"Kenapa tampar aku, Om? Bukankah kita bukan saudara dekat?" tanya Mas Firman, ia memegang pipi yang merah akibat dari tamparan Om nya. Om Candra menghela napasnya, kemudian ia menggelengkan kepalanya. "Om laki-laki, tahu betul kondisimu dulu seperti apa sebelum menikah dengan Giska, lantas sekarang istrimu menghilang malah menyumpahi ia telah meninggal. Mengatakan ia bisu dan lumpuh dan ...."Om Candra memegang dada sebelah kirinya. Lalu Mas Firman sedikit panik dan membantu melatihnya. Ia menuntun Om Candra ke sofa. Lalu duduk berjejer. "Om Candra baik-baik saja, kan? Apa jantungnya sakit lagi?" tanya Mas Firman sepertinya khawatir sungguhan. "Tolong bawa Om ke rumah sakit, dokter spesialis jantung langganan Om di Jakarta ini, sekitar pukul dua siang nanti beliau praktek," pintanya. Mas Firman menyoroti jam yang melingkar di pergelangan tangannya, sesekali matanya melirik ke arah Airin sambil mendongak seraya meminta saran. Aku melihat Airin pun menaikkan bahunya, wanita itu me
Aku tidak mengenal wanita itu, parasnya begitu cantik meskipun terlihat sudah berumur, tatanan rambut yang keriting gantung disemir coklat, membuatnya terlihat anggun. Aku menyorotnya dengan tatapan tajam, meneliti dari atas hingga ke bawah sambil berpikir kenapa wanita ini ada di kantor? "Tante Soraya?" Seketika aku menoleh ke arah sumber suara, di mana Mas Firman yang nyeletuk nama tersebut. Soraya? Kenapa Mas Firman kenal sedangkan aku tidak mengenalnya. Mata ini sontak tertuju pada Adnan yang tengah tersenyum bahagia. "Ya, saya datang, Firman," ucapnya seketika itu juga kudengar helaan napas kasar dari mulut Mas Firman. "Kenapa tidak bilang padaku Tante Soraya sudah berada di Jakarta lagi? Aku pikir Tante tidak akan pernah ke Indonesia lagi, bagaimana keluarga? Sehat, kan?" Aku semakin tidak paham dengan apa yang dibicarakan mereka. Siapa Tante Soraya ini? Aku memotong pembicaraan, tanganku menghadang Mas Firman supaya bisa menjelaskan padaku. "Kita bicara di dalam," ajak M
"Ini fitnah, Mas Firman memfitnahku," sanggahku lagi. "Tante Soraya, lebih baik kita singkirkan dulu Nurma dari rumah, bukankah wanita ini tidak ada gunanya?" usul Mas Firman membuatku mengernyitkan dahi."Aku masih ada hak untuk mengelola semuanya ya!" tekanku kasar. Brak! Tante Soraya menggebrak meja kembali. Kemudian, wajahnya dimiringkan fokus ke arahku. "Meeting pagi ini selesai. Kantor ini akan saya tutup untuk sementara, selama saya menyelidiki semuanya, ya tujuh hari lamanya, kalian harus berada di rumah." Keputusan di luar dugaanku. Ternyata ini adalah hal baik. Sekelebat pikiran melintas bahwa semua ini adalah termasuk bagian dari rencana Adnan. Mas Firman menatap Tante Soraya curiga, sesekali ia melirik ke arah Adnan. Lalu terakhir berpindah menatapku. "Apa Tante tidak mau usir Nurma dulu?" tanya Mas Firman. Tante Soraya menggelengkan kepalanya. Kemudian melirik ke arahku. "Jangan sampai wanita ini pergi jauh, kalau ia pelakunya, justru harus dihukum seadil-adilnya,
Ponsel Tante Soraya tiba-tiba berdering, ia memutuskan pembicaraan kami tadi. Tante Soraya mengangkat telepon jauh dari kami. Sedangkan Mbok Tuti tampak menyunggingkan senyuman ke arahku. Ia bersikap kurang ajar, hingga berani menepuk bahu majikan. "Siap-siap akan ada badai untuk Non Nurma, makanya jangan sok jadi pahlawan," ancamnya sambil pergi meninggalkanku dan Mas Firman pun menyusul langkah Mbok Tuti. Aku berdiri sendirian, kemudian bergegas ke arah kamarku. Sedikit penasaran dengan keberadaan Airin, aku yakin Mas Firman telah menyembunyikannya di ruang bawah tanah. Perlahan aku akan membongkar semua pada Tante Soraya. Namun, batinku berkata bahwa sebenarnya Tante Soraya sudah mengetahui keburukan Mas Firman, hanya saja pura-pura, ini menurut feelingku saja. Daripada penasaran, akhirnya aku putuskan untuk menghubungi Adnan. Aku kunci kamar lebih dulu sebelum menghubunginya. Namun, ketika duduk, jam tangan yang aku gunakan lepas dari pergelangan tangan saat mencoba membuka den
