Share

Bab 5

Kita beralih ke sini.

Lupakan soal demo. Lupakan soal carut-marutnya negara. Lupakan soal negara yang tidak stabil lagi berdirinya. Lupakan semua itu kita rehat sejenak bersama si tokoh cowok.

Ardika Aksara namanya. Lelaki 35 tahun, duda beranak satu yang masih fresh segar bugar baik tubuh maupun wajah. Penampilan manlynya mendukung keseluruhan yang menjadi pelopor duren—duda keren. Tidak itu saja. Nilai plusnya adalah: pengusaha sukses yang melejit di kotanya, karawang.

Pertanyaan yang di ajukan seperti ini: perempuan mana yang tidak menolak?

Tidak ada! Hanya perempuan bodoh yang bisa menolaknya. Mendengar namanya saja sudah tentu membuat sebagian dari mereka kelonjotan. Apalagi di tatap secara langsung. Bisa ambyar berserakan itu jantung ke tanah.

Faktor pendukung yang menjadikan Ardika paling di cari tidak hanya bentuk wajah dan tubuhnya. Tentu jaminan hidup enak seumur hidup selalu menjadi incaran perempuan di luar sana.

Sayangnya, kualifikasi yang Ardika ajukan bukan hanya soal mengurusi dirinya namun juga putrinya—Naomi Aksara. Buah cinta pertamanya bersama sang istri yang sangat berkesan. Bagaimana tidak berkesan?

Oke, akan kita mundurkan dulu waktunya. Sekitar lima tahun yang lalu? Ah tidak, tapi sepuluh tahun yang lalu.

Saat itu, ketika umur Ardika menginjak angka 25, gelar magister untuk kuliah S2-nya usai. Perayaan pesta besar di gelar. Dengan maksud berbagi. Karena—yeah—tidak di sombongkan lagi, keluarga keturunan sultan yang membuang uang seratus juga saja layaknya uang recehan. Tidak mengejutkan lagi.

25 tahun bagi sebagian orang memiliki kesan tersendiri. Selayaknya umur 17 yang menceritakan banyak kenangan untuk di tuang. Di tuliskan lewat sebuah buku lantas di cetak menjadi novel. Sejarah perjalanan hidup akan di baca ribuan orang. Tergantung dari sudut pandang mana akan melihat.

Sama halnya dengan Ardika. Di depan semua orang, pasang mata pengusaha dari kolega papanya yang tidak sedikit dan kawan-kawan arisan mamanya—kumpulan emak-emak sosialita. Menatap penuh decak kagum, mengelukan namanya dan berbisik merdu: 'Jeng, anakmu sama anakku saja, ya? Kita, kan satu strata.' 'Aduh jeng! Aku juga mau Ardika sama anakku. Lulusan luar negeri, bisnis juga. Perusahaan kita bakal maju berkembang di tangan mereka.'

Kurang lebihnya seperti itu yang tetap Ardika acuhkan dan menyampaikan salam terima kasih atas wujud kehadiran dan penyelesaian kuliahnya. Sampai cuap-cuap terima kasih selesai, obrolan yang mengangkat namanya belum juga usai. Ardika abaikan. Menerobos keramaian, mengambil minum sebelum tungkainya terhenti akan sebuah suara. Yang menarik bibirnya ke kanan dan ke kiri serta mata menyipit sempurna.

"Aku bangga sama kamu."

Sekedar kalimat begitu saja Ardika baper. Lebay sekali, kan. 25 tahun bisa terbang ke awang-awang hanya karena sebuah kata-kata sepele.

Yang Ardika balikkan tubuhnya. Menubruk tubuh mungil dalam dekapannya, membaui aromanya yang khas seraya berbisik, "Kamu datang. Aku kangen banget."

Ayana Kalias namanya. Perempuan seumuran Ardika yang menjadi tambatan hatinya. Yang Ardika jatuhkan pilihannya tepat di perempuan berdarah jawa-sunda. Yang Ardika percayakan masa depannya bersama Ayana selama lima tahun ini. Yang Ardika jaga hatinya rapat-rapat dari perempuan lain hanya untuk Ayana.

"Kamu berlebihan," bisiknya menjawab, "Aku harus kabur dulu dari jam penerbangan ke Lombok demi ketemu kamu."

Tentu sebagai lelaki Ardika merasa bangga. Di perjuangkan sebegini dalamnya. Bagi Ardika yang nol besar soal cinta. Bagi Ardika yang terlalu rumit mendefinisikan arti cinta. Dan bagi Ardika yang baru pertama kalinya jatuh cinta. Hanya kepada Ayana seorang.

"Aku kenalin sama mama papa. Mereka sering tanyain kamu."

"Oh ya?" Ayana ulangi. Rasanya belum sepenuhnya percaya.

"Mereka anggap aku belok cuma karena ngumpetin kamu. Padahal nyari waktu yang benar-benar tepat ya sekarang ini."

"Bukan karena main sama cewek lain?" Ayana meringis menahan tawa.

"Hah?!"

