“T—Tolong…”
Wanita muda yang tengah hamil besar itu tidak lain adalah Zuraya yang beberapa saat yang lalu telah diperkosa oleh Darna Dalun sebelum akhirnya ia memutuskan untuk melompat ke lembah ngarai.
Kondisinya sangatlah mengenaskan. Kedua kakinya patah, begitu juga dengan satu tangannya sementara tangannya yang lain terjulur ke arah Inyiak Mudo.
Dari kondisi pernapasannya yang sepertinya tersumbat oleh genangan darah di hidung yang patah, dan di mulut dengan bibir yang pecah, Inyiak Mudo tahu pasti bahwa Zuraya sedang berada di ujung kematiannya.
Darah juga terlihat mengalir dari selangkangan wanita muda yang adalah istri dari seorang Wali Jorong bernama Sialang Babega.
Tentu saja, mata manusia biasa tidak akan mampu melihat semua itu di tengah kegelapan malam. Tapi tidak bagi si orang tua sakti tersebut.
“I—Inyiak…” dengan napas yang hanya tersisa satu-satu, Zuraya yang tidak yakin apakah seseorang yang sedang berdiri di hadapannya itu adalah manusia ataupun jin penunggu lembah ini. Tapi, ia menggantungkan harapannya di akhir kehidupannya sendiri. “An—Anakku, tolong…”
Hanya itu, dan tangan yang terjulur terhempas ke tanah seiring nyawa wanita tersebut lepas dari raganya.
‘Mengapa manusia begitu lemah?’ gumam Inyiak Mudo di dalam hati seraya mendekati tubuh yang telah kehilangan nyawanya itu. ‘Mengapa manusia suka menindas terhadap manusia lainnya?’
Saat Inyiak Mudo berjongkok dan menyentuh perut besar wanita tersebut. Ia terperangah.
“Sungguh tidak bisa diduga sama sekali,” gumamnya kepada mayat Zuraya. “Bayi di dalam kandunganmu ternyata masih hidup. Bayi di dalam perutmu inikah yang kau sebutkan tadi?”
Tentu saja, tidak akan ada jawaban dari Zuraya yang telah kehilangan nyawanya itu.
Lalu, Inyiak Mudo teringat akan rasiannya, mimpi dan bisikan-bisikan halus yang mengganggu semadi serta tidurnya. Juga, tentang ucapan Inyiak Gadih sebelumnya itu. Semua, berkaitan satu sama lain.
Kembali Inyiak Mudo meletakkan telapak tangannya di perut Zuraya. Meski masih di dalam kandungannya, namun Inyiak Mudo sudah bisa menebak dengan tepat jenis kelamin bayi Zuraya tersebut.
“Mungkin ini sudah menjadi takdirmu…” ujarnya dengan disertai desahan napas yang halus dan panjang.
Sekejap saja, telapak tangan yang menempel di perut buncit Zuraya itu memancarkan cahaya kemilau kekuningan. Seolah kembali hidup, kedua kaki Zuraya yang patah itu membuka lebih lebar, dan seiring itu pula perut yang besar itu seolah mendapat tekanan dari dalam.
Pada akhirnya, bayi di dalam kandungan Zuraya keluar dengan sendirinya. Inyiak Mudo langsung menyambut bayi tersebut.
Bayi itu bergerak-gerak dengan masih diselimuti darah, namun tidak terdengar suara tangisan meski mulut sang bayi terlihat terbuka.
Kembali sang inyiak mendesah panjang, “Apakah ini makna rasianku terhadapmu?” ujarnya pada bayi tak bersuara di pangkuannya. “Kau menangis, namun tak banyak suara yang bisa kudengar dari mulutmu.”
Lalu, tatapannya tertuju kembali pada jasad Zuraya.
“Aku tidak tahu kehidupan seperti apa yang telah menunggu bayi perempuanmu ini… Akan tetapi, jika ini sudah takdirnya, maka, tidak ada yang bisa kulakukan selain merawat dia hingga dia bisa menjalankan takdirnya sendiri.”
Dua dari apa yang telah disampaikan Inyiak Gadih kepada Inyiak Mudo telah terbukti. Rasian itu bukanlah sekadar mimpi atau bunga tidur.
Lalu, di mana bukti ketiga?
Jika benar semua ini berkaitan dengan Kerajaan Minanga, lalu di mana lempengan tembikar dari pecahan Teratai Abadi itu?
Inyiak Mudo berdiri dan memerhatikan kondisi di sekitarnya yang gelap. Bola matanya berkilat, seakan-akan ia benar-benar dapat melihat dengan sangat jelas seperti di siang hari.
Tatapannya tertuju pada sebuah benda yang tergeletak tidak jauh dari posisi tubuh Zuraya. Inyiak Mudo mendesah halus, bukan lantaran ia yang telah menemukan bukti ketiga itu, melainkan jalan takdir di balik itu semua yang begitu menyedihkan di matanya.
Pria tua mengembangkan satu telapak tangannya ke arah benda tersebut dan seketika benda itu melayang ke dalam genggamannya.
Sebuah benda dari tembikar yang sebelumnya terjatuh secara tidak sengaja oleh Buyung Kacinduaan, merupakan abang dari bayi yang digendong oleh Inyiak Mudo, yang pada saat itu sedang bersembunyi di satu celah kecil di tebing timur Ngarai Sianok.
Pria tua yang kumis dan jenggotnya menyatu dan riap-riapan oleh angin malam yang mulai berembus kencang itu mendesah panjang ketika ia menyadari bentuk ukiran yang ada pada pecahan tembikar tersebut. Meskipun gelap, namun ia dapat merasakan guratan-guratan halus pada permukaan tembikar dengan jari-jari tangannya.
‘Benar,’ pikirnya, ‘ini adalah punca dari semua masalah yang akan terjadi!’
Inyiak Mudo mendekati jasad Zuraya. Kembali ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Ia mendesah berat lagi, lalu menghentakkan satu tangannya ke arah jasad Zuraya. Dari telapak tangannya itu, menyembur api kebiru-biruan yang langsung membakar jasad Zuraya.
“Ini lebih baik daripada jasadmu dimakan oleh hewan buas,” ujarnya dengan lirih dan tatapan yang masygul.
Bayi di dalam gendongannya mengeliat-geliat. Lagi-lagi tidak banyak suara yang keluar dari mulut bayi perempuan itu, padahal mulutnya terbuka lebar. Seharusnya, ada tangis yang terdengar dari sana.
Inyiak Mudo mafhum. Mungkin, ini disebabkan ia yang harus terlahir sebelum waktunya. Atau, bisa pula akibat dari apa yang dialami ibunya. Ia memandang ke arah tubir jurang di sisi barat itu. Ia melihat sesuatu yang berjuntai, mungkin itu akar yang tersangkut pikirnya.
Dan ia cukup yakin bahwa ibu bayi itu sebelumnya terjatuh dari tubir jurang tersebut.
“Jangan takut,” ujarnya seraya menyentuh pipi sang bayi. “Mulai sekarang, kau akan berada di bawah perlindunganku.”
Sekali lagi, Inyiak Mudo memandangi jasad yang terbakar dengan cepat itu. Setelah itu, ia memutuskan untuk meneruskan langkahnya, dan dalam sekejap saja ia menghilang di antara kegelapan malam dengan membawa bayi perempuan Zuraya dan kepingan Teratai Abadi. Ia melesat ke arah hilir aliran sungai.
***
CATATAN:
Untuk mengetahui siapakah Zuraya, Darna Dalun, Sialang Babega, dan Buyung Kacinduaan, silakan baca prekuel novel ini yang berjudul: Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa, hanya di Goodnovel ^^.