Namun, ternyata gunting itu memangkas rambutku. Ia menggunting rambut hingga batas leher, aku hanya terdiam, sebab tidak ingin mati konyol karena Mas Firman emosi ketika aku memberontak. Usai memangkas rambut ini, laki-laki binal itu membuangnya ke tempat sampah yang ada di toilet. Kemudian Mas Firman melemparkan handuk ke arahku. "Pakai baju sana!" suruhnya agak sinis. Aku masih belum paham apa keinginannya. "Rambutku kenapa dipotong seperti ini, Mas? Rambut ini sekarang tidak ada bentuknya, maksud kamu apa?" tanyaku padanya. Ia keluar dari kamar mandi sambil memberikan pesan padaku supaya cepat memakai baju. Aku menghadap cermin, lalu menatap wajah dan potongan rambut yang tidak ada bentuknya. Ibarat kata aku seperti orang kurang waras, poni dipotong hingga batas kening dan ubun-ubun. "Astaga, Mas Firman ini potongan apa? Aku malu mau keluar kamar, apalagi untuk keluar rumah," ucapku bicara sendirian. Decak kesal pun terlontar dari mulut ini. Kemudian, usai memakai baju, aku
Aku mengembuskan napas panjang di hadapan Tante Soraya dan Mas Firman. Namun, mereka hanya tersenyum. Keduanya saling beradu pandangan. Aku jadi merasa meragukan Tante Soraya."Ya udah, kita bawa Nurma ke rumah sakit sekarang, tunggu apa lagi?"Mas Firman membelalakan matanya. Aku rasa ia pun terkejut dengan ajakan Tante Nurma. Kalau aku terkejut karena ternyata Tante Nurma belum percaya sepenuhnya terhadap ucapan Adnan tentang diriku. "Sama Tante?" Pertanyaan dari Mas Firman membuatku ingin menertawakannya."Iya, sama Tante. Kelihatannya Nurma ini benar-benar sakit jiwa, jadi butuh tangan banyak untuk mencekal pengelangan tangannya bila ia memberontak.""Tapi aku tidak gila, Tante, aku masih waras," timpalku.Namun tubuh Tante Soraya memutar, tangannya memerintahkan Mas Firman untuk membawaku dengan segera. Mau tidak mau, aku ikut bersama dengan Mas Firman juga Tante Soraya. Dalam kondisi rambut yang masih terpangkas pun aku ikut mengekor di belakangnya. Sampai di depan rumah, ter
"Tante Soraya mau nempatin suster ini di ruang bawah tanah? Nggak bisa, di sana sumpek, lebih baik suster untuk Nurma ya di kamar dia aja, ngapain kan biar bisa diawasi," sanggah Mas Firman. Aku ingin tertawa, memang benar kata pepatah, kalau orang berbohong dan merasa bersalah, pasti takkan tenang hidupnya.Mas Firman menghela napasnya beberapa kali, terlihat sangat jelas ia tengah ketakutan. "Bagaimana kalau Mbok Tuti beresin dulu?" Mas Firman mengusulkan yang membuatku tersenyum. Jelas ia menyuruh Mbok Tuti, pasti ada maksud untuk mengajak Airin kabur lebih dulu. "Saya nggak suka sama Mbok Tuti, dia itu songong, kalau memang berantakan saya aja yang beresin, gitu aja kok repot!" Tante Soraya menengadahkan tangannya, ia meminta kunci sambil mengangkat alisnya. Mas Firman sedikit melirik ke arahku, kemudian berteriak memanggil Mbok Tuti dan meminta kuncinya. Mbok Tuti datang dengan langkah tergesa-gesa, ia langsung menyerahkan kunci tersebut yang sengaja disimpan di saku bajunya
"Dia itu, dia itu .... "Mas Firman tidak mampu melanjutkan ucapannya, ia terlihat memukul kepalanya sendiri. "Saya ini calon istri Mas Firman seutuhnya," terang Airin membuat kami semua menoleh ke arahnya berdiri, ia tidak mengelak, bahkan belum dicecar pun sudah mengatakan sejujurnya. Langkah kaki Airin terus maju ke depan, wanita itu kini berada di sebelah Mas Firman. Ia berani menggandeng Mas Firman dan mendorong aku untuk menyingkir. Aku menatap penuh ke arahnya, aku rasa ia sudah lelah bermain petak umpat bertahun-tahun lamanya. "Saya ini yang pertama, Giska telah merebut Mas Firman dari saya," ucap Airin. "Bosan berada di sini terus, jadi memang seharusnya saya menunjukkan jati diri," jelas Airin. Aku merapikan rambut ini, rambut yang sudah dipangkas dan belum dirapikan. "Saya sudah tahu, Adnan sudah cerita, tapi saya lakukan ini memang sengaja, karena tidak ingin harta Giska pindah ke tangan kalian!" Tante Soraya menjelaskan pada mereka, mulutnya berkata tapi kakinya maj