Waktu sudah menunjuk pukul tujuh malam, suasana restoran tampak ramai namun tetap hangat dengan pencahayaan remang yang menambah kesan intim.Laura berdiri di depan pintu masuk, sesaat merapikan gaunnya yang sederhana namun tetap anggun. Ia menghela napas panjang, mencoba mengendalikan perasaan cemas yang menyelimutinya.Makan malam dengan bos barunya, Rafael, adalah sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan, terutama setelah baru beberapa minggu bekerja di hotel mewah milik pria itu.Begitu memasuki restoran, Laura segera menemukan Rafael yang telah duduk di meja pojok dekat jendela.Pria itu tampak santai, mengenakan kemeja putih dengan lengan tergulung hingga siku, serta senyuman ramah yang langsung menyambut kedatangan Laura.“Tuan Rafael. Maaf, karena terlambat datang,” ucap Laura dengan sopan sambil menarik kursi dan duduk di hadapannya.Rafael tersenyum lebar. “Tidak masalah. Aku pun baru sampai,” katanya, mencoba membuat Laura merasa nyaman.Laura tersenyum kecil, meskipun ia mas
Sudah satu minggu berlalu sejak Laura mulai bekerja di Moza Hotel’s, sebuah hotel butik yang terkenal dengan layanan premium dan atmosfer elegannya.Dalam kurun waktu itu, ia mencoba melupakan segalanya, termasuk Smith, pria yang dulu menjadi bagian besar hidupnya, meskipun penuh luka. Namun, bayangan Smith tetap menghantui pikirannya.Kini, Laura berdiri di balik meja resepsionis, tatapannya kosong mengarah ke luar lobi yang dipenuhi hiruk pikuk tamu."Mungkin dia sudah menikah dengan kekasihnya itu," gumam Laura, hampir tak terdengar.Ia menghela napas panjang dan menundukkan kepalanya sejenak. "Untuk apa juga aku memikirkan pria itu. Tidak mungkin juga dia sedang memikirkanku sekarang." Suaranya lirih, seolah berbicara pada dirinya sendiri.Langkah kaki ringan mendekat dan memecah lamunannya. Suara lembut namun tegas menyusul. "Laura?"Laura tersentak kecil dan segera menoleh. "Ya, Nyonya Jasmine? Ada yang bisa dibantu?" tanyanya cepat, berusaha menghilangkan nada galau dalam suara
“Begitu rupanya.” Laura tersenyum kecil, berusaha terlihat santai meski hatinya canggung. Ia tahu bahwa Rafael adalah orang yang cermat. Sedikit saja ia menunjukkan kegugupan, pria itu bisa saja mencurigainya.Rafael tersenyum tipis, mengangguk pelan sebelum melanjutkan. “Ya. Dia adalah teman baikku saat kuliah. Dia memang terlihat dingin dan misterius. Namun, sebenarnya dia baik. Hanya saja, dia salah memilih pasangan.”Mendengar itu, Laura spontan menoleh. Rasa ingin tahunya menyeruak. “Maksud Tuan?” tanyanya, nada suaranya dibuat sehalus mungkin agar terdengar wajar.Rafael menghela napas panjang, pandangannya menerawang sejenak sebelum kembali menatap Laura. “Sebenarnya aku, Louis, dan juga Kevin tidak setuju dia menjalin hubungan dengan Stella. Namun, entah apa yang membuatnya tetap bertahan dengan wanita itu.”Laura menggenggam kedua tangannya di pangkuan, mencoba menyembunyikan gejolak yang mendadak menyerang dadanya. Tatapan Rafael yang lekat seolah menembus dinding pertahanan
