"Iya, nih, aku lagi nganter si Bi Ratih belanja bulanan, sekalian melihat lihat pakaian, kali aja ada yang cocok," sahutku.Resa pun akhirnya ikut memilih pakaian, sambil mengajakku bicara."Oh ... aku kira kamu sama suamimu ke sini, ternyata kamu sama Bi Ratih," ujarnya."Nggak, Resa. Kamu juga biasanya kan ditemani Rendi, ke mana dia sekarang?" tanyaku balik."Iya, nih aku lagi marahan sama dia. Tapi aku datang ke sini nggak sendirian, aku tadi ke sini bareng sama temanku, Wina namanya. Tapi dia sedang pergi ke kamar mandi dulu," terang Resa.Wina! Aku terkejut saat Resa mengucapkan nama Wina. Aku kembali teringat kepada Mbak Wina, yang telah membuat Mas Reno menghianatiku. Tapi kan yang namanya Wina itu pasaran, bukan saja Mbak Wina yang aku maksud. "Mila, kok kamu malah bengong sih? Kamu kenapa, Mil," tanya Resa lagi."Ini Resa, tadi saat aku mendengar kamu, mengatakan nama teman kamu yang bernama Wina. Aku jadi kepikiran, sama perempuan yang bernama Wina juga. Dia adalah orang,
Pov Reno"Mas, mana calon istrimu? Katanya mau diperkenalkan kepada kami," tanyaku, saat melihat Mas Roni sedang berbincang dengan Ibu diruang keluarga."Dia sedang pergi ke kamar mandi, Reno," sahutnya."Oh ya sudah, aku masuk ke kamar dulu, ya Mas. Aku mau ganti pakaian," pamitku. Setelah itu aku pun segera berjalan menuju kamarku, tanpa menunggu jawaban dari kakakku. Setelah berganti pakaian, aku pun keluar lagi untuk bergabung bersama keluargaku."Reno, kenalin nih calon istri Mas," ucap Mas Roni, saat aku baru saja sampaiAku pun mengulurkan tangan. Namun, aku begitu terkejut, saat melihat siapa wanita yang menjadi calon istri Mas Reno. Dia adalah Wina mantan kekasihku, yang dulu sempat terpisah karena jarak dan waktu. Padahal kami belum sempat mengucapkan kata berpisah.Hingga sampai saat ini pun, aku masih belum bisa move on, walau aku juga sudah mempunyai calon istri anak orang kaya.Tapi ternyata, saat kami dipertemukan lagi, Wina kini malah akan menjadi calon Kakak iparku.
"Bukan begitu, Bu. Tetapi tadi Ibu bilang, kalau kami itu harus mandiri. Masa iya, aku masih harus meminta kepada Papa, supaya membelikan rumah untuk kami. Dimana letak mandirinya, Bu? Lagian aku juga kasihan sama Mas Reno, nanti Papa menilai dia, sebagai suami yang tidak bertanggung jawab. Apa Ibu mau anaknya direndahkan?" tanya Mila."Ya sudah, Bu. Biar terserah Mila saja, toh dia juga yang membayar DPnya," ujarku. Aku meminta agar Ibu jangan terlalu memaksa Mila, supaya ia tidak membuat Mila curiga. Karena walaupun niat kami memoroti, tetapi jangan terlalu terlihat. Apalagi kami inj baru menikah."Jadi Mas setuju dengan pendapatku, Mas?" tanya Mila lagi."Iya, Mila," sahutku.Setelah selesai membahas semua ini, kami pun beristirahat sebab sudah malam. Sebulan kemudian, aku dan juga Mila pun telah menempati rumah pribadi, walaupun masih nyicil. Setiap bulan, aku selalu membantu membayar cicilannya, walaupun lebih banyak Mila yang bayar.Aku sih mikirnya ini semua hanya sekedar fo
"Mbak Wina," seruku, sambil mata membola karena merasa tidak percaya, jika teman Resa adalah Mbak Wina selingkuhan Mas Reno."Mila," sahutnya, ia pun sama begitu kaget saat melihatku berada di swalayan yang sama."Oh ... jadi kalian berdua itu memang sudah saling kenal ya? Jadi Wina yang kamu maksud, adalah Wina yang ini, Mila," tanya Resa tidak percaya.Kami sama-sama tidak percaya, jika Wina temannya Resa adalah Wina yang merebut suamiku. Ternyata dunia ini begitu sempit. Karena kemana pun aku pergi, tetap saja masih bisa bertemu terus, dengan orang-orang yang telah menyakitiku."Resa, jadi kamu juga kenal sama orang ini?" Mbak Wina bertanya kepada Resa, sambil menunjukku dengan telunjuknya."Iya, Wina, aku sangat mengenal Mila, sebab dia itu teman sekolahku. Aku benar-benar tidak menyangka dengan semua ini. Karena ternyata kalian berdua sudah saling kenal, tetapi kalian berdua juga saling bermusuhan hanya karena seorang pria," ujar Resa.Ia berkata sambil mengeleng-gelengkan kepal
