"Aira sakit, Ma."
"Sakit apa? Manja sekali, sampai-sampai suaminya nggak boleh kerja." Dewi langsung masuk ke dalam rumah, ia datang bersama dengan Trisa."Dimana anak istrimu?" tanya Dewi yang kemudian duduk di sofa."Istirahat di kamar, Ma. Mereka sedang sakit."Belum sempat Dewi berkata lagi, terdengar suara bel berbunyi. Alan segera menemui tamu yang datang. Ternyata tukang laundry, Alan pun masuk kembali untuk mengambil pakaian kotor."Siapa tamunya?" tanya Dewi. Alan hanya diam, karena ia tahu kalau mamanya pasti mau mengomel."Kayaknya tukang laundry, Ma," sahut Trisa ketika melihat Alan membawa dua kantong plastik besar. Alan tetap diam.Alan masuk ke ruang keluarga lagi setelah tukang laundry pulang. Belum sempat Alan duduk, bel berbunyi lagi. Alan kembali berjalan ke depan, karena ia yakin kalau yang datang ini adalah makanan yang ia pesan."Wah enak sekali istrimu ya? Dengan alasan sakit nggak sempat mencuci baju dan masak. Ini namanya pemborosan!" sindir Dewi ketika melihat Alan membawa kantong plastik bertuliskan nama sebuah rumah makan.Alan hanya diam, ia menyiapkan mangkuk dan piring untuk makanan."Mama mau makan?" tanya Alan.Trisa mendekati Alan yang sedang membuka bungkusan itu."Wah, pindang tulang, Ma. Ayo kita makan," ajak Trisa pada mamanya.Dewi segera beranjak dari duduknya dan menuju ke meja makan. Makanan yang dibeli Alan tampak menggiurkan. Ia pun segera mengambil piring dan mengikuti Trisa yang sudah mulai menyiapkan nasi ke mulutnya."Kamu nggak makan?" tanya Dewi."Mama makan saja dulu, aku nanti." Alan menjawab sambil mengutak-atik ponselnya. Ia sedang memesan makanan lagi, karena melihat mama dan adiknya tampak lahap makan. Ia yakin kalau makanan yang ia pesan tadi pasti akan dihabiskan oleh Dewi dan Trisa."Makanlah, nanti mama habiskan lho pindangnya." Dewi berkata sambil menyendok pindang ke piringnya"Habiskan saja nggak apa-apa." Alan mengambilkan minum untuk mama dan adiknya."Pindangnya enak, ya? Aku sampai kekenyangan." Trisa berkata setelah minum air putih."Iya, kenapa kamu hanya pesan dua?" tanya Dewi."Aku nggak tahu kalau Mama mau kesini," sahut Alan.Trisa beranjak dari duduknya dan berpindah duduk di ruang keluarga."Trisa, bawa piringmu ke tempat cucian piring. Cuci sekalian!" perintah Alan."Biar Mbak Aira saja yang melakukannya. Itu kan tugasnya," sahut Trisa dengan entengnya."Aira masih sakit, lagipula itu kan piring bekas makanmu." Alan tampak kesal dengan jawaban Trisa."Kamu itu, masalah sepele saja kok dibesar-besarkan. Kamu terlalu memanjakan istrimu," sahut Dewi membela Trisa, ia pun melakukan hal yang sama dengan Trisa.Alan malas berdebat dengan keluarganya, ia pun membereskan piring-piring yang ada di meja makan. Kemudian mencucinya."Kok kamu yang mencucinya? Biarkan Aira yang melakukannya. Kebiasaan, sakit sedikit saja manjanya nggak ketulungan. Mending kalau istrimu itu anak orang kaya, hartanya banyak, hidup kalian enak. Ini, hidup hanya jadi beban suami saja!" Dewi mengomel melihat Alan mencuci piring.Alan hanya diam saja."Pesananmu datang tuh," kata Dewi memberitahu Alan.Alan mencuci tangannya, kebetulan ia juga sudah selesai mencuci piring. Kemudian ia menuju ke pintu depan untuk membayar makanan yang ia pesan."Kamu pesan makanan lagi? Untuk siapa?" selidik Dewi ketika melihat Alan membawa bungkusan yang sama dengan tadi."Untukku dan Aira.""Pindang tulang lagi?" tanya Dewi."Iya." Alan menjawab dengan singkat."Mas, pindangnya kami bawa pulang ya? Untuk Papa dan Mbak Dwita," pinta Trisa."Iya, masa kita makan enak, mereka berdua nggak ikut menikmati." Dewi menimpali ucapan Trisa."Tapi ini untuk kami, Ma. Mama beli saja sendiri, nanti uangnya aku kasih.""Biar Aira masak sendiri! Nanti kebiasaan manja!" Dewi merebut kantong plastik yang dipegang Alan. Alan hanya bisa pasrah, tidak mungkin ia berebut makanan dengan mamanya."Panggil istrimu! Masa Mama datang malah di kamar saja." Dewi berteriak, ia berharap Aira akan keluar dari kamar. Padahal Aira sedang tidur nyenyak karena pengaruh obat."Ma, Aira dan Kenzo sakit. Mungkin sekarang mereka sedang tidur." Alan menjawab kata-kata mamanya."Sakit apa sih? Apakah parah?" tanya Dewi sok peduli."Kami baru pulang dari rumah sakit. Dua hari Aira dan Kenzo di rawat.""Sakit apa?""Kenzo sakit gejala tipes, Aira keguguran.""Istrimu itu memang nggak beres, kok bisa-bisanya Kenzo sakit tipes. Dikasih makan apa anakmu itu? Apakah makanan yang pedas-pedas?""Enggak, Ma. Memang sedang musimnya.""Halah kamu itu ngeles terus membelanya. Aira keguguran? Kok bisa hamil lagi? Memangnya tidak kalian rencanakan? Anak masih kecil kok sudah mau dikasih adik. Kasihan Kenzo nanti merasa tidak disayang oleh orang tuanya."Alan jadi serba salah sendiri. Dijawab salah, tidak dijawab semakin salah. Memang mamanya itulah yang paling benar atau lebih tepatnya merasa paling benar."Mama kesini mau minta uang sama Aira, eh kebetulan ada kamu. Jadi minta sama kamu saja, kalau sama Aira belum tentu dikasih," kata Dewi dengan penuh harap."Uang untuk apa, Ma? Apakah uang dari Papa tidak cukup?""Untuk bayar arisan, Mas. Satu juta sebulan." Trisa berkomentar membuat Alan mengernyitkan dahi."Anak kecil kamu tahu apa sih? Bawel." Dewi kesal dengan ucapan Trisa."Besar sekali arisannya, Ma. Apakah Papa tahu?" tanya Alan."Papa nggak perlu tahu.""Arisannya sudah dapat, tapi nggak tahu uangnya dipakai apa sama Mama." Trisa berkomentar lagi."Bisa diam nggak sih, kamu?" bentak Dewi dengan suara yang keras.Aira yang tertidur langsung terbangun mendengar suara yang tidak asing lagi. Ia malas menemui mama mertuanya. Ia pun tetap diam di kamar sambil mendengarkan percakapan mereka."Yang aku bilang itu benar, kan?" sahut Trisa."Kamu nggak usah ikut campur, ini urusan Mama." Trisa langsung cemberut mendengar kata-kata mamanya."Ma, kalau sekiranya nggak mampu ikut arisan yang nominalnya besar. Ikut saja yang kecil, tapi tidak memberatkan." Alan berusaha memberi pengertian pada mamanya."Oh, kamu nggak mau ngasih uang ya? Sama mamanya sendiri kok pelit!" Nada suaranya semakin tinggi."Ma, bukannya pelit. Tapi kan bukan untuk hal yang penting. Kalau untuk berobat, pasti aku kasih.""Jadi kamu mengharapkan Mama sakit ya?"Lagi-lagi Alan merasa serba salah, ia hanya bisa menghela nafas.Di kamar, Aira hanya bisa mengelus dada mendengarkan ucapan mama mertuanya. Ia menjadi kesal."Benar-benar keluarga toksik! Mas Alan selingkuh, mamanya mata duitan, Dwita dan Trisa banyak gaya. Cuma Papa yang normal," kata Aira dalam hati."Ibu." Suara Kenzo mengagetkan Aira."Ibu, maem." Kenzo merengek minta makan."Kenzo lapar ya?" tanya Aira sambil mengelus kepala Kenzo.Kenzo menganggukkan kepala. Sebenarnya Aira malas menemui Dewi, tapi karena Kenzo lapar, mau tidak mau Aira harus keluar dari kamar. Ia menyiapkan mental untuk bertemu dengan mama mertuanya."Akhirnya kamu keluar kamar juga? Jangan-jangan dari tadi kamu sengaja tidak mau menemui Mama." Dewi langsung nyerocos melihat Aira berjalan tertatih-tatih menggendong Kenzo. Tidak ada rasa iba sedikitpun melihat menantunya yang sedang sakit, atau sekedar menyapa cucunya. Alan yang melihat kondisi Aira, segera mendekati Aira dan menggendong Kenzo."Aku benar-benar tidur, Ma. Suara Mama yang keras tadi mengagetkan aku dan Kenzo." Aira menjawab ucapan Dewi."Alasan saja! Kata Alan kamu keguguran ya? Apa kamu nggak KB? Kenzo masih kecil kok sudah mau dikasih adik," omel Dewi. Aira hanya diam."Selalu saja aku yang salah," kata Aira dalam hati."Ma, sudahlah, nggak usah ngomel," kata Alan."Bela terus
"Mampus aku!" umpat Trisa sambil menatap ponselnya. Jantungnya berdetak dengan kencang.Alan dan Dewi menoleh ke arah Trisa."Kamu kenapa?" tanya Alan."E…e…nggak apa-apa, Mas." Trisa menjawab dengan gugup dan suara bergetar."Matilah aku," umpat Trisa lagi, tadi dengan suara yang agak pelan. Hanya Alan saja yang mendengarnya."Ada apa?" tanya Alan lagi."Bakal terjadi perang," gumam Trisa.Alan hanya bisa mengernyitkan dahi melihat Trisa bertingkah aneh. "Perang?" tanya Alan lagi.Trisa hanya diam saja, pikirannya kacau. Ia membayangkan apa yang akan terjadi nanti. Papanya pasti marah besar melihat video yang dikirim tadi. Sudah terlambat bagi Trisa untuk menghapusnya, karena sudah terlihat tanda centang dua berwarna biru. Berarti papanya sudah melihat video itu.Drtt….drtt…. Ponsel Dewi berdering. Dewi menerima panggilan itu."Halo, Pa?" sapa Dewi."Mama ada dimana?""Di rumah Alan.""Ngapain kesitu? Memangnya Alan nggak kerja?""Enggak, Pa. Kasihan Alan, Aira manja sekali, baru sa
"Ma, memangnya uang yang Papa kasih itu sudah habis?" tanya Gunawan kepada Dewi, ketika mereka sudah sampai di rumah.Dewi kaget mendengar pertanyaan suaminya, ia tidak menyangka jika Gunawan akan bertanya tentang uang. Selama ini, berapapun uang yang diberikan Gunawan dan dihabiskan untuk apa, sang suami tidak tahu menahu."Ma-masih kok, Pa." Dewi menjawab dengan gugup."Kenapa Papa bertanya seperti itu? Apa Papa nggak percaya dengan Mama? Apa perlu Mama tuliskan secara rinci pengeluarannya?" lanjut Dewi. Ia berusaha untuk tenang dan mencecar Gunawan dengan beberapa pertanyaan."Syukurlah kalau masih ada. Papa percaya kok sama Mama. Kalau memang kurang, bilang saja. Jangan sampai minta uang dengan anak-anak, terutama dengan Alan. Dia kan sudah punya keluarga yang menjadi tanggung jawabnya.""Mama nggak pernah minta uang dengan Alan. Apa Aira mengadu yang tidak-tidak dengan Papa? Pa, Aira itu tidak suka dengan Mama. Jadi dia akan menjelek-jelekkan Mama di depan Papa. Papa jangan mudah
Suasana tampak hening sesaat, hanya terdengar hembusan nafas dari Aira dan Alan. "Apa kata Bapak dan Ibu, jika mereka tahu masalah ini? Aku malu, Mas! Berbeda dengan Mama, ia pasti akan bahagia, apalagi kalau sampai tahu siapa yang jadi selingkuhanmu."Aira masih saja mengeluarkan semua uneg-unegnya. "Aku akan mulai mencari kerja, Mas siapkan uang lebih untuk membayar baby sitter untuk Kenzo."Alan kaget mendengar kata-kata Aira, ia tidak menyangka jiika Aira bersungguh-sungguh dengan ucapannya waktu itu."Apa kamu tega membiarkan Kenzo diasuh oleh orang lain? Ia masih kecil, kasihan dia!" sahut Alan."Kenapa nggak tega? Semua demi masa depanku dan Kenzo. Kalau tidak nanti biar Kenzo aku masukkan ke tempat penitipan anak. Aku ingin punya uang sendiri," kata Aira dengan nada yang tinggi."Apa uang dariku nggak cukup?""Bukan masalah cukup nggak cukup, aku nggak mau menjadi beban hidupmu. Setidaknya aku punya uang untuk kebutuhanku sendiri. Aku sudah capek dihina terus oleh Mama dan a
"Kenzo!" panggil Aira sambil berjalan mencari-cari Kenzo. Ia sudah sangat gemetar karena ketakutan. Pikirannya sudah sangat kacau membayangkan Kenzo tidak ada. Tiara mengikuti Aira sambil menenangkannya."Kita cari satpam!" usul Tiara."Maafkan Ibu, Sayang. Ibu teledor," kata Aira sambil terisak-isak."Bagaimana Tiara, aku takut jika tidak bertemu dengan Kenzo lagi.""Hush! Jangan berkata seperti itu, pasti Kenzo ketemu."Tiara dan Aira berjalan mengelilingi gerai pakaian anak, kemudian berlanjut ke pakaian laki-laki. Belum juga menemukan Kenzo, Aira semakin cemas. Wajahnya tampak pucat dan berkeringat, tangannya terasa sangat dingin karena ketakutan."Ya Allah, kemana kamu, Nak? Jangan membuat Ibu panik!" Aira melanjutkan pencarian ke tempat lain, ia dan Tiara tadi sempat berpencar."Kenzo, dimana kamu?" kata Aira dalam hati.Seketika langkah kaki Aira terhenti, ia memasang telinganya untuk mendengarkan sesuatu. Wajahnya tampak tersenyum mendengar suara tawa anak kecil. Suara yang m
"Ma, apa maksud Mama mengirim foto Aira pada Papa?" tanya Gunawan. Dewi langsung kaget, jantungnya berdetak dengan kencang. Ia segera membuka ponselnya untuk memastikan siapa yang ia kirimi foto tadi. Wajah Dewi langsung pucat pasi, ketika tahu bahwa ia salah kirim. Sebenarnya ia ingin mengirim foto itu pada Alan untuk memprovokasi Alan. Ternyata malah terkirim pada suaminya."Maaf, Pa. Salah kirim." Dewi menjawab dengan gugup."Terus apa maksud dari foto itu? Dapat darimana?""Mama mau mengirim foto pada Alan, biar ia tahu kelakuan istrinya. Suami sibuk kerja, malah istri sibuk belanja." Dewi sudah mulai bisa menetralisir suasana hatinya. Ia pun sekarang berusaha mempengaruhi suaminya."Ma! Tadi Papa sudah bilang, jangan ikut campur urusan Alan!" Gunawan menjadi kesal."Ma!" Terdengar suara Dwita memanggil mamanya."Iya, Sayang," sahut Dewi, kemudian berjalan untuk menemui Dwita yang duduk di sofa ruang keluarga."Kamu sudah pulang ya? Belanja apa saja? Reza mana?" Dewi tampak sumri
"Mama kerepotan mengurus tiga anak, karena Mama nggak mau kalau anak diasuh orang lain," kilah Dewi."Makanya itu, kita sudah sepakat. Papa kerja dan Mama mengurus anak-anak. Aira, Dwita, kalian bisa mencontoh Papa dan Mama. Jadi jangan paksakan bekerja kalau alasannya karena ekonomi. Ingat yang bertugas mencari nafkah itu suami, bukan istri. Istri bekerja untuk membantu suami dan atas izin suami juga." Gunawan menghentikan sejenak ucapannya."Nggak perlu sindir menyindir seperti itu. Aira nggak bekerja, itu sudah kesepakatan Alan dan Aira. Toh Aira bisa menghasilkan uang dengan jualan online, ya kan Aira?""Iya, Pa. Alhamdulillah, untuk tambahan beli bumbu dapur," sahut Aira."Memang berapa sih hasil jualanmu itu? Katanya sarjana, kok malah jualana. Alan, kamu nggak malu punya istri jualan online?" Dewi masih saja menyudutkan Aira."Kenapa malu, Ma? Yang penting halal, dan uangnya bisa digunakan sendiri oleh Aira. Aku nggak pernah nanya, dapat berapa. Karena aku tidak mau mencampuri
"Kamu nggak mau nyamperin?" tanya Gita.Firda tampak ragu-ragu."Dia datang sendirian, lho. Katanya sudah lama tidak bertemu. Apa perlu aku temani?" Gita masih saja menantang Firda untuk melakukan apa yang Gita sarankan.Akhirnya Firda beranjak dari duduknya dan berjalan menuju tempat yang dimaksud."Ehem." Firda berdehem ketika sudah dekat dengan orang itu."Firda?" Orang itu tampak terkejut dengan kedatangan Firda."Ya Alan, ini aku. Apa kabar? Boleh aku duduk?" sahut Firda sambil tersenyum dengan manisnya."Bo-boleh," sahut Alan dengan gugup."Kok kayaknya kamu keberatan kalau aku duduk?""Siapa bilang?""Tadi kamu gugup waktu memperbolehkanku." Firda berkata masih dalam posisi berdiri."Oh, tadi aku hanya kaget saja. Tidak menyangka kalau akan bertemu denganmu. Duduklah.""Kamu ada janji bertemu dengan seseorang?" tanya Firda."Iya, urusan pekerjaan. Tapi masih lima belas menit lagi, aku saja yang terlalu cepat datang. Kamu apa kabarnya?" Alan mulai bisa menguasai keadaan. Entah k