Share

Semalam Bersama Tuan Presdir
Semalam Bersama Tuan Presdir
Penulis: Secilia Abigail Hariono

MALAM MENYAKITKAN!

MALAM MENYAKITKAN!

"Apa yang Pak Dion lakukan! Hentikan Pak! Stop, Pak! Tolong jangan melakukan ini lagi padaku! Tolong! Tolong, hentikan semua ini," teriak Aruna sambil terus berusaha melepaskan pelukan Dion.

Dengan sekuat tenaga Aruna mencoba memberontak dengan cara memukul dada bidang presiden direkturnya itu menggunakan semua kemampuan dan seluruh tenaganya, tentu saja hasilnya sia-sia. Tenaga Presdir Dion itu berkali- kali lipat lebih kuat daripadanya. Walaupun usia Dion sudah setengah baya, tapi rutinits gym yang di lakukan setiap hari membuat tubuhnya terjaga. Bahkan tak bisa di munafikkan lagi, di usia ini Dion nampak makin mempesona dengan semua pesona yang di milikinya. Dion yang sudah terlanjur tak bisa menahan diri, justru makin menjadi dan menggila saat mendapatkan perlawanan seperti itu dari Aruna.

Entah mengapa semakin Aruna berteriak maka membuat Dion makin merapatkan tubuhnya dengan menindih badan kecil Aruna dengan kuat. Bahkan sekarang dia mengunci kedua tangan Aruna ke atas. Dengan posisi tersebut membuat tubuh Aruna terpampang di hadapan Dion, memudahkannya untuk menjilati leher Aruna sambil sesekali memberikan cupangan dan kecupan ganas yang membuatnya berbekas berwarna merah kehitaman.

"Saya mohon, Pak! Hentikan! Tolong!" teriak Aruna sambil menangis, dia tak menyangka Presdirnya berubah seperti sedang kerasukan setan. Presdir yang terkenal dengan sikap dingin tiba-tiba saja mengalami gairah yang membara.

"Bapak, Pak Dion! Tolong hentikan, dengarkan! Saya bisa melakukan apapun untuk Bapak! Saya bisa bekerja dua puluh jam perhari tanpa di bayar! Saya rela menemani Pak Dion kemanapun saat kunjungan dinas tanpa banyak mengeluh! Apapun itu, Pak. Tapi tolong jangan sampai seperti ini, Pak! Ini keterlaluan," ujar Aruna sambil terus berusaha melepaskan diri. Dia berusaha menggigit lengan Dion.

"Awww!" pekik Dion terkejut saat Aruna menggigit lengannya.

Dion melihat tangannya memerah, bekas darah sekaligus lipstik Aruna. Dion tersenyum menyeringai penuh arti. Tatapannya seperti iblis. Dia tak memperdulikan rengekan Aruna itu. Dengan menggunakan satu tanga, dia mulai melepaskan jas dan hem yang dipakainya dengan sekali sentakan. Membiarkan kancingnya terlepas dan berceceran.

Saat lengah itu, Aruna mencoba memanfaatkan kesempatan dengan meloloskan diri ke bawah turun dari sofa. Berhasil, dia berusaha mencoba berlari menjauh. Sayangnya kinya tersandung karpet ruangan hotel karena terburu- buru. Dengan sigap Dion segera menangkap kaki Aruna. Membuatnya jauh terjengkang.

"Arggghhhh!" teriak Aruna kaget saat jatuh.

Kakinya terbentur lantai dengan keras, membuat Aruna benar- benar merasakan nyeri luar biasan. Dion dengan kasar langsung menggeret kaki Aruna, dia lalu menggendong tubuh mungil itu dan melemparnya ke sofa bed yang ada di kamar hotel.

"Pak Dion! Bapak! Pak sadarlah! Sadarlah Pak, ini tidak benar," teriak Aruna sambil terus menjauhkan tubuhnya dari Dion.

Melihat Aruna yang ketakutan justru membuat gairah Dion semakin meningkat. Dia langsung membungkam mulut Aruna menggunakan bibirnya, lalu mengikat kedua tangan Aruna agar tak banyak bertingkah lagi dengan satu tangannya. Tubuhnya langsung menindih badan Aruna agar tak banyak bergerak lagi.

"Hmm! Ahhh! hmm, tolong Pak! Cukup, cukup Pak Dion! Ini sungguh keterlaluan sekali! Tolong lepaskan aku! Ini telah melewati batas sebagai seorang sekretaris," teriak Aruna sambil menangis memohon belas kasih presiden direkturnya itu untuk dilepaskan.

Aruna yang terus memberontak membuat Dion semakin marah. Dalam sekejap dia langsung menyobek dress Aruna, lalu dengan kasar dia melepaskan pengait bra miliknya dengan sekali sentakan. Membuat Aruna terlihat bertelanjang di depan nya. Dion terpana melihat semuanya.

"Kau masih benar- benar suci rupanya, Aruna!" gumam Dion langsung menindihnya tanpa ampun.

Aruna mulai kehabisan tenaganya, dia tak dapat mengelak lagi sekarang. Dion terus melakukan perbuatan itu dengan imajinasinya, Aruna hanya bisa terdiam pasrah. Air matanya meleleh membasahi sofa bed hotel itu. Tubuhnya sekarang remuk redam, sakit, perih, menjadi satu. Namun rasanya tak sebanding dengan sakit hati yang harus dia rasakan. Bagaimana tidak, presiden direktur yang dilayaninya selama hampi sepuