"Upss!"
Kress! Seperti meremas tahu, batu dinding gua itu langsung hancur. Tentu saja tubuh telanjang Manggala langsung meluncur ke bawah dengan deras.
Jlegg! Bless!
Begitu menyentuh tanah, sepasang kaki bocah buta yang kini bisa melihat itu, langsung amblas setinggi lutut!
"Wah ... kok aku jadi hebat begini?"
Disentuhnya tanah didepannya dengan jari telunjuk kiri.
Bless! Tanah langsung bolong bundar!
"Jariku pun juga jadi hebat!" seru Manggala girang, "... kalau gini sih jadi mendadak sakti dong!" Bukan mendadak dangdut, lho!
Pelan-pelan ia mengangkat kaki kiri keluar dari lubang, diikuti kaki kanan dikeluarkan pula. "Jadi orang sakti susah juga, harus bisa mengatur tenaga biar tidak kelewar takaran." keluhnya.
Saat ia menunduk dengan maksud melihat bekas injakan kaki, si Manggala terlonjak kaget. Kini matanya dapat melihat dengan jelas rajah petir yang ada di dadanya yang tidak mengenakan pakaian.
“Jadi, apa yang ku alami tadi, bukan mimpi rupanya...” ucap Manggala temenung.
Begitulah ... sesorean Manggala sibuk dengan hal-hal baru. Mata melek, lalu adanya lonjakan tenaga dalam yang berubah ribuan kali lipat, hingga perubahan postur tubuh yang menjadi lebih kekar, bahkan kulit menjadi lebih liat dan kenyal. Adakalanya ia mencoba jadi orang buta dan berjalan dengan tongkat batu yang ditemukannya ditempat itu sambil mengetuk-ngetuk tanah! Sejak kecil, Manggala memang selalu berjalan menggunakan bantuan tongkatnya. Sayang, tongkatnya hilang, saat terjadi peristiwa mengenaskan ditengah laut, saat dirinya diserang oleh kedua orang senopati Istana Dasar Samudra tersebut.
Namun, ada satu hal yang tidak bisa ditinggalkan oleh Manggala yaitu kebiasaan mengetuk-ngetukkan tongkat ke tanah seperti orang buta berjalan dan justru yang tidak disadari oleh si bocah, meski matanya bisa melihat seperti mata orang pada umumnya, bahkan mungkin lebih tajam, tapi bola mata si Manggala tetap berwarna putih bersih. Mata orang buta!
-o0o-SETELAH cukup lama merenungi nasibnya, Manggala memutuskan untuk segera mencari jalan keluar dari tempat itu. Maka dengan tongkat batu ditangan, segera diselusurinya tempat itu. Manggala merasakan udara di dalam goa ini begitu lembab dan dingin. Semakin masuk ke dalam, semakin gelap dan berkabut tebal. Untunglah Manggala memiliki aji 'Mata Kilat' yang diperolehnya dari kekuatan Tenaga Inti Geledek. Dengan ajian tersebut dia bisa melihat jelas bagaikan melihat di bawah cahaya matahari.
Sebentar dia mengamati keadaan. Rongga dasar jurang ini sangat luas, dan di tengah-tengahnya mengalir sungai yang sangat deras. Airnya berwarna putih bagai susu. Tulang-tulang tengkorak manusia dan binatang berserakan. Hidungnya kembang kempis mencium bau busuk yang sangat menyengat. Bau busuk itu datang dari mayat-mayat yang bergelimpangan di sekitar dasar jurang ini. Manggala memperhatikan mayat-mayat itu.
Manggala meneliti satu per satu mayat-mayat itu. Dia berusaha keras untuk menahan bau busuk yang semakin menyengat memualkan. Sudah semua mayat dia periksa, dan desahnya terdengar panjang.
"Apa yang sebenarnya terjadi ditempat ini..," desah Manggala bergumam.
"Hsss...!"
Manggala tersentak kaget ketika mendengar suara mendesis yang keras dari arah belakang. Begitu dia berbalik, kedua matanya terbelalak dan mulutnya ternganga lebar. Hampir dia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
"Oh...."
"Ya, Tuhan..., apakah aku sedang berhadapan dengan penguasa tempat ini?" desah Manggala pelan.
Di hadapan Manggala menjulur seekor ular berwarna putih yang besar sekali. Lingkar tubuhnya lebih besar dari pohon beringin tua. Kepalanya bertanduk dengan mahkota di tengah-tengahnya. Lidahnya yang bercabang menjulur-julur ke luar. Matanya bagai bola api menatap tajam pada Manggala. Sebagian tubuhnya terendam air sungai berwarna putih. Tampak sepasang kaki menyembul ke luar ketika kepala ular besar itu terangkat naik.
