“Kau tahu, Anakku,” kata Inyiak Mudo seraya menghela napas begitu dalam. “Kau sudah tidak mungkin lagi aku tahan-tahan untuk melihat dunia luar.
‘Tapi, aku masih suka menemani Inyiak Mudo di sini.’
“Aku tahu,” Inyiak Mudo tersenyum. “Terima kasih, dalam masa tiga puluh tahun ini kau telah menemaniku di sini. Kau menjadi penengah kemelut di antara aku dan Sabai Nan Manih sehingga kami berdua tidak perlu bertarung.”
‘Aku merasa tidak melakukan apa-apa.’
Inyiak Mudo terkekeh seraya mengangguk-angguk kecil. “Kau tahu, ada sebagian orang yang patut mendapat pujian, namun lebih banyak lagi yang tidak meski sudah berusaha dengan segala cara. Kau gadis yang baik, Anakku. Kuharap, kelak kau tetaplah berpendirian seperti sekarang ini. Jangan biarkan buruknya dunia mengelabuimu.”
‘Terima kasih, Inyiak. Aku pasti akan mengingat nasihat Inyiak.’
“Kau harus ingat satu hal lagi, Bungo,” kata Inyiak Mudo. “Aku memberitahukan tentang ibumu bukan berarti aku memintamu untuk mencari penyebab semua perkara itu, tidak pula memintamu untuk membalaskan dendam andai memang ibumu mati akibat ulah seseorang. Dendam hanya melahirkan keburukan. Memaafkan, itu lebih mulia daripada kau harus mengumbar angkara murka.”
‘Apakah ada sesuatu yang telah terjadi, Inyiak?’ tanya Puti Bungo Satangkai dengan bahasa isyaratnya itu.
Inyiak Mudo tersenyum, namun helaan napasnya yang berat berulang kali itu jelas menyatakan ada sesuatu yang salah. Setidaknya, itulah yang dipikirkan oleh sang gadis.
“Kau bahkan memiliki penglihatan yang sangat tajam,” ucap Inyiak Mudo. “Sama persis seperti Sabai Nan Manih.”
‘Inyiak, ada apa sebenarnya?’
Kembali Inyiak Mudo tersenyum dalam helaan napasnya yang panjang.
“Entahlah,” ujarnya.
‘Inyiak?’
“Dalam tujuh hari ke belakang ini,” kata Inyiak Mudo, “aku seolah merasa kematianku akan segera tiba, Anakku.”
‘Inyiak! Jangan berkata seperti itu!’
“Tidak, Bungo. Ini bukanlah sekadar kata-kata tak beralasan, atau pula perasaan yang tak menentu. Semakin ke sini, aku semakin dapat merasakan tajamnya pedang Dewa Kematian. Lagi pula, aku telah hidup lebih daripada yang dibutuhkan di dunia ini, Anakku.”
‘Lalu, bagaimana denganku bila Inyiak telah tiada?’
Inyiak Mudo tersenyum. “Kau gadis yang baik, Bungo. Kau sudah menguasai banyak hal daripada apa yang bisa aku ajarkan padamu. Kau pasti bisa menjaga dirimu kelak. Pulau kecil ini bukanlah tempatmu. Bagaimanapun, kau berasal dari daratan utama. Di sanalah seharusnya kau berada, Anakku.”
‘Tapi kemampuanku tak sebaik Inyiak,’ Puti Bungo Satangkai tertunduk lesu, tatapannya kembali tertuju pada kepingan tembikar di pangkuannya. ‘Bagaimana mungkin aku bisa menghadapi dunia ini nantinya, Inyiak?’
“Tidak perlu kau ambil pusing, Bungo,” kata Inyiak Mudo. “Segala hal di dunia ini, kau tidak harus mengetahuinya, tidak harus memahaminya. Akan tetapi, belajarlah dari alam.”
‘Dari alam?’
“Pepatah tua mengatakan: Alam terkembang menjadi guru,” lagi, Inyiak Mudo menghela napas dalam-dalam seolah ada beban yang sangat berat yang sekarang ia tanggung. “Tetap dengarkan apa kata hatimu, jangan biarkan pikiran dan hasutan mengendalikan dirimu, Anakku. Baik dan buruk dalam kehidupan hanyalah batas semu, setipis kulit ari.”
‘Entahlah, Inyiak. Mendengar Inyiak berkata seperti ini saja, aku sudah merasa kehilangan pegangan.’
“Bungo, Anakku,” Inyiak Mudo menggengam erat tangan sang gadis. “Dengarkan aku, Nak. Kau tidak berutang apa pun padaku, tidak pula pada dunia ini. Hiduplah sebagaimana yang engkau suka, tapi tetaplah berpegang pada hati kecilmu.”
‘Bagaimana dengan kepingan tembikar ini?’
“Pilihan ada di tanganmu, Bungo,” kata Inyiak Mudo. “Aku hanya menyampaikan apa yang menjadi bagian dari kejadian yang menimpa ibumu. Selebihnya, apa pun pilihanmu nanti, kaulah yang akan bertanggung jawab sepenuhnya. Takdirmu, jalan hidupmu. Dan janjiku padamu mendiang ibumu, telahaku tepati hingga ke sekarang ini.”
‘Apakah Inyiak akan mengusirku?’
Inyiak Mudo tertawa-tawa seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. “Gadis bodoh!” ujarnya, dan itu membuat Puti Bungo Satangkai menjadi tersipu malu. “Meskipun kau bukan darah dagingku, tapi aku dan istriku telah menganggapmu sebagai anak kami sendiri. Mengusirmu? Itu tidak akan terjadi, Anakku.”
‘Aku tahu,’ sang gadis tersenyum lagi, ia menyimpan kepingan itu pada obi di pinggangnya. ‘Terima kasih.’
“Untuk apa?”
‘Untuk semua hal,’ kata sang gadis dengan gerakan kedua tangannya itu. ‘Membantu kelahiranku, merawatku, membesarkanku… memenuhi janji terhadap ibuku.’
Inyiak Mudo terkekeh-kekeh lagi dengan anggukan kepalanya. “Tidak, kau tidak perlu berterima kasih padaku, Bungo. Bagaimanapun, kehadiranmu di antara kami adalah anugerah tersendiri yang tidak akan mungkin kami tampik begitu saja. Jadi, anggap saja antara kau dan kami semua hal telah impas.”
‘Sekali lagi, terima kasih,’ sang gadis tersenyum dengan sangat manis bersamaan dengan air mata yang semenjak tadi menggantung di pelupuknya, akhirnya luruh juga menuruni pipinya yang halus dan bersih.
“Anakku,” ucap Inyiak Mudo demi melihat air mata sang gadis yang luruh itu. “Kau tidak perlu menangis seperti itu.”
‘Aku tidak tahu, Inyiak. Dadaku terasa sesak, keharuan ini begitu besar untuk kutampung.’
“Oh, anakku yang malang.”
Padahal pria sepuh itu duduk sejangkauan tangan di hadapan Puti Bungo Satangkai, hanya saja, sang gadis justru dapat merasakan usapan lembut di kepalanya.
“Sudahlah, Anakku,” kata Inyiak Mudo. “Sudah kukatakan bukan? Kau tidak berutang apa pun padaku. Jalanilah hidupmu sesuai dengan kata hatimu.”
Angin yang berembus dari arah timur seolah membawa aroma sesuatu dari daratan utama Andalas. Hal ini langsung dapat diketahui baik oleh Inyiak Mudo maupun oleh Puti Bungo Satangkai sendiri.
‘Inyiak! Apakah—’
“Tidak, Anakku,” ucap Inyiak Mudo yang langsung saja melompat dengan sangat ringannya ke tepian pantai di sisi timur Pulau Sinaka. “Tetaplah di tempatmu, Bungo!”
Meski orangnya sendiri telah berada jauh di tepian pantai, namun suara itu terdengar jelas layaknya ia berbicara di dekat sang gadis.
Hanya saja, Puti Bungo Satangkai yang merasakan ada yang aneh dengan Inyiak Mudo sendiri lantas melesat ke arah yang sama. Ia tercengang bahkan sebelum kakinya menginjak tanah kala melihat seseorang yang datang dengan menggunakan sebuah sampan itu.
‘Inyiak Gadih?’ ucap Puti Bungo Satangkai di dalam hati. ‘Apa yang terjadi?’
“Bungo, pergilah…!” ucap Inyiak Mudo tanpa berpaling sedikitpun kepada Puti Bungo Satangkai.Tapi sang gadis tak hendak beranjak dari sana. Bagaimanapun, ia melihat hal berbeda pada Inyiak Gadih yang masih berada jauh di depan sana, di atas sampan yang melaju sangat cepat.‘Itukah aura asli dari Inyiak Gadih?’ tanya sang gadis di dalam hati.Selama ini, Puti Bungo Satangkai tidak sekalipun melihat perubahan pada Sabai Nan Manih. Perjanjian perkelahian wanita sepuh itu dengan sang suami selalu tidak terjadi selama adanya Puti Bungo Satangkai.Lalu, apa yang membawa Inyiak Gadih mendatangi Pulau Sinaka ini? Bukankah perjanjian itu sendiri sekali dalam sepuluh tahun, dan itu terhitung masih ada lima tahun lagi? Lagi pula, bila memang mereka akan bertarung, bukankah selalu Inyiak Mudo yang datang ke Bukik Siriah?Apa pun penjelasan di balik kemunculan Sabai Nan Manih ke pulau itu, yang pasti, itu bukanlah sesuatu yang baik. Puti Bungo Satangkai dapat merasakan hawa panas yang luar biasa b
Sayangnya seribu kali disayang, Sabai Nan Manih pulih dengan membawa kepribadian lain yang muncul di dalam dirinya. Dan semenjak itulah, pertarungan selalu terjadi di antara keduanya. Sampai suatu ketika, Inyiak Mudo berhasil merayu istrinya agar mereka bertemu sekali dalam sepuluh tahun.Dengan alasan untuk saling memperkuat kesaktian masing-masing, lalu mengadu kesaktian itu pada penghujung di setiap sepuluh tahun.Dan sepertinya, untuk kali ini, Puti Bungo Satangkai tidak akan mungkin bisa mencegah pertempuran keduanya seperti di tahun-tahun sebelumnya.Kali ini semua harus berakhir di sini, pikir Inyiak Mudo. Mungkin, inilah alasannya mengapa dalam seminggu ini ia selalu merasa ada yang salah di dalam dirinya. Alasan yang sama mengapa ia mengatakan bahwa kematiannya sudah semakin dekat kepada Puti Bungo Satangkai sebelumnya.Angin kencang membawa hawa panas seiring semakin dekatnya Sabai Nan Manih ke tepian pantai. Hanya belasan langkah lagi saja, ia melontarkan tubuhnya lebih tin
Setiap kali keduanya berpindah tempat dalam perkelahian mereka, setiap kali itu pula Puti Bungo Satangkai mengikuti. Tujuannya hanya satu, mengamati setiap gerakan kedua sesepuh itu agar kemampuan dan kesaktian yang telah ia warisi bisa mencapai tahap seperti keduanya.Permukaan air laut di sekitar mereka membuncah seiring pergerakan silat keduanya, seolah-olah permukaan air adalah sesuatu yang padat bagi kaki-kaki mereka sehingga dengan mudahnya mereka bergerak bebas dalam melakukan serangan demi serangan.Pertarungan di antara pasangan suami-istri itu terus terjadi, dari pagi hingga rembang petang. Dan selama itu pula Puti Bungo Satangkai setia mengawasi keduanya.Tidak ada keletihan yang terlihat oleh sang dara pada kedua sesepuh tersebut, tidak pula masing-masing mau mengalah—setidaknya, menghentikan pertarungan itu sendiri. Atau mungkin beristirahat barang sejenak sebelum melanjutkan pertarungan mengingat keduanya sudah bertarung lebih dari setengah hari.Ada kalanya Puti Bungo S
Sang dara ingin protes pada kedua sesepuh itu yang menjadikan tubuhnya sebagai sarana dalam mereka mengadu kesaktian. Hanya saja, ia yang bisu menyebabkan suara yang keluar dari mulutnya hanya berupa ha-hu ha-hu saja. Sementara, ia seolah kehilangan kendali atas kedua tangannya sendiri.“Tenangkan dirimu!” ucap Inyiak Mudo terhadap Puti Bungo Satangkai. “Kosongkan pikiran. Jangan memikirkan tentang apa pun, Bungo!”Bersamaan dengan berakhirnya ucapan Inyiak Mudo, ia lantas menyalurkan tenaga dalamnya ke dalam tubuh sang dara dengan kekuatan penuh. Dan hal tersebut bersamaan dengan Sabai Nan Manih yang juga melakukan hal yang sama dengan Inyiak Mudo.Dalam keadaan tidak tahu apa-apa dan tiba-tiba terseret menjadi sarana bagi kedua sesepuh itu, Puti Bungo Satangkai dengan cepat melakukan apa yang dikatakan oleh Inyiak Mudo, meskipun harus dengan sedikit kesulitan.Sang gadis mengernyit hebat dengan mata terpejam, hanya dalam hitungan detik keringat sebesar bulir-bulir padi telah muncul
Sang dara membuka mata setelah ia menenangkan diri dan menenangkan dua tenaga dalam yang sebelumnya berkecamuk di dalam dirinya. Ia menemukan bahwa Inyiak Mudo sedang menatap kepada Inyiak Gadih, pun begitu sebaliknya.“Sabai, istriku…” ucap Inyiak Mudo dengan begitu lirih dan lelehan darah dari sudut bibir, juga dari dua lubang hidung.“Suamiku…” sahut Inyiak Gadih dengan kondisi nyaris serupa.Dan detik selanjutnya, kedua sesepuh itu sama hening dengan kepala terkulai, menekuk. Namun yang pasti, Puti Bungo Satangkai sama menemukan satu senyuman di bibir kedua sesepuh tersebut.Ia segera bangkit, dan mendekati Inyiak Gadih, mencoba mencari tahu apakah wanita sepuh itu hanya pingsan saja, atau justru telah meninggal dunia.Meskipun tubuh wanita sepuh itu masih terasa hangat bagi Puti Bungo Satangkai, namun ia tidak menemukan denyut kehidupan pada nadi di pergelangan tangannya, tidak pula di lehernya. Sang dara memastikan sekali lagi dengan mencoba merasakan embusan napas di sekitar lu
Diilhami oleh pertarungan Inyiak Mudo dengan Inyiak Gadih, dan perkelahian yang saling melilit kedua belut moray itu, Puti Bungo Satangkai menggabungkan beberapa unsur dari empat jenis kesaktian yang telah ia kuasai.Selama tujuh purnama ke depan, hal baru itulah yang coba dikembangkan dan dikuasai oleh sang dara.Puti Bungo Satangkai mungkin tidak akan pernah tahu siapa orang tuanya, namun, sebagaimana dengan kakak laki-lakinya yang juga tidak pernah ia ketahui ada—Buyung Kacinduan alias Mantiko Sati, sang dara juga mewarisi kejeniusan ayahnya—Sialang Babega. Juga, kecantikan dari ibunya, Zuraya. Ditambah, bekal yang sudah ditunjukajarkan oleh Inyiak Mudo dan Inyiak Gadih selama ini, jadilah sang dara berhasil menciptakan kesaktian yang benar-benar baru.Gerakan-gerakan tubuh sang gadis dalam rentak jurus silatnya itu terlihat seperti seorang yang sedang menari dengan gemulai, tiada kesan kekerasan sama sekali dalam gerakannya itu. Hanya saja, setiap gerakan tangan, kaki, bahkan sepa
Di atas sampan kecil milik mendiang Inyiak Mudo, Puti Bungo Satangkai berdiri menatap ke arah Pulau Sinaka yang semakin jauh dan semakin jauh ia tinggalkan. Air matanya telah berlinang semenjak ia meninggalkan tepian pantai tadi.‘Selamat tinggal, Inyiak Mudo, Inyiak Gadih, aku memulai langkahku sendiri di kehidupan yang lebih nyata. Aku akan selalu mengingat Inyiak berdua, mengingat semua pesan dan nasihat kalian…’Sampan kecil terus bergerak ke arah timur, ke pulau besar bernama Andalas. Di mana, di sanalah nanti perjalanan yang sesungguhnya dari Puti Bungo Satangkai akan bermula.Mengandalkan ingatan dan jalur yang biasa dilalui oleh Inyiak Mudo sebelum-sebelum ini, Puti Bungo Satangkai mengambil jalur yang sama pula. Ia juga melabuhkan sampannya berjauhan dari keramaian Bandar Bangkahulu.Tapi di titik itu kini juga telah ramai. Titik di mana sering digunakan Inyiak Mudo untuk menambatkan sampannya di masa-masa yang lalu. Sehingga ketika gadis jelita itu menepikan sampannya, ia me
Pada masa itu, Kerajaan Minanga masih dipimpin oleh si Kuciang Ameh yang bergelar Rajo Bungsu yang sudah berusia 60 tahun. Permaisurinya adalah Upik Andam—48 tahun, yang bergelar Ratu Nan Sabatang sebab ia adalah anak tunggal dalam keluarganya. Tiga belas tahun kepemimpinan Rajo Bungsu di Istana Minanga, kondisi kehidupan rakyat telah jauh lebih baik daripada sebelumnya. Keberadaan Ratu Mudo alias Puti Pandan Sahalai semenjak menikah dengan Buyung Kacinduaan alias Mantiko sati, dan setelah menyerahkan tampuk kekuasaan pada si Kuciang Ameh, tidak lagi diketahui. Pasangan suami-istri muda itu menghilang tanpa jejak seolah ditelan oleh bumi. Beberapa kali Rajo Bungsu mencoba mengutus orang-orang istana guna menyambung tali persaudaraan di antara mereka, namun selalu berakhir dengan kegagalan. Tapi paling tidak, Rajo Bungsu yakin bahwa kemenakannya si Puti Pandan Sahalai itu berada di tangan yang aman, Mantiko Sati bukanlah pemuda sembarangan. Ia pendekar yang berilmu tinggi dan sangat