Setelah itu aku pun segera menemui, orang yang dimaksud Bi Ratih tersebut. Sedangkan Bi Ratih pergi untuk membuatkan minum untuk tamu tersebut. Saat aku keluar, ternyata tamunya itu adalah Pak Taufik, orang yang merupakan konsultan hukum perusahaanku. Pak Taufik adalah orang yang selalu memberikan petunjuk, arahan, serta solusi terkait masalah hukum yang ada di perusahaanku, atau bahkan memberikan petunjuk untuk mecegah agar tidak terjadi masalah hukum di perusahaanku tersebut.Pantas Bi Ratih tidak mengenalinya, sebab Pak Taufik jarang ke rumahku. Kalaupun ada perlu, kami selalu bertemu di kantornya Pak Taufik, atau bertemu di kantorku langsung."Pak Taufik, kenapa malah diluar, ayo masuk!" Aku mengajak Pak Taufik untuk masuk ke dalam rumah."Iya, Non, barusan Bapak baru menerima telepon dulu," sahutnya.Kemudian aku kembali ke dalam, disusul oleh Pak Taufik. Kemudian kami pun duduk di sofa yang ada di ruang tamu."Bagaimana, Pak, apa semuanya sudah beres?" tanyaku."Sudah, Non, k
Aku memberitahunya, tentang proses hukum yang sedang menanti Mas Reno, apabila ia tidak mau mengembalikan uang perusahaan tersebut kepadaku."Oke kalau kamu tidak percaya, masalah uang perusahaan tidak akan aku kembalikan. Karena itu semua akan menjadi harta gono gini," terangnya."Ya mana bisa, Mas Reno. Karena uang itu uang perusahaan Papaku, jadi kamu tidak ada hak atas semua itu," tegasku."Terserah kamu, kalau memang seperti itu, Mila. Karena yang jelas, aku tidak akan mengembalikannya lagi. Lihat saja apa yang bisa aku lakukan untuk mendapat semua itu, jangan pernah kamu menyepelekan Reno dan keluarganya, juga tidak bisa mengatasi semua itu," sungutnya.Mas Reno malah marah, saat aku memperingatkannya. Dia pun mematikan teleponnya secara sepihak, tanpa mengucapkan salam atau apa pun. "Hemm, dasar keras kepala. Jangan pernah kamu menyalahkan aku, jika semua ini akan menjadi boomerang buat diri kamu, Mas," lirihku setelah sambungan terputus.Aku pun langsung menutup pintu, kemudi
"Apa, Bi, aku kecelakaan?" tanyaku lagi.Aku merasa tidak percaya, dengan apa yang dikatakan Bi Ratih. Aku memegang kepalaku, yang terasa pusing dan juga sakit. Ternyata kepalaku sudah dibalut kain kasa. Aku merasakan kepalaku begitu sakit, saat aku memaksakan diri untuk mengingat kejadian sebelumnya."Iya, Non, Non Mila kemarin kecelakaan Non Mila kecelakaan, saat akan pergi ke kantor kemarin. Non tidak sadarkan diri, selama satu hari. Mobil Non juga rusak parah, sekarang sudah dibawa oleh pihak yang berwajib untuk diselidiki penyebab kecelakaannya. Karena menurut mereka, takutmya kecelakaan ini ada unsur disengaja," tutur Bi Ratih, sambil menatap wajahku dengan begitu intens."Apa Non Mila sudah bisa ingat sekarang?" tanya Bi Ratih lagi.Bi Ratih menanyakan tentang ingatanku, ketika sebelum terjadi kecelakaan tersebut."Ada, tapi sedikit-sedikit, Bi," sahutku."Ya sudah, kalau memang seperti itu jangan terlalu di paksakan, Bu Mila. Insya Allah nanti juga akan ingat," ujar Dokter, yan
Aku menganggap ucapan Mas Reno hanyalah kebohongan belaka. Aku tidak akan percaya, jika belum melihat buktinya."Ya jelas tau dong, Mila. Makanya aku berkata seperti itu. Asal kamu tahu ya, kalau saat ini mereka berdua ada dalam genggamanku. Keselamatannya juga tergantung tindakan dan sikap kamu, Mila," paparnya."Kamu jangan mencoba mempermainkan aku, ya Mas! Mana buktinya, kalau Mama dan juga Papaku ada dalam pengawasan kamu," tanyaku."Oh ... jadi kamu perlu bukti, Mila? Baik, coba kamu lihat ini. Siapa mereka? Apa kamu mengenalnya? Bukankah ini Mama sama Papa kamu ya?" tanya Mas Reno.Ia memberikan handphonenya, ia memutar sebuah vidio, yang ternyata benar kalau di dalam vidio itu ada kedua orang tuaku."Bagaimana, Mila? Apa sekarang kamu percaya kepadaku?" tanya Mas Reno."Mas, kok bisa sih, kamu mempunyai vidio orang tuaku? Dimana mereka sekarang?" tanyaku balik, sambil mata berkaca-kaca saking bahagianya.Aku merasa bahagia, ternyata orang tuaku masih ada. Walaupun saat ini i