Laura baru saja tiba di kamar kost-annya yang sederhana. Hembusan angin malam yang masuk dari celah jendela membuat suasana terasa sepi dan hening.Ia melepaskan tas selempangnya dan duduk di tepi tempat tidur. Tangannya dengan gerakan pelan membuka laci kecil pada nakas di samping ranjang. Di dalamnya tersimpan sebuah kotak perhiasan kecil berwarna merah tua.Perlahan, Laura membuka kotak itu dan mengeluarkan sebuah cincin pernikahan yang selama ini ia simpan. Ia menatap cincin emas itu dengan tatapan kosong, memutar-mutar benda kecil itu di antara jari-jarinya.“Kenapa dia masih memakai cincin pernikahan ini?” gumamnya pelan, suaranya hampir tenggelam dalam kesunyian kamar.Ia menarik napas panjang, mencoba meredakan gejolak di dadanya, namun pikirannya tetap terikat pada bayangan Smith. “Apa yang membuatmu tidak melepas cincin itu? Seharusnya kau bahagia karena aku pergi, kan?” ucapnya dengan nada lirih, hampir seperti berbicara kepada cincin itu.Laura mendesah pelan, lalu dengan
“Oh, ya?” Laura akhirnya membuka suara, menghela napas kasar. “Berarti benar, apa yang dikatakan oleh Rafael.”Diana mengerutkan dahi, penasaran. “Dia mengatakan hal yang sama?” tanyanya hati-hati.Laura mengangguk pelan, tatapannya masih kosong menatap ke luar jendela. “Ya. Dia mengatakan hal yang sama. Jika sudah dua orang yang mengatakan hal itu, berarti memang benar.”Diana menatap Laura dengan sedikit rasa bersalah, tetapi ia tahu hal ini perlu dibicarakan. “Ya. Memang benar. Kondisi Smith memang sedang tidak karuan setelah kau pergi,” ucapnya, berusaha menegaskan tanpa menambah beban di hati sahabatnya itu.Laura menoleh perlahan ke arah Diana, matanya yang biasanya memancarkan ketegasan kini tampak lelah. “Bukankah seharusnya dia bebas menjalin hubungan dengan Stella? Aku sudah menyerah, maka dia bisa menikah dengan wanita itu.”Diana menyunggingkan senyum tipis, nyaris tak terlihat. “Itu menurutmu. Buktinya, hingga kini dia tidak mengumumkan pernikahannya meskipun semua orang
Laura tertawa kecil mendengar ucapan Diana, kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menghela napas kasar.Di meja kecil di antara mereka, terdapat kantong belanja yang penuh dengan camilan, hadiah kecil dari Diana untuk menghibur sahabatnya.“Tidak mungkin, Diana. Smith terlihat kacau karena dimarahi oleh ayahnya, bukan karena ditinggal olehku,” ucap Laura dengan nada datar, meski di sudut hatinya, ia merasakan sedikit keraguan.Diana menatap Laura, mencoba membaca ekspresi wajah sahabatnya itu, namun Laura tetap menjaga sikap tenangnya.“Aku pernah melihat Tuan Vincent memarahi Smith saat aku diculik oleh Andy. Dan wajahnya memerah karena menahan amarah. Begitu pula dengan saat ini,” lanjut Laura sambil mengingat kejadian di rumah sakit, saat Vincent nyaris kehilangan kesabarannya terhadap Smith.Diana menghela napas panjang. Ia tahu Laura sedang berusaha keras menyangkal sesuatu yang mungkin ia sendiri belum yakin benar atau tidak. “Baiklah. Kau memang keras kepala dan tidak
"Usia kandunganmu sudah memasuki dua belas minggu, atau tiga bulan. Bayinya sangat sehat, dan bukan hanya satu—kau mengandung bayi kembar, Nyonya Laura."Laura mengerjap-ngerjapkan matanya, seolah kata-kata itu berbisik pelan namun berdentam di pikirannya."Ke—kembar?" bisiknya, suaranya terhenti di tenggorokan seperti sehelai daun yang terperangkap angin.Pikiran Laura melayang pada Smith dan Louis, saudara kembar yang pernah membuatnya merasa begitu kecil di tengah dunia yang terasa begitu luas.Ia tidak menyangka, kini rahimnya menjadi rumah bagi dua jiwa kecil yang bercahaya. Gen Smith terlalu kuat—pikirnya sambil menelan ludah dengan perasaan campur aduk antara kagum dan khawatir."Begitu rupanya," gumamnya akhirnya, mencoba menenangkan gemuruh di dadanya. "Aku akan memiliki dua anak sekaligus." Ucapannya nyaris seperti mantra yang ia coba yakinkan pada dirinya sendiri, meski hatinya meringis halus seperti petir yang berdesir di kejauhan."Ya. Ini adalah anugerah yang sangat inda
