Gemi membuka pintu mobil, tapi hanya berdiri dan tidak masuk ke dalamnya. Menunduk untuk menatap Lee, yang baru saja memasang sabuk pengamannya.
“Mas, duluan aja, aku mau mampir ke apartemen,” ujar Gemi dengan satu tangan tersampir pada bingkai pintu mobil.
Pandangan Lee berbelok sejenak pada sosok Arca yang tengah berdiri dan bersandar pada pintu mobil pria itu. Baru saja Lee melihat Gemi keluar dari Gedung Dewan Pers, dengan pria yang bekerja satu kantor dengannya itu.
Mendadak timbul sebuah dugaan, kalau Gemi akan pergi bersama Arca. “Ke apartemen, atau pergi dengan dia?” telunjuk Lee yang berada pada kemudia terarah pada Arca sekilas.
“Pergi diantar dia ke apartemen, Arca mau balik kantor, karena piket halaman malam ini. Jadi aku nebeng, daripa—”
“Bilang ke dia, kalau aku yang antar,” potong Lee yang tidak bisa memercayai ucapan Gemi sepenuhnya. Entah mengapa, pikiran Lee sudah terkontaminasi dengan hal yang bukan-bukan.
“Kan, ngga
Akhirnya bisa buka web juga buat uuupp ...
Keputusan yang diambil Gemi sudah bulat. Ia mengirimkan semua berkas perceraian yang sudah lengkap ke kantor Lex melalui kurir. Saat ini, Gemi hanya bisa memegang ucapan pria itu, kalau proses perceraiannya nanti, tidak akan terdengar oleh siapa pun, hingga ketuk palu. Setelah itu, Gemi akan tetap memalsukan usia kehamilannya di depan semua orang. Hanya satu yang tidak bisa dielaknya kelak adalah, bahwa anaknya akan selalu dikenal sebagai anak dari Leonard Arkatama. Untuk satu hal itu, Gemi tidak bisa berbuat apa-apa, karena jika dipikir lagi, ada hal yang memang tidak akan pernah bisa diubah, demi nama baik mereka berdua. Dua hari ujian yang tersisa, pun dijalani Gemi dengan lancar, meskipun ditemani oleh rasa pusing dan mual yang mendera. Namun, hasil yang diperoleh akhirnya sepadan. Gemi berhasil lulus dan kini telah menyandang status sebagai redaktur utama. Untuk itu, jabatan yang dijanjikan oleh Pras sebagai Pemred Metro, semakin pantas Gemi sandang ke depannya.
Gemi menghela panjang, melihat rumah megah yang besarnya entah berapa kali lipat rumah orang tuanya yang hanya tinggal di komplek perumahan sederhana. Mungkin, garasi pemilik rumah yang ada di depannya saat ini, ukurannya bisa jauh lebih besar dari rumahnya. Gemi langsung dipersilakan masuk, ketika satpam yang menjaga rumah telah mengkonfirmasi kedatangannya terlebih dahulu. Melangkah mantap, demi sebuah janji dan masa depan yang sudah Gemi impi-impikan. Sementara ini, perihal kepergiannya nanti hanya baru diketahui oleh Chandie seorang. Sedangkan orang tua Gemi, akan diberitahu jika keberangkatannya sudah pasti. Andai pun, Chandie nanti sudah lebih dulu bercerita pada Lee atau siapa pun anggota keluarga lain, maka Gemi juga sudah siap dengan semua konsekuensinya. Karena, keputusannya saat ini sudah benar-benar bulat. "Silakan masuk," ujar seorang pelayan wanita dengan sangat sopan. Pelayan yang mengenakan seragam berwarna hitam tersebut, membukakan pintu seb
Setelah memuntahkan penolakan berkali-kali, tapi tidak kunjung dihiraukan, akhirnya Gemi menyerah. Menghela pasrah ketika seorang pelayan sudah membukakan pintu mobil, yang sudah berhenti di depannya. Bira sudah masuk lebih dulu dan duduk di belakang kemudi. Kemudian Gemi menyusul, dan duduk di sebelah pria itu. "Harusnya, Mas Bira nggak usah repot-repot, saya bisa pesan taksi," ujar Gemi yang benar-benar merasa tidak enak karena Bira mengantarnya kali ini. "Gemini Kamaniya," gumam Bira lalu menoleh sekilas pada Gemi, tanpa memedulikan ucapan wanita itu barusan. "Namamu bagus, ya." "Makasih." "Ini ke kantor Radar, kan, ya? Yang satu gedung sama GTV?" tanya Bira seraya mengingat-ingat. Bira hanya ingin memastikan kalau alamat yang mereka tuju tidak berubah. Alias, kantor radar masih berada di tempat yang sama. "Iya, Mas." Gemi menatap Bira dengan melengkungkan bibirnya. Merasakan sebuah suasana yang sangat jauh berbeda, ketika Gemi hany
Rudi menekuk dahinya ketika melihat amplop putih yang disodorkan oleh Gemi di atas meja. “Mau cuti lagi?” tanya pria itu seraya meraih benda persegi tersebut lalu membukanya. Rudi sempat menyentak kedua alisnya dengan tajam. Namun, sejurus kemudian pria itu kembali mengerutkan dahinya. “Ini, serius, Gem?” “Serius, Pak.” Rudi mendesis panjang sembari menarik napas melalui mulutnya. Menarik kursi berodanya ke depan, agar bisa lebih mencondongkan tubuh dan menatap Gemi dalam-dalam. “Kenapa? Bukannya kamu baru lulus UKW, kok malah resign? Apa Lee yang nyuruh kamu resign?” Gemi mengembangkan senyum seraya menggeleng. “Mas Lee nggak pernah ikut campur masalah kerjaan saya, Pak. Jadi, ini nggak ada hubungannya dengan beliau.” Rudi berdecak sebal. “Saya baru mau ngajuin kamu jadi redpel, Gem. Sayang, kalau resign!” Gemi hanya memasang senyum untuk membalas Rudi. Posisi yang ditawarkan Pras jauh lebih tinggi dari itu, tentu saja Gemi akan bersikap sera
Mobil yang terparkir di depan gedung perkantoran itu masih saja terpaku di tempat. Lee hanya memasukkan kunci untuk membuka sedikit kaca, kedua jendela yang berada di sisi kanan dan kirinya. Pria itu belum berniat untuk menyalakan roda empatnya sama sekali. Apalagi menjalankannya. “Kamu mau resign, Gem?” tanya Lee membuka pembicaraan diantara mereka. Semakin ke sini, Lee semakin tidak bisa memahami Gemi sama sekali. Wanita itu benar-benar tidak bisa ditebak. “Hm.” Gemi bergumam malas. Menurunkan kaca jendela di sampingnya hingga tenggelam tidak bersisa. Gemi lalu meletakkan siku pada bingkainya. Menopang wajah dan menatap portal di sudut tempat parkir. Tidak ingin mengalihkan wajah untuk menatap Lee sama sekali. “Kenapa?” “Karena kita mau cerai, dan aku nggak mau lihat kamu di manapun setelah itu, Mas.” Lee menelan ludah setelah mendengar kalimat tajam yang dimuntahkan oleh Gemi. Tegas dan tidak berbasa-basi. Gemi seolah tahu apa yang diingink
Tempat tinggal serta kendaraan pribadi sudah tersedia di Surabaya. Menurut keterangan Harsa, jarak dari rumah menuju kantor Metro, hanya memakan waktu lima belas menit jika lengang. Tiket dan semua akomodasi dari Jakarta, hingga ke Surabaya pun sudah disiapkan. Gemi hanya tinggal mengepaki barang-barang pentingnya di apartemen. Tinggal satu masalah yang belum Gemi selesaikan, yakni, bicara dengan kedua orang tuanya. Tarikan napas Gemi begitu dalam, ketika baru saja memarkirkan motornya di carport rumah. Menghela panjang, lalu kembali menarik napasnya dalam-dalam. Seumur hidupnya, baru kali ini jantung Gemi berpacu laju ketika hendak berbicara dengan ayah dan ibunya. Namun, semua keputusan sudah dibuat. Gemi tidak bisa memundurkan langkah kali ini. Ada masa depan dirinya beserta satu nyawa lagi yang ada di dalam rahimnya, yang harus benar-benar Gemi perjuangkan. Kalau bukan Gemi, siapa lagi yang mau berjuang untuk dirinya sendiri? Gemi mengucap salam ketika me
Gemi berdiri, sembari melarikan maniknya ke setiap orang yang berada di terminal kedatangan Bandar Udara Internasional Juanda. Menajamkan manik beningnya untuk mencari seseorang yang ditugaskan menjemputnya. Tidak melihat siapa pun yang memegang papan nama yang bertuliskan namanya, Gemi akhirnya mengeluarkan ponsel dari saku jaket bagian dalamnya. Baru saja Gemi membuka kunci ponsel yang berada di tangan, seseorang menepuk bahunya dari belakang. "Ayo, Gem!" Pria yang menepuk bahunya itu, lantas mendahului Gemi tanpa menoleh sedikit pun. Terus saja berjalan ke bagian ujung terminal dengan tegap dan rasa percaya diri yang terpancar begitu tinggi. Pria itu juga tidak terlihat membawa apapun di tangannya. Hanya membawa dirinya sendiri. Namun, kenapa pria itu ada di sini? Di tempat yang sama dengan Gemi? “Pak!” panggil Gemi, tapi tidak ditoleh sama sekali oleh pria itu. Gemi menarik gagang travel bagnya, kemudian menariknya. Melangkah cepat, untuk
Suara klakson yang berbunyi dua kali di depan rumah, langsung membuat Gemi beranjak dari sofa ruang tamu. Membawa tas ransel yang berisi laptop, lalu keluar dan mengunci pintu rumahnya. Di luar, sudah terlihat Amir yang berdiri di samping mobil dan menyunggingkan senyum padanya. “Sore, Bu Gemi.” “Sore, Pak,” balas Gemi kemudian membuka pagar. “Biar saya saja yang tutup dan gembok pagarnya,” kata Amir sembari menengadahkan kedua tangannya untuk meminta gembok yang saat ini dipegang oleh Gemi. “Ibu tunggu di dalam aja, sudah ada pak Lex juga di mobil.” “Ohh …” Gemi lantas menyerahkan gembok tersebut pada Amir. Tidak menduga, kalau ia akan pergi ke Metro sore ini bersama Lex. Gemi kira, Lex sudah lebih dulu berada di kantor Metro sedari tadi. “Makasih, ya, Pak.” “Nggeh.” Gemi yang masih asing dengan ungkapan tersebut, hanya memberi anggukan sembari nyengir. Ia lalu masuk ke dalam mobil, dan melihat Lex sudah ada di dalam sana dengan memak