Tanpa suara Bayu duduk kembali. Ia menarik napas, lalu melepaskan pelan-pelan. Kejadiannya hanya beberapa detik, tetapi ia perlu waktu lama untuk menenangkan diri.**Izza telah memasuki protokol kedua. Izza dan Anita mempunyai ujian baru. Saat protokol pertama, Izza mempunyai nafsu makan yang meningkat. Berat badan Izza naik berkali lipat, tetapi protokol kedua malah sebaliknya. Izza tidak mempunyai nafsu makan. Perlahan berat badan Izza menurun. Anita mempunyai kekhawatiran baru dan mencoba melakukan berbagai terobosan baru.Pada protokol pertama, Anita sangat jarang bersentuhan medsos. Buka internet, hanya mencari informasi sekitar penyakit yang diderita Izza juga penyakit lain dalam lingkup Hemato-Onkologi. Dulu ia browsing makanan yang memiliki kandungan baik untuk melawan kanker, kini ia mulai browsing makanan yang bisa menggugah selera Izza. Tidak hanya dari segi rasa tapi juga penyajian, tanpa mengabaikan efek baik buruknya pada kesehatan Izza. Anita juga berusaha mengatu
"Ayah, kenapa ayah merangkul Tante Rana?" tanya Izza. Bayu berbalik. Ridwan dan seorang perempuan bunting sudah ada di belakangnya. Sesaat ia bersitatap dengan Anita di teras yang juga syok seperti dirinya. Bayu tidak tahu harus berbuat apa, karena tidak tahu apa yang telah dilihat Izza."Izza, sudah datang? Sini peluk ayah. Ayah rindu sekali." Ridwan mendekat dan menjongkok, tetapi Izza mundur beberapa langkah. "Ayah belum jawab pertanyaan Izza? Ayah bilang, tidak boleh laki-laki dengan perempuan yang bukan mahram bersentuhan. Tetapi, kenapa ayah tadi merangkulnya? Dia 'kan bukan mahram Ayah?" Izza menatap sahabat ibunya polos. Matanya beralih ke perut Rana. Ia tahu Rana dan orang tuanya bersahabat, tetapi baru kali ini melihat ayahnya menyentuh perempuan itu. Sedang Anita tak kuasa lagi menahan air mata. Sesuatu yang dikhawatirkan akhirnya terjadi. Mengapa Ridwan mengindahkan pesannya? Mengapa masih saja membawa Rana ke rumah mereka? Mengapa membawa Rana, padahal sudah jela
Di Rumah Sakit Umum Daerah H Damanhuri, Barabai. Air mata Anita terus mengalir, menatap putrinya tak sadar diri. Masih terbayang di mata Anita keceriaan Izza saat hendak pulang, kini putrinya digelayuti beberapa selang, dengan bunyi monitor yang terus berbunyi. Anita tak berani menatap layar monitor. "Kau harus kuat Izza. Perjuangan kita sudah sejauh ini. Izza janji akan menjaga Mama." Anita meletakkan wajah di tangannya yang menggenggam tangan Izza. Bayu menyentuh bahu Anita. "Kau istirahatlah. Biar aku jaga Izza." Bayu meletakkan sebotol sari buah di pangkuan Anita. "Minumanlah ini. Semoga bisa membuatmu lebih bertenaga. Kau harus kuat untuk menjaga Izza."Anita bergeming. "Nit!" Bayu mengangkat suaranya. Anita menoleh ke atas, menghadap wajah Bayu. Bayu membujuk dengan tatapan matanya. Beberapa detik hingga akhirnya Anita mengangguk. "Jika bisa, makanlah. Ada makanan di luar."Anita tak merespon. Di luar Anita melihat Ridwan yang terkulai lemas, menyandarkan diri di bangku p
Anita syok. Dirinya dibopong laki-laki yang bukan suaminya? Ia ingin berontak, tetapi Bayu semakin mengokohkan pegangannya. Anita pasrah. Ia melingkarkan tangan ke leher Bayu. Ini yang kedua kalinya, Bayu mengangkat badan Anita, setelah di Rantau. Di banding waktu di Rantau, sekarang badan Anita jauh lebih berat. Iya, berat badan Anita bertambah, karena selama setahun ia sibuk memasak untuk Izza, yang tentunya ia selalu harus menghabiskan sisa Izza. Mengingat hal itu, perasaan Bayu terasa remuk. Betapa keadaan sangat cepat berbalik. Siapapun tidak ada yang menyangka, kalau Izza yang sempat dinyatakan negatif, sekarang telah terbaring di samping almarhumah adiknya. **Iroh jatuh sakit mendengar berita kematian cucunya. Ia hanya bisa berdiam diri di rumah Ridwan ketika almarhum di bawa ke pemakaman. "Anita mana?" tanya Iroh, ketika tidak melihat Anita bersama Ridwan dan Rana. Beberapa orang tetangga masih di situ untuk menemani Iroh. Seorang perempuan paruh baya memijat kaki Iro
