Share

Bab 2

"Maaf, kami tidak bisa menyelamatkan janinnya."

Kalimat itu bagai vonis kematian untuk Shanum. Sukses meluluh lantahkan hati dan kekuatan terakhirnya. Apa yang Shanum takutkan terjadi juga.

Hati Shanum hancur sehancur-hancurnya. Dua tahun sudah Shanum menunggu kehadirannya. Setelah hadir, dia malah pergi lagi. Sialnya tanpa Shanum sadari keberadaannya.

Shanum sedih, sekaligus kecewa pada dirinya. Bagaimana mungkin dia tidak menyadari keberadan sang buah hati beberapa minggu ini? Shanum sungguh kecewa. Ibu macam apa dia ya Tuhan?

Dan yang lebih membuat Shanum makin sedih. Suaminya tak kunjung datang jua, padahal sudah dikabari oleh Diva. Bahkan, ponselnya mendadak tidak aktif dan tidak bisa dihubungi. Sementara saat ini, Dokter memerlukan tanda tangan sang suami untuk tindakan kuret. Beruntung ada ayah mertua yang bersedia menggantikan tanggung jawab Reksa.

Shanum semakin kecewa dengan suaminya itu.

***

"Ayo, buka mulutnya. Aaa ...."

Shanum memalingkan wajahnya, menghidari sendok yang Reksa tawarkan. Dari wajah dan tatapannya yang masih sendu. Sangat jelas terlihat luka batin yang tengah dirasakan wanita itu saat ini.

Melihatnya, Reksa pun mendesah panjang penuh beban. Sejak siuman, Shanum memang terus mendiamkannya seperti ini. Reksa tahu, wanita itu pasti sangat terluka dan kecewa padanya.

"Shanum, ayolah. Kamu harus makan. Biar cepet sembuh." Reksa berusaha membujuk.

Shanum mengindahkan. Tidak berniat menjawab ataupun bereaksi pada ucapan suaminya. Hatinya masih sangat sakit sekali. Shanum belum bisa menerima kenyataan pahit yang menimpa bayinya. Ia juga masih sangat kecewa pada suaminya, yang tidak datang saat dia sangat membutuhkan pria itu.

"Shanum, aku tahu kamu sedih. Aku juga sedih, kok. Bayi itu kan juga anakku. Tapi, sedih berlarut-larut seperti ini juga gak baik. Nanti kamu malah makin sakit, sayang." Reksa masih berusaha membujuk, seraya mencoba meraih tangan Shanum.

Sayangnya, tangan Reksa pun hanya bisa menggantung di udara. Karena Shanum yang seakan tahu apa niat Reksa, segera menjauhkan tangannya dari jangkauan pria itu. Reksa pun kembali mendesah panjang.

Shanum tidak ingin disentuh Reksa lagi. Dia muak, kecewa dan marah. Lebih dari itu, dia mulai lelah bertahan. Bertahan di samping pria yang selalu menomor duakannya.

"Sayang, please jangan begini. Aku tahu, aku salah. Aku minta maaf, Sayang. Aku benar-benar menyesal. Seandainya aku tahu waktu itu kamu sedang hamil. Aku pastinya gak akan pergi. Aku akan jagain kamu 24 jam."

Shanum bergeming. Masih acuh pada sang suami dan membungkam mulutnya serapat mungkin.

"Sayang, ayolah. Mau sampai kapan kamu diam? Mau sampai kapan kamu nyuekin aku? Aku benar-benar menyesal, Shanum. Tolong berikan aku satu kesempatan lagi. Aku janji gak akan ngulangin lagi. Ayo, kita perbaiki bersama hubungan kita."

Shanum masih bergeming. Seolah sengaja menulikan diri dari semua ucapan pria yang dulu ia puja. Rasa kecewa Shanum masih sangat tinggi sekali. Membuatnya muak pada suaminya sendiri.

Melihat keacuhan Shanum, Reksa pun mendesah panjang kembali seraya menyugar rambutnya dengan kasar. Dia bingung harus bagaimana lagi membujuk sang istri.

"Shanum, ayolah. Aku tahu kamu marah. Tapi aku kan sudah minta maaf. Masa kamu gak mau maafin juga? Lagian, semalam juga Papa udah nampar aku. Apa itu gak cukup buat kamu? Atau ... apa kamu mau menamparku juga? Baiklah. Tampar aku, Shanum!" Reksa menyodorkan pipinya sendiri, yang masih sedikit memerah akibat tamparan sang ayah semalam.

Pria paruh baya yang menjadi kepala rumah tangga di keluarganya itu, begitu murka pada Reksa setelah mengetahui perihal keguguran Shanum. Tidak, lebih tepatnya ketidak hadiran Reksa di sisi Shanum semalam.