Lima tahun kemudian, Inyiak Mudo menepati janjinya terhadap istrinya, Sabai Nan Manih alias Inyiak Gadih. Hanya saja, kali ini ia datang ke Bukik Siriah dengan membawa seorang gadis kecil yang berusia lima tahun.“Kau pasti akan senang bertemu dengan Inyiak Gadih,” ujar Inyiak Mudo pada gadis kecil itu ketika mereka berada di atas sampan.Dan ya, sebagaimana dengan yang telah diperkirakan oleh Inyiak Mudo ketika ia menolong kelahiran gadis kecil itu, dia terlahir dengan kekurangan. Gadis kecil yang bahkan dalam usia semuda itu telah terlihat akan menjadi seorang gadis yang sangat cantik, sayangnya ia tidak bisa bicara. Bahkan, ia hanya bisa mendengar dengan sebelah telinga kanannya saja.Sebab itulah, ia membalas ucapan Inyiak Mudo hanya dengan gerakan isyarat tangannya.‘Benarkah, Inyiak?’Inyiak Mudo terkekeh seraya mengusap kepala gadis kecil. Ia mendayung sampannya hanya sesekali saja, namun itu sudah lebih daripada cukup untuk membuat sampan itu meluncur dengan sangat cepat.Dala
“Diam kau, Tua Bangka!”“Oh, Dewata Yang Agung,” keluh Inyiak Mudo berpura-pura bersedih hati. “Padahal aku yang merawatnya.”“Apakah kau juga tidak akan mengalah padaku untuk yang satu ini?”Inyiak Mudo hanya bisa tersenyum menahan tawa di dalam hatinya. Sesungguhnya, memang itulah yang ia inginkan, ketenangan sang istri. Lagi pula, sudah tidak terhitung entah berapa kali ia mengalah kepada istrinya tersebut. Termasuk, dengan harus hidup berjauhan.“Baiklah, baiklah,” ucap Inyiak Mudo. “Puti Bungo Satangkai. Kau puas?”“Sudah seharusnya!” balas Inyiak Gadih seraya menggendong si gadis kecil. “Kau suka nama pemberianku itu, Sayang?”Gadis kecil tersenyum dan mengangguk-angguk.“Anak pintar!” Inyiak Gadih tertawa pelan. “Kelak, jangan jadi seperti si Tua Bangka itu! Dia tidak bisa diandalkan!”“Hei, hei,” Inyiak Mudo menahan tawanya. “Jangan menjelek-jelekkanku di hadapan anak asuhku sendiri!”“Mari, Bungo,” ujar Inyiak Gadih dengan tidak menggubris ucapan sang suami. “Kita akan pergi
Semenjak kehadiran Puti Bungo Satangkai di pulau di mana Inyiak Mudo tinggal, maka semenjak itu pula ia selalu bisa menghindari pertarungannya dengan Inyiak Gadih. Selalu saja ada alasan yang bisa ia kemukakan untuk menghindari pertikaiannya dengan istrinya tersebut.Pendek kata, Puti Bungo Satangkai menjadi penengah di antara Inyiak Mudo dan Inyiak Gadih.Terhitung sudah tiga kali pertarungan itu dibatalkan. Yang pertama tepat ketika Puti Bungo Satangkai berusia lima tahun, lalu yang kedua ketika ia berusia lima belas tahun, dan yang ketiga ketika Puti Bungo Satangkai telah berusia 25 tahun.Usaha Inyiak Gadih untuk memulihkan kebisuan dan pendengaran telinga kiri sang gadis tidak membuahkan hasil. Puti Bungo Satangkai memang mengalami kecacatan semenjak di dalam kandungan ibunya, imbas dari terjatuhnya sang ibu ketika itu ke dasar ngarai.Tapi semua kekurangan itu bukanlah penghalang bagi Puti Bungo Satangkai untuk melakukan banyak hal sebagaimana manusia lainnya. Ia belajar menulis
“Kau tahu, Anakku,” kata Inyiak Mudo seraya menghela napas begitu dalam. “Kau sudah tidak mungkin lagi aku tahan-tahan untuk melihat dunia luar.‘Tapi, aku masih suka menemani Inyiak Mudo di sini.’“Aku tahu,” Inyiak Mudo tersenyum. “Terima kasih, dalam masa tiga puluh tahun ini kau telah menemaniku di sini. Kau menjadi penengah kemelut di antara aku dan Sabai Nan Manih sehingga kami berdua tidak perlu bertarung.”‘Aku merasa tidak melakukan apa-apa.’Inyiak Mudo terkekeh seraya mengangguk-angguk kecil. “Kau tahu, ada sebagian orang yang patut mendapat pujian, namun lebih banyak lagi yang tidak meski sudah berusaha dengan segala cara. Kau gadis yang baik, Anakku. Kuharap, kelak kau tetaplah berpendirian seperti sekarang ini. Jangan biarkan buruknya dunia mengelabuimu.”‘Terima kasih, Inyiak. Aku pasti akan mengingat nasihat Inyiak.’“Kau harus ingat satu hal lagi, Bungo,” kata Inyiak Mudo. “Aku memberitahukan tentang ibumu bukan berarti aku memintamu untuk mencari penyebab semua perka