Siang malam terus berganti. Seminggu sudah sejak meninggalnya Izza, Anita masih tinggal di rumah orang tuanya, tanpa semangat hidup. Anita sudah mulai beraktivitas di rumah, membantu ibunya sebagai penjual nasi kuning pagi hari di muka rumah. Sesekali ia pergi ke sawah bersama bapaknya, berharap ia menemukan semangat baru dalam hidupnya.Kenyataannya usahanya nihil. Semangatnya telah pergi. Meninggalkan ruang kosong. Setiap saat bisa terisi oleh lamunan, tangisan dan kerinduan. Ternyata lelah berjuang demi kesembuhan Izza, belum apa-apanya dibandingkan lelahnya diterpa kerinduan. Ironisnya, rindu itu tidak berujung. Yang ada hanyalah disambut tangisan. Malamnya Ridwan datang ke rumah orang tua Anita, yang disambut dengan wajah sinis dari Saudah. "Masuklah." Suara Anita dari belakang Saudah. Saudah menyingkir. Membiarkan Ridwan masuk. Anita mempersilakan Ridwan duduk dengan isyarat tangan. "Bagaimana keadaanmu, Ma?""Aku baik-baik saja. Jangan khawatir."Ridwan terdiam, menatap An
Anita tersentak. Ia segera mengklik foto profil Zubaidah. Beranda Zubaidah penuh dengan cacian dan makian. "Ke mana Zubaidah?" desisnya. Anita terus menscroll wall Zubaidah, hingga menemukan berita duka. Bahwa putra Zubaidah meninggal. Itu status terakhir dari Zubaidah. Anita terhenyak. Selama berteman dengan di rumah sakit, Zubaidah terlihat orang baik-baik. Tidak ada sedikitpun kesan kalau Zubaidah orang culas. Anita menduga Zubaidah bersembunyi bukan berarti mau lepas tanggung jawab, melainkan untuk menghindari dari desakan penagih, dengan tetap berupaya mencari dana untuk melunasi hutang. Terngiang di benaknya sewaktu Zubaidah bercerita bahwa mereka bertahan hidup ditopang hutang. Sekarang putranya telah pergi meninggalkan luka, hutang juga cercaan. Anita mendesah. Ia teringat bagaimana Ridwan, ayahnya Izza, mantan suaminya dulu ketika dulu juga terjerat hutang? Kesalahan Ridwan hanyalah tidak menceritakan permasalahan itu kepadanya. Kalaupun Ridwan menceritakan itu, apa y
"Mengapa Izza pergi, Cil? Bukankah kemarin Izza dinyatakan negatif?"Anita melepaskan pelukannya. Memegang pundak Huda. Anak itu masih sesenggukan. Anita mengusap wajah Huda yang basah. "Itu sudah kehendak Allah. Mungkin Allah sangat menyayangi Izza. Di dekat Allah, mungkin itulah tempat yang paling aman dan indah buat Izza." Anita membayangkan, seandainya Izza masih hidup sampai sekarang, bagaimana Izza menjalani harinya tanpa orang tua yang lengkap?"Kita coba ikhlaskan Izza, ya. Supaya dia tenang di sana."Huda mengangguk lamban."Sekarang yang penting bagaimana Huda supaya bisa melewati masa-masa sulit ini. Huda harus sehat. Ya."Huda kembali mengangguk. "Koq, sepi?" Anita melongokkan kepalanya ke samping. "Ibu mana?""Iya. ada yang opname, ada juga yang pulang. Ibu pulang ke Sampit.""Heh? Kenapa?"Huda tersenyum lebar. "Ulun sudah selesai kemo, Cil. Jadi ibu pulang.""Alhamdulillah. Selamat ya. Tapi kenapa kamu masih di sini?""Om Bayu memintaku tinggal di sini. Om Bayu janji
Bayu berdeham. Ia mengambil cangkir kopi. "Tapi bagaimana dengan suamimu? Dia mengizinkan tidak?""Kami sudah bercerai." Gerakan Bayu terhenti. "Maaf "Anita hanya mengedikkan bahunya. "Dalam waktu singkat aku telah kehilangan segalanya. Ironis. Tapi mungkin ini yang terbaik. Oh iya."Anita mengambil sebuah benda tipis di kantongnya, lalu meletakkan di depan Bayu. "Aku tidak memerlukan ini lagi."Bayu mendesah. Ia mendorong kartu ke hadapan Anita. "Kartu ini dan isinya sudah kuberikan padamu pada Izza. Meski Izza tiada, kau bisa menyimpannya buat jaga-jaga. Apalagi sekarang kau sudah bercerai. Otomatis tidak ada masukan untukmu. Ambillah."Anita mengambil kartu itu ragu. Bayu melihat kalau wanita di hadapannya sedang memikirkan sesuatu. "Katakanlah!" Anita menarik napasnya terlebih dahulu. "Bagaimana kalau isinya aku pinjam dulu untuk bayar hutang kepada Rana.""Kau punya hutang?""Ridwan. Saat kami di sini, ia kena tipu. Singkat cerita ia berhutang pada Rana, dan akhirnya sepert