Eksperesi wajah Ardika sungguh menggemaskan. Mulut yang menganga, dahi berkerut-kerut dan alis tebalnya yang menyatu seperti ulat bulu. Khilaf, Ayana kecup rahang kekasihnya.

"Tiga bulan nggak ketemu, kamu makin ganteng saja."

Shit! Ardika paling lemah jika sudah di beginikan oleh Ayana. Perempuan yang dulunya sangat polos—sampai Ardika polosi pun—ratunya memporandakan hatinya. Dadanya dugun-dugun disko. Tengkuknya merinding maksimal. Gewlaaa.

***

"Jadi kapan mau nikah?"

Di todong pertanyaan macam itu, pasangan Ardika-Ayana melongo. Terutama Ayana yang hampir menjatuhkan rahangnya. Ya maksudnya ... bukan ingin menolak. Tapi, apakah tidak terlalu cepat? Ini pertemuan pertama mereka. Pertama banget dan sudah di tanyai perihal halalnya hubungan keduanya.

"Papa sudah nggak sabar mau nimang cucu."

Apa lagi ini?

Pria paruh baya yang mengenakan jas mewah dengan kaca mata bertengger di hidungnya Ayana tamatkan. Kerutan di wajahnya tidak tersamarkan meski kesan tampan masih tercetak jelas. Senyumnya menawan—ah ini mirip milik Ardika.

"Pa ..." seru Ardika protes.

"Mama nggak mau, ya kamu makin bikin rumor yang iya-iya."

Mamanya tak kalah cantik. Di usia senjanya, wanita bernama Mija Aksara sungguh pandai dalam merawat diri.

"Jangan buat Ayana bingung."

Pasangan Aksara itu tertawa. Membuat Ayana merasa di terima. Yang sejak awal menjadi ketakutannya, bisa Ayana tebas.

"Bulan depan kalau gitu. No debat, Ar. Jangan bantah mama!"

Sudah. Kalau perempuan yang sudah bersuara, memang tak bisa di tentang.

***

Orang-orang mengatakan, 'yang terlalu terburu dalam berbuka, biasanya akan cepat berakhirnya.'

Awalnya, Ardika tidak ingin memercayai hal itu. Yang sayangnya menyapa rumah tangganya. Setelah Naomi lahir, di umur belum genap satu tahun, kembali Ayana geluti aktivitasnya. Pekerjaannya sebagai pramugari tak bisa di tinggalkan sedang Ardika merasa mampu luar dalam sekedar memenuhi kebutuhan material.

Uang, mobil, rumah bahkan vila Ardika rengkuh dalam satu waktu. Tidak itu saja, aset-aset berharga dan mahal semuanya dirinya borong. Masuk ke dalam tabungan masa depannya nanti. Bisnis sebagai penerus satu-satunya waris Aksara juga berjalan lancar. Semuanya sukses secara financial.

Peliknya rumah tangga dalam pandangan Aksara hanya sekedar salam paham, selisih pendapat dan adu argumen yang bisa selesai dalam satu tarikan napas maaf. Sayangnya, kondisi rumah tangga yang dirinya bina bersama Ayana tidak semudah milik orang lain.

Sejak kembali bekerja, kepulangan Ayana bukan hal yang bisa Ardika harapkan. Perempuan itu pulang sekedar untuk berpantas saja jika masih memiliki rumah. Menengok Omi yang dalam pandangannya: 'Putriku tumbuh dengan baik.' 'Gigi kamu sudah tumbuh sayang.' 'Omi cantik.' Dan lain sebagainya yang membuat Ardika muak.

Tapi, semuak apapun Ardika pada keadaan rumah tangganya yang tidak sehat, tidak pernah terbersit niatan untuk berpaling. Apalagi mencari kehangatan lain untuk ranjangnya. Ardika tahan sampai mata kepalanya melihat fakta.

"Oh." Vokalnya sudah sangat serak ketika memergoki pemandangan di hadapannya.

"Aku bisa jelasin."

"Cukup!" sentaknya memangkas. Bagi Ardika yang tidak paham bagaimana cinta yang semestinya berjalan, mengambil jalan untuk mengakhiri jalannya. "Kita sampai sini saja. Tidak perlu memperpanjang masalah. Naomi, aku pastikan jatuh sepenuhnya di aku."

Rontaan Ayana lewat teriakan tidak Ardika pedulikan. Sudah terlanjur kecewa pun sakit hati, Ardika pikir ini yang terbaik. Sampai suara decitan ban yang bergesekan dengan aspal, pekikan terkejut dan rintihan bisikan, Ardika tulikan semua fungsi tubuhnya.

"Maaf. Maaf. Aku egois."

Hari itu awal dan akhir Ardika merasa kehilangan secara bersamaan dengan cintanya. Hari itu, cara Ardika melepaskan kebahagiaannya meski tidak ingin. Dan hari itu coretan untuk buku lembaran barunya bahwa terburu dalam bertindak, membuahkan hasil yang tidak setimpal.

Ardika percayai itu.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Emily Fauza
menarik tapi nanggung bacanya harus bayar
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status