Papa menganggap Reksa telah abai dan tak menjaga Shanum dengan baik. Padahal, bukan Reksa ingin abai. Tetapi ia hanya mencoba menghindari pertengkaran dengan Shanum, yang semakin ke sini, semakin rewel dan tak pengertian pada hubungannya dan Ayu.

Reksa dan Ayu hanya sepupuan. Tetapi Shanum selalu saja cemburuan. Hal itu membuat Reksa jengah lama-kelamaan. Baginya Shanum tak pengertian sama sekali.

"Kenapa diam, Shanum?" tanya Reksa, ketika Shanum masih saja bergeming. "Aku bilang, tampar aku jika itu bisa membuat hati kamu sedikit tenang. Tampar aku sebanyak apa pun yang kamu mau, dan sekeras yang kamu bisa. Aku ikhlas menerimanya." Reksa kembali menegaskan.

Akan tetapi, Shanum masih acuh di tempatnya. Wajah cantik yang syarat akan kesedihan itu tetap berpaling ke arah lain, seolah tak sudi melihat suaminya sendiri.

"Shanum," lirih Reksa lelah akhirnya. "Ayolah, Sayang. Mau sampai kapan kamu kayak gini? Sedih berlarut-larut juga tak akan membuat bayi kita kembali, kan? Dia sudah pergi, dan tak mungkin kembali lagi. Ikhlaskan, Sayang. Dia sudah tenang di surga. Lagipula, kenapa sih kamu harus sedih berlebihan begini? Padahal, kita kan masih muda, Shanum. Jalan kita masih panjang untuk memiliki anak lainnya. Penting kondisi kamu membaik dulu."

Hati Shanum semakin mencelos di tempatnya. Ucapan Reksa tadi seolah menyatakan jika pria itu tak bersedih sama sekali atas kepergian sang buah hati. Shanum tak habis pikir dengan suaminya sendiri.

"Shanum--"

Ddrrttt ... dddrrrttt ... ddrrttt ....

Sebuah getar panjang tiba-tiba mengintrupsi. Membuat kalimat yang ingin Reksa ucapkan lagi seketika terhenti. Pria itu lalu mengeluarkan ponselnya dari saku celana. Raut wajahnya kemudian terlihat gusar setelah melirik sang penelpon.

Tanpa diberitahu pun. Shanum sudah bisa menebak siapa si pemanggil. Ayu. Siapa lagi yang selalu menghubungi suaminya setiap hari. Gadis itu bahkan bisa menelepon Reksa satu jam sekali. Sampai sebelum tidur pun, mereka biasanya akan bertelepon ria dulu sebelum memejamkan mata.

Hal itu membuat Shanum terbiasa, bahkan sangat muak lama-kelamaan. Menurut kalian sendiri, apa perilaku Reksa dan Ayu wajar?

Shanum memilih makin memalingkan wajah dan menyembunyikan diri dalam selimut. Mencoba abai pada apa pun yang akan Reksa perbuat.

"Shan ...." Reksa seperti hendak memanggil Shanum. Tetapi sikap acuh Shanum membuatnya ragu.

"Sebentar, ya? Aku angkat telepom dulu," pamit Reksa sejenak. Seraya sedikit menjauh dari Shanum.

Kiranya, kali ini Reksa akan memilih dirinya. Mengingat kondisi Shanum dan teguran sang Papa semalam. Kiranya Reksa akan menjaga jarak sejenak dengan Ayu. Ternyata ...

"Ya. Aku otw."

Sayangnya, harapan tinggallah harapan. Sampai kapan pun, Shanum sepertinya tidak akan jadi perioritas utama Reksa.

Lelaki yang sudah dua tahun menikahi Shanum itu pun lalu segera meraih jaketnya yang terlampir di sandaran kursi dekat Shanum, kemudian pergi tanpa beban dari ruang rawat Shanum begitu saja. Shanum pun hanya bisa kembali merepih sendiri.

Shanum terkekeh miris dengan lelehan air yang kembali mengalir di pipinya. Ia menertawakan dirinya sendiri dan nasib pernikahannya. Shanum merasa bodoh sekali. Mau saja bertahan dan percaya, pada ucapan manis pria tak punya pendirian itu.

"Dasar pembohong!"

Comments (3)
goodnovel comment avatar
siti yulianti
ayo shanum buang aja suami bestard mu ke tempat selayaknya dan pasti s lampir akan mungut tuh sampah
goodnovel comment avatar
siti yulianti
bangsat bedebah klo Lo suka dan berat Ama aaaahh malas aku nyebutin nama nya y si lampir mungkin lebih baik .........
goodnovel comment avatar
Puput Assyfa
bnr2 ya Reksa istri sah mu km abaikan demi wanita lain, suami macam apa km gk ada tanggungjawabnya sm sekali. knp ayu lbh penting timbang shanum
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status