“Bungo, pergilah…!” ucap Inyiak Mudo tanpa berpaling sedikitpun kepada Puti Bungo Satangkai.Tapi sang gadis tak hendak beranjak dari sana. Bagaimanapun, ia melihat hal berbeda pada Inyiak Gadih yang masih berada jauh di depan sana, di atas sampan yang melaju sangat cepat.‘Itukah aura asli dari Inyiak Gadih?’ tanya sang gadis di dalam hati.Selama ini, Puti Bungo Satangkai tidak sekalipun melihat perubahan pada Sabai Nan Manih. Perjanjian perkelahian wanita sepuh itu dengan sang suami selalu tidak terjadi selama adanya Puti Bungo Satangkai.Lalu, apa yang membawa Inyiak Gadih mendatangi Pulau Sinaka ini? Bukankah perjanjian itu sendiri sekali dalam sepuluh tahun, dan itu terhitung masih ada lima tahun lagi? Lagi pula, bila memang mereka akan bertarung, bukankah selalu Inyiak Mudo yang datang ke Bukik Siriah?Apa pun penjelasan di balik kemunculan Sabai Nan Manih ke pulau itu, yang pasti, itu bukanlah sesuatu yang baik. Puti Bungo Satangkai dapat merasakan hawa panas yang luar biasa b
Sayangnya seribu kali disayang, Sabai Nan Manih pulih dengan membawa kepribadian lain yang muncul di dalam dirinya. Dan semenjak itulah, pertarungan selalu terjadi di antara keduanya. Sampai suatu ketika, Inyiak Mudo berhasil merayu istrinya agar mereka bertemu sekali dalam sepuluh tahun.Dengan alasan untuk saling memperkuat kesaktian masing-masing, lalu mengadu kesaktian itu pada penghujung di setiap sepuluh tahun.Dan sepertinya, untuk kali ini, Puti Bungo Satangkai tidak akan mungkin bisa mencegah pertempuran keduanya seperti di tahun-tahun sebelumnya.Kali ini semua harus berakhir di sini, pikir Inyiak Mudo. Mungkin, inilah alasannya mengapa dalam seminggu ini ia selalu merasa ada yang salah di dalam dirinya. Alasan yang sama mengapa ia mengatakan bahwa kematiannya sudah semakin dekat kepada Puti Bungo Satangkai sebelumnya.Angin kencang membawa hawa panas seiring semakin dekatnya Sabai Nan Manih ke tepian pantai. Hanya belasan langkah lagi saja, ia melontarkan tubuhnya lebih tin
Setiap kali keduanya berpindah tempat dalam perkelahian mereka, setiap kali itu pula Puti Bungo Satangkai mengikuti. Tujuannya hanya satu, mengamati setiap gerakan kedua sesepuh itu agar kemampuan dan kesaktian yang telah ia warisi bisa mencapai tahap seperti keduanya.Permukaan air laut di sekitar mereka membuncah seiring pergerakan silat keduanya, seolah-olah permukaan air adalah sesuatu yang padat bagi kaki-kaki mereka sehingga dengan mudahnya mereka bergerak bebas dalam melakukan serangan demi serangan.Pertarungan di antara pasangan suami-istri itu terus terjadi, dari pagi hingga rembang petang. Dan selama itu pula Puti Bungo Satangkai setia mengawasi keduanya.Tidak ada keletihan yang terlihat oleh sang dara pada kedua sesepuh tersebut, tidak pula masing-masing mau mengalah—setidaknya, menghentikan pertarungan itu sendiri. Atau mungkin beristirahat barang sejenak sebelum melanjutkan pertarungan mengingat keduanya sudah bertarung lebih dari setengah hari.Ada kalanya Puti Bungo S
Sang dara ingin protes pada kedua sesepuh itu yang menjadikan tubuhnya sebagai sarana dalam mereka mengadu kesaktian. Hanya saja, ia yang bisu menyebabkan suara yang keluar dari mulutnya hanya berupa ha-hu ha-hu saja. Sementara, ia seolah kehilangan kendali atas kedua tangannya sendiri.“Tenangkan dirimu!” ucap Inyiak Mudo terhadap Puti Bungo Satangkai. “Kosongkan pikiran. Jangan memikirkan tentang apa pun, Bungo!”Bersamaan dengan berakhirnya ucapan Inyiak Mudo, ia lantas menyalurkan tenaga dalamnya ke dalam tubuh sang dara dengan kekuatan penuh. Dan hal tersebut bersamaan dengan Sabai Nan Manih yang juga melakukan hal yang sama dengan Inyiak Mudo.Dalam keadaan tidak tahu apa-apa dan tiba-tiba terseret menjadi sarana bagi kedua sesepuh itu, Puti Bungo Satangkai dengan cepat melakukan apa yang dikatakan oleh Inyiak Mudo, meskipun harus dengan sedikit kesulitan.Sang gadis mengernyit hebat dengan mata terpejam, hanya dalam hitungan detik keringat sebesar bulir-bulir padi telah muncul