“Ularkah? Nagakah?!” Manggala bingung melihat wujudnya, di bilang seekor ular, tapi memiliki sepasang kaki. Di bilang seekor naga, tapi bentuknya lebih mirip ular.
"Hosss...!"
"Heh! Hooop.,.!"
Manggala kaget bukan main ketika tiba-tiba ular putih raksasa itu menyerangnya. Secepat kilat Manggala menghindar dengan melompat ke belakang. Moncong sebesar gentong itu menyeruduk tanah yang dipijak Manggala tadi. Ular putih raksasa itu mendesis marah melihat calon mangsanya luput dari terkaman.
Byar!
"Hih!" Manggala. membanting dirinya ke tanah dan bergulingan menghindari semburan api yang ke luar dari mulut ular putih raksasa itu. Bukan alang kepalang kagetnya dia melihat batu sebesar kerbau hancur jadi debu kena semburan api itu. Manggala bergegas bangun, dan langsung siap untuk menerima serangan yang berikutnya.
Dan ketika kepala ular putih raksasa itu menyerang dengan cepat, seketika itu pula tubuh Manggala melenting ke udara, lalu bagaikan kilat dia menukik seraya mengerahkan serangannya.
Pukulan dan tendangan Manggala itu telak dan beruntun menghantam kepala ular putih raksasa itu.
"Edan!" rungut Manggala.
Ular putih raksasa itu hanya menggeram sedikit, dan langsung berbalik menyerang lagi. Manggala kemudian menyalurkan Tenaga inti Segoro (Samudra) pada kedua tangannya.
Beberapa kali tangannya menyambar menghantam tubuh dan kepala ular itu, namun sama sekali tidak berpengaruh. Bahkan binatang raksasa itu semakin buas saja.
"Gelombang Samudra Biru, Heaa!" desis Manggala. Dan dengan kecepatan bagai kilat, kedua telapak tangan yang merapat di dada itu segera disentakkan ke arah ular putih raksasa itu.
Wuuut...!
Dari telapak tangan itu keluar selarik sinar warna biru. Bentuknya panjang, lurus, dan bergelombang seperti ombak.
Zlaaab...!
Menghantamkan ke arah kepala ular putih raksasa itu.
Glarrr!
Suara ledakan keras terdengar begitu kedua tangan Manggala mendarat telak diatas kepala ular putih raksasa itu.
"Akh!" Manggala memekik tertahan.
Seluruh tubuhnya bergetar hebat, dan dia terpental beberapa depa jauhnya. Ular putih raksasa itu tetap tidak kurang suatu apapun. Manggala itu terperangah hampir tidak percaya. Batu cadas sebesar bukit bisa hancur oleh pukulan maut pemberian ayahnya, Raja Samudra itu, tapi ular putih raksasa ini... terluka saja dia tidak.
"Huh! Terpaksa kugunakan ajian pamungkas itu, walaupun belum sempurna...," desah Manggala mendengus.
Manggala bersiap. Pusaran angin tercipta dari sekeliling tubuh Manggala, Pusaran tersebut tercipta sebagai bentuk pengembangan ilmu ‘Segoro’ (Samudra). Bagai badai yang berputar memusat, menciptakan gemuruh dan meruntuhkan ranting dan dahan di sekitar Manggala. Anehnya, hawa yang keluar dari tubuh Manggala tidaklah dingin, melainkan berhawa panas.
Kedua mata Manggala terpejam, kaki kanannya menekuk sedang lutut kirinya menyentuh tanah. Kedua tangannya mengepal. Matanya terpejam merapal mantra. Tubuh itu bergetar hebat, kulit yang terbuka terlihat mengelam, daya penuh tenaga telah berkumpul siap untuk dilepaskan. Perlahan kedua mata Manggala membuka, mata putihnya menatap tajam ke arah Ular Putih raksasa dihadapanya. Lalu kedua tangannya mengembang, sepersekian detik kemudian tubuh itu melesat tinggi ke udara menciptakan sinar panas maha dasyat kemerahan di seluruh tubuh Manggala. Saat tubuh berselaput ajian maha sakti, kesadaran tak lagi dapat dimiliki sepenuhnya, tubuh dapat bergerak sendiri tanpa kendali, menyerang secara penuh ke lawan yang dituju.
Tanah bergetar, beberapa batu besar yang ada di tempat itu hancur tak kuasa menahan dasyatnya hawa pertempuran. Mata Manggala sedikit menyipit melihat ular putih raksasa itu bergerak mundur. Kepalanya miring ke kiri dan ke kanan beberapa kali. Sepertinya dia jerih dengan hawa panas yang keluar dari tubuh Manggala.
"Anak muda, siapa kau? Dari mana kau peroleh Ajian Gelombang Samudra Merah itu?"
"Heh! Kau...."
-o0o-
Bukan main terkejutnya Manggala mendengar ular putih raksasa itu bisa berbicara seperti manusia. Manggala sampai terlonjak ke belakang sejauh dua batang tombak. Paras wajahnya diliputi keheranan bercampur ketidakpercayaan."Kau.... Kau bisa bicara?" tanya Manggala tidak percaya dengan pendengarannya sendiri."Apa telingamu sudah tuli, heh?!" bentak ular putih raksasa itu."Tidak..., aku tidak bermimpi. Dia benar-benar bicara," Manggala seperti orang tolol."Jangan berlagak bodoh, anak muda! Dari mana kau peroleh Ajian Gelombang Samudra Merah itu?"Manggala diliputi rasa tidak percaya dan keheranan yang amat sangat. Baru kali ini dia bertemu dengan seekor ular putih raksasa aneh yang bisa bicara. Manggala baru menyadari kalau binatang itu adalah seekor ular bermahkota.Sungguh sulit dipercaya. Manggala sering mendengar cerita tentang ular, tapi belum pernah Manggala mendengar ada ular berukuran begitu besar yang kini ada di depannya. Dan semua itu bukanlah mimpi, tapi kenyataan yang di
"Oh...!" Manggala langsung berlutut memberi hormat."Bangunlah, kau tamu kehormatanku. tidak sepantasnya kau berlaku sungkan begitu," kata Raja Siluman Ular Putih.Manggala bangkit dari berlutut. Kepalanya tetap tertunduk. Sepertinya dia tidak sanggup membalas tatapan mata raja ular itu. Tatapan matanya begitu dalam, dan memiliki daya kekuatan yang amat dahsyat."Kau murid sahabatku, Manggala, Aku senang bertemu denganmu,”“Sejak tadi, kau menyebut murid sahabatku. Maaf, aku bukan hanya murid, tapi juga putra ayahku, Raja Samudra”Kali ini, wajah Raja Siluman Ular Putih sedikit berubah, tapi cuma sesaat, yang sesaat kemudian sudah berubah tenang bagaikan air.“Ada sesuatu yang ingin kuberitahukan padamu, Manggala. Ku harap, kau siap untuk mendengar dan menerima kenyataan” ucap Raja Siluman Ular Putih diiringi perubahan di wajah Manggala. Tapi Manggala tetap diam menanti. Melihat kediaman Manggala. Raja Siluman Ular Putih melanjutkan ucapannya, “Kau mungkin hanya murid sahabatku, Raja
"Hm, sejak pertama kali kau berada di istanaku, aku sudah menduga kalau kau bukan tanpa sengaja berada di tempat ini. Apakah ada sesuatu yang ingin kau ceritakan padaku?" tebak Raja Siluman Ular Putih.Manggala terkejut bukan main mendengar tebakan yang tepat itu. Tanpa disadari kepalanya terangguk membenarkan. Dengan menarik nafas panjang, akhirnya Manggala menceritakan beban berat yang selama ini menjadi beban pikirannya."Aku yakin, bukan Raja Samudra yang menginginkan kematianmu, Manggala. Pasti ada orang lain di Istana Dasar Samudra yang merencanakan ini semua," ucap Raja Siluman Ular Putih setelah mendengar cerita Manggala."Maaf, Guru. Menurut Guru. Apa yang seharusnya aku lakukan?"“Tentu kau harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di Istana Dasar Samudra, Manggala. Juga tentang siapa dirimu yang sebenarnya. Aku yakin, Raja Samudra pasti mengetahui tentang asal usul dirimu yang sebenarnya.... Tapi, menurut hematku, untuk saat ini, lebih baik kau jangan memunculkan dirim
Langkah Manggala tampak gontai ketika memasuki bagian pasar yang agak ramai. Di kanan kirinya, orang-orang sibuk dengan urusan masing-masing tanpa mempedulikan kehadirannya.Manggala tidak tahu, apa tujuannya ke pasar yang memusingkan ini. Bahkan tidak tahu ke mana tujuannya yang pasti. Dia hanya ingin berjalan sampai benaknya menemukan rencana yang dia sendiri tak tahu apa rencananya.Lebih jauh memasuki pasar, perutnya sudah berontak minta diisi. Menurutnya, perut inilah yang lebih baik diurus. Belum sempat menemukan kedai nasi, Manggala dikejutkan oleh kegaduhan yang mendadak tercipta beberapa puluh tombak di belakangnya.Semula pemuda berpenampilan mengharukan ini tidak peduli. Karena dipikirnya, orang-orang di pasar mulai meledek lagi. Tapi ketika keramaian itu diwarnai jeritan-jeritan ngeri, tubuhnya lantas berbalik.Saat itu mata tajam Manggala dapat menangkap kepulan asap hitam mulai menodai angkasa. Lalu, para pengunjung pasar berhamburan kian kemari tanpa terkendali. Suasana
“Hap Hap Hap” seru Manggala.Begitu bangkit, Manggala mengikuti gerakan melompat mereka. Setelah puas meledek, tubuhnya bergerak lagi. Kali ini, gerakannya amat santai.Dihampiri lawannya satu persatu, lalu ditotoknya aliran darah mereka.Tuk! Tuk! Tuk! Tuk!Tubuh keempat laki-laki itu langsung ambruk, begitu mendapat totokan di punggung masing-masing.“Kalian istirahat dulu ya, Aku akan mengurus kawan kalian yang belum kebagian jatah...,” ucap Manggala seraya mengelus jenggot seorang lawannya.Mendengar perkataan Manggala barusan, tentu saja lelaki berhidung lancip yang tidak ikut menyerang jadi tergagap. Matanya mendelik seperti hendak melompat keluar, membayangkan ketakutan yang amat sangat. Dia membayangkan, benda-benda rahasia kawannya sudah pecah semua. Padahal, Manggala hanya menyalurkan sedikit Tenaga Inti Geledeknya saat itu.Meski begitu, mereka tetap mengerang-erang dengan mata melotot. Dan ini dikira laki-laki berhidung lancip itu, keempat temannya sedang mengalami sekarat
Mata pemuda itu mulai terpejam lagi.“Aaakh...”Dan pada saat itu juga, kembali terdengar teriakan membahana, menguak udara malam yang dingin.“Dari sebelah utara,” desis Manggala.Bergegas Manggala menggenjot tubuhnya dan melenting turun. Lalu seketika tubuhnya melesat cepat ke arah utara. Tak lama dia sudah menembus hutan randu yang cukup lebat. Dan sebentar saja, matanya sudah menangkap cahaya api unggun sebelas tombak di depannya.Manggala mengendap hati-hati, mendekati api unggun. Kakinya baru berhenti melangkah, ketika melihat seorang wanita sedang berdiri di depan api unggun. Beberapa tombak di hadapannya, tampak seorang lelaki tengah tergantung di atas pohon dengan kepala di bawah.Di balik semak-semak, Manggala menyembunyikan tubuhnya sambil terus memperhatikan. Melihat penampilan wanita itu, tubuhnya yang agak mungil terbungkus baju hijau lumut. Rambutnya yang panjang dikepang ekor kuda. Karena Manggala berd
“Aku tidak tahu,” sahut Manggala singkat. “Kau sendiri bagaimana?” Manggala malah balik bertanya.“Aku ingin mencari Bajing Ireng...”“Bajing Ireng. Siapa dia?”“Dia adalah seorang begal pimpinan rampok yang saat ini tengah merajalela menebar angkara murkanya dimana-mana. Aku sendiri sudah kebingungan mencarinya. Dia sulit sekali ditemukan. Lebih-lebih karena markasnya tidak tetap. Gerombolannya selalu berpindah-pindah dari satu hutan ke hutan lain, dari satu kampung ke kampung lain,... Aku diperintahkan oleh Gusti Prabu Bratasena untuk menangkapnya hidup atau mati...” Rhenata terus menceritakan tentang siapa adanya Bajing Ireng hingga bersengketa dengan pihak kerajaan.Tubuh gadis itu agak menjauh dari api unggun yang mulai menjilat-jilat. Rasa hangat perlahan menebar, sedikit mengusir dingin yang dirasakan.“Kalau kau telah menemukannya, apa yang akan kau lakukan?” tanya Mang
“Kau salah,” kata Manggala. “Berapa ekor kuda yang terdengar olehmu?”Rhenata menajamkan pendengarannya sesaat.“Tampaknya dua ekor,” jawab Rhenata.“Apa mungkin dua orang penduduk biasa berani melintasi hutan ini menjelang malam seperti sekarang? Bukankah kau pernah mengatakan kalau gerombolan Bajing Ireng sering menjelajah hutan-hutan seperti ini?”“Jadi, menurutmu siapa mereka?”“Apa kau dengar langkah lain, selain langkah kuda?” tanya Manggala lagi.Rhenata menggeleng.“Itu artinya, mereka memiliki ilmu meringankan tubuh yang cukup bagus. Bukankah di jalan mendaki yang cukup curam ini para pengendara kuda hanya menuntun kuda mereka?” lanjut Manggala, membuat Rhenata harus mengakui kecerdasan Manggala.“Jadi mereka orang persilatan?” tebak Rhenata.“Tepat” sambut Manggala, tetap berbisik. “Hanya kita belum