"Louis?" Mata Laura melebar seperti malam yang tiba-tiba diterangi kilat. Tubuhnya terdorong oleh kejutan, hingga ia beranjak dari duduknya, menatap Louis yang kini berdiri di hadapannya."Ya, aku Louis." Suara Louis terdengar serak, namun ada nada lega yang bergemuruh di dalamnya."Laura, kami mencarimu ke mana-mana. Jauh sekali kaburnya," lanjutnya, matanya mengerjap, seolah ia masih ragu dengan kenyataan yang sedang ia lihat.Laura tersenyum canggung, tangannya tanpa sadar terangkat untuk menggaruk kepalanya, gerakan kecil yang mengkhianati rasa gelisah di dadanya."Ya. Kabur dari kalian tentu saja harus jauh dan tidak dapat ditemukan," katanya pelan, suaranya seperti angin sepoi yang membawa kepedihan tersembunyi. "Sayangnya, malah ditemukan."Mata Louis membesar lagi, kali ini bukan karena kejutan sederhana. Pandangannya turun ke perut Laura yang sedikit membuncit, dan jemarinya terangkat, menunjuk tanpa kata, seolah berusaha memastikan apa yang dilihatnya benar adanya."Laura, k
Fajar baru saja merekah, tapi Stella sudah terjaga. Ia duduk di tepi ranjang dengan ponselnya tergenggam erat, tatapan matanya melekat pada layar yang menampilkan sebuah pesan tak dikenal.“Berhenti mengganggu hidup Smith. Atau kau akan merasakan neraka di dunia.”Alih-alih merasa takut, Stella justru tersenyum sinis. Tawa kecilnya menggema di kamar yang sunyi, serupa bisikan iblis yang tengah bersiap memainkan permainannya sendiri.“Peneror murahan,” gumamnya, membuang ponsel itu ke atas meja rias. Seberapa banyak pun ancaman yang datang, ia tidak akan mundur. Tidak akan pernah.Dengan gerakan anggun, Stella berdiri dan berjalan ke depan cermin besar yang terpajang di sudut ruangan.Jemarinya yang ramping mengambil lipstik merah dari meja rias, lalu perlahan menggoreskannya ke bibirnya yang penuh.Warna merah darah itu menyala tajam, seperti simbol dari ambisi dan obsesi yang tak pernah padam.Ia menyeringai, memiringkan kepalanya sedikit, mengamati bayangan dirinya yang terpantul di
Malam menyelimuti kota dengan gelap yang pekat, hanya diterangi oleh kelip lampu jalan yang berpendar samar.Di sudut sebuah gudang tua yang tersembunyi dari hiruk-pikuk kehidupan, Smith berdiri dengan sorot mata dingin, menatap sosok di hadapannya.Bobby, pria berbadan kekar dengan rahang keras bak batu dan mata yang tajam seperti pisau, menyeringai tipis.Tangan kasarnya menyulut sebatang rokok, asapnya mengepul ke udara, menambah suasana kelam di antara mereka."Jadi, kau ingin aku meneror wanita itu?" suara Bobby berat dan kasar, penuh nada ketertarikan yang berbahaya.Smith tidak menunjukkan ekspresi gentar sedikit pun. Ia hanya mengangguk, suaranya terdengar tegas dan dingin."Stella sudah semakin menggila. Aku ingin dia berhenti mengganggu rumah tanggaku. Apa pun yang kau lakukan untuk membuatnya jera, aku serahkan padamu."Bobby tertawa kecil, rokoknya hampir habis di antara jemarinya yang kekar. "Lucu sekali. Seorang Smith Alexander, pria yang begitu berkuasa, memilih menyele
Pintu rumah terbuka dengan bunyi klik pelan, menandakan kepulangan Smith setelah seharian penuh berkutat dengan pekerjaan.Rambutnya sedikit berantakan, dasinya sudah longgar, dan ekspresi wajahnya menunjukkan betapa lelahnya ia setelah kembali ke rutinitas kantornya.Bahkan, waktu istirahatnya tadi hanya cukup untuk makan siang bersama Louis.Laura yang tengah duduk di sofa langsung bangkit begitu melihat suaminya memasuki ruangan. Dengan senyum lembut, ia melangkah mendekat dan langsung mencium pipi Smith."Selamat datang di rumah, Sayang," bisiknya lembut, berharap bisa sedikit mengusir penat di wajah pria itu.Smith mendesah pelan, lalu tanpa ragu menarik Laura ke dalam pelukannya. Ia mencium kening wanita itu dengan penuh kasih sebelum mengubur wajahnya di bahu Laura."Astaga, Laura... Aku benar-benar lelah hari ini. Pekerjaan menumpuk setelah satu minggu penuh kita liburan. Rasanya seperti dihukum karena bersenang-senang."Laura terkekeh mendengar keluhan suaminya. Ia mengusap p
Setelah satu minggu penuh menikmati keindahan New Zealand, Laura dan Smith akhirnya kembali ke New York.Begitu menginjakkan kaki di kantornya, Smith langsung disambut oleh tumpukan berkas yang menggunung di meja kerjanya.Vincent dan Louis sudah menunggunya dengan ekspresi yang sama sekali tidak menunjukkan belas kasihan.Smith menghela napas panjang sebelum menjatuhkan diri ke kursi dengan lemas. "Kalian serius? Aku baru sampai dan langsung disuguhi ini semua?" keluhnya sambil menunjuk setumpuk dokumen yang sudah tertata rapi menunggunya.Vincent menyeringai. "Apa boleh buat? Ada banyak hal yang harus kau urus, bos besar."Louis menepuk bahu saudara kembarnya dan menahan tawa. "Selamat datang kembali di dunia nyata, Smith."Smith menggerutu sambil membuka salah satu berkas. "Sumpah, ini benar-benar menyebalkan. Aku masih ingin bersantai, menikmati waktu dengan Laura, bukannya terjebak dalam tumpukan laporan keuangan dan pengecekan proyek!"Louis tak bisa menahan tawa kali ini. "Kau
Pagi di New Zealand terasa begitu segar. Cahaya matahari menyelinap di antara dedaunan, angin sepoi-sepoi berembus lembut membawa aroma laut yang khas.Laura dan Smith berjalan bergandengan tangan menyusuri trotoar kota kecil yang ramai.Hari ini mereka memutuskan untuk pergi ke pasar swalayan dan berbelanja beberapa barang, termasuk oleh-oleh dan, tentu saja, perlengkapan untuk calon bayi mereka.Sesampainya di pasar swalayan, mata Laura berbinar melihat deretan baju bayi yang menggemaskan tersusun rapi di rak-rak kayu.Berbagai warna pastel yang lembut dengan motif hewan-hewan khas New Zealand seperti domba dan burung kiwi terpajang begitu cantik.“Lihat ini, Smith!” seru Laura antusias sambil mengambil dua setelan baju bayi berwarna putih dengan motif domba kecil. “Bukankah ini lucu sekali?”Smith yang tengah memperhatikan rak sepatu bayi menoleh dan tersenyum. “Lucu sekali. Aku suka motifnya.”Laura mengelus kain baju itu dengan jemarinya, membayangkan kedua bayi kecil mereka meng
Malam telah menyelimuti New Zealand dengan kehangatan cahaya bulan dan gemerlap bintang-bintang yang bertaburan di langit.Angin lembut berbisik di antara dedaunan, membawa aroma laut yang segar ke udara.Di sebuah restoran mewah dengan pemandangan laut yang luas, Laura dan Smith duduk berdua di meja yang telah disiapkan secara eksklusif untuk mereka.Lilin-lilin kecil menerangi meja makan mereka, menciptakan suasana yang intim dan hangat.Gelas-gelas kristal yang berkilauan memantulkan cahaya temaram lilin, sementara hidangan istimewa tersaji di hadapan mereka—steak wagyu pilihan untuk Smith dan salmon panggang dengan saus lemon butter untuk Laura.Laura menatap sekeliling, merasa aneh dengan suasana yang begitu istimewa. Pelayan-pelayan terlihat tersenyum padanya dengan penuh arti, seolah-olah mereka tahu sesuatu yang ia tidak ketahui.Namun, pikirannya mengabaikannya. Yang terpenting, saat ini ia bersama Smith, menikmati momen berdua.“Terima kasih sudah membawaku ke sini,” ujar La
“Smith, ayo! Aku sudah siap menjelajahi pegunungan itu hari ini!” Laura menghampiri Smith yang masih menyesap kopinya.Ia terkekeh melihat tingkah Laura yang begitu antusias ingin menikmati pemandangan di sana.“Baiklah. Tunggu sebentar, aku menghabiskan kopiku terlebih dahulu.”Laura mengangguk. Ia akan bersabar menunggu Smith yang masih ingin menikmati kopinya itu.Hingga lima menit kemudian, Smith dan Laura keluar rumah dan siap menjelajahi keindangan alami di sana.Udara sejuk khas New Zealand membelai lembut kulit Laura saat ia berjalan di samping Smith, tangan mereka saling bertaut erat seolah enggan terpisah.Di hadapan mereka, hamparan perbukitan hijau membentang sejauh mata memandang, sementara jalan setapak yang mereka lalui diapit oleh padang rumput yang luas dan pepohonan yang menjulang gagah.Langit biru cerah tanpa awan menjadi latar sempurna bagi perjalanan mereka hari ini. Burung-burung berkicau riang, seakan turut menyambut dua insan yang tengah menikmati kebersamaan
“Wow…” Bisikan itu lolos dari bibir Laura, terhempas bersama desir angin yang membelai lembut rambutnya.Matanya yang bening bagai kristal terpantul cahaya matahari senja, menangkap keindahan lanskap New Zealand yang terbentang di hadapannya—bukit-bukit hijau bergulung-gulung seperti ombak yang membeku, danau sebening kaca memantulkan warna langit yang keemasan, serta gunung-gunung kokoh yang berdiri gagah di kejauhan.Smith mendekat, kehangatan tubuhnya menyelimuti Laura saat ia melingkarkan lengannya di pinggang wanita itu, menariknya ke dalam pelukan yang hangat dan melindungi.Bibirnya menyentuh pucuk kepala Laura sebelum suaranya yang berat dan berlapis kelembutan berbisik di telinganya. “Kau menyukai tempat ini, hm?”Laura menoleh, mata mereka bertaut dalam sorot penuh cahaya senja. Bibirnya melengkung dalam senyum yang tak terbendung, seolah hatinya telah ditawan oleh keindahan tak hanya tempat ini, tapi juga pria yang kini berada di sampingnya.“Ya. Tempat ini sangat cantik. A
Louis mengerutkan kening, sorot matanya menyiratkan ketidakpercayaan yang pekat.Dalam ribuan kemungkinan yang pernah ia bayangkan, skenario ini tidak pernah menjadi salah satunya."Apa maksudmu, Smith? Kenapa Daddy melakukan itu padamu?" tanyanya, suaranya hampir tertelan kebisingan bar yang mulai surut seiring malam semakin larut.Smith menatap saudara kembarnya dengan mata yang penuh ketegangan, seolah setiap kata yang akan diucapkannya adalah serpihan kaca yang siap melukai siapa pun yang mendengarnya."Aku tahu kau pasti tidak akan percaya dengan tindakan Daddy padaku sampai menjebak Laura agar bisa menikah denganku," ujarnya, suaranya berat dengan emosi yang tertahan.Louis menelan ludahnya, mengamati ekspresi Smith yang jauh lebih serius daripada sebelumnya."Namun, inilah kenyataannya," lanjut Smith, menegakkan punggungnya seolah berusaha menahan beban yang terus menghantamnya dari berbagai sisi."Daddy sendiri yang memberitahuku bahwa dia sengaja melakukan itu. Alasannya? Per