saya belikan lagi di minimarket dekat rumah, ya.”

“Ini saja sudah cukup. Terima kasih, ya ….”

Rangga dan Abel kembali ke kampus untuk mengambil mobil Abel. Rangga meminta Abel untuk menunggu di loby, namun Abel memaksa untuk ikut ke ruangannya karena ingin merapikan pekerjaannya.

“Saya akan bingung jika orang lain yang merapikannya. Hanya saya yang tahu dan paham sudah dimana pekerajaan saya,” ujar Abel memberikan alasan kepada Rangga.

“Baiklah, jika itu memudahkan ibu untuk melanjutkan pekerjaan ibu nanti.”

Waktu sudah menunjukkan pukul dua dini hari, sehingga Abel dan Rangga ditemani oleh salah satu security yang bertugas di gedung itu untuk menuju ke ruangannya yang berada di lantai empat.

“Pintunya hanya saya tutup saja, Bu,” ujar security tersebut.

Abel membuka pintu dan melihan ada sebuah tas paper bag di lantai. Dia menunduk dan mengambilnya.

“Eu … itu punya saya, Bu,” ucap Rangga tidak leluasa mengakui itu adalah makanan untuk Abel, karena ada security bersama mereka.

Abel memberikannya begitu saja, juga tidak ingin bersikap yang membuat security tersebut curiga.

Abel dan Rangga segera merapikan data-data yang berserakan di atas meja, sementara security tersebut berpatroli di lantai empat sembari menunggu Abel dan Rangga selesai.

“Terima kasih,” ucap Abel tiba-tiba.

“Terima kasih?” tanya Rangga bingung.

“Untuk makan malamnya. Maaf sudah membuatmu khawatir,” jawab Abel.

Rangga hanya tersenyum dan merasa kalau ada sisi lemah juga lembut pada Abel.

***

“Pagi!”

Rangga terkesiap karena terkejut. Dia mengusap wajahnya, berusaha menghilangkan kantuknya.

“Sudah sarapan?” tanya Hanin.

“Sudah,” jawab Rangga tersenyum, namun matanya hampir terpejam kembali.

“Lalu kenapa ngantuk? Ayo dong semangat, semangat!”

“Hmmmm Hanin … kamu sudah tidak marah?”

“Marah? Aku justru mengira kamu yang marah kepadaku, atas apa yang terjadi kemarin.”

“Aku tidak marah. Aku sudah mengecewakanmu.”

“Kalau tidak marah, mengapa tidak menghubungiku sama sekali? Aku menunggu kabar darimu ….”

Rangga meraih tangan Hanin dan menempelkannya di pipinya, sembari memejamkan mata.

“Aku lelah bekerja … maaf ya.”

Hanin hanya diam.

“Hanin?”

“Sudahlah. Kita lupakan saja, ya,” pinta Hanin tidak mau memperpanjang masalah.

***

“Bukankah sudah diperingatkan untuk jangan terlalu lelah dan banyak pikiran?”

“Aku seorang dosen, bukan penganggur. Bagaimana mungkin aku tidak lelah dan tidak memiliki sesuatu untuk dipikirkan.”

“Gabella, aku bisa mengganti dokter mu jika kau tidak menurut.”

“Iya iya, aku akan menurut dengaan tidak memikirkan banyak hal dan tidak terlalu menforsir pekerjaan.”

“Sudah seharusnya begitu, Abel. Kau dari dulu tidak berubah, ya … selalu saja membuat orang kesal dan gemas.”

Abel hanya tersenyum mendengar ucapan dokter yang tak lain adalah temannya sendiri.

“Bel, apa kau yakin tidak ingin bertemu dengannya?”

Ajeng Kelin

Halo … Novel ini akan terbit 4 kali seminggu. Hari Sabtu, Minggu dan 2 hari random Terima kasih ^^

| J'aime

Related chapter

Latest chapter

DMCA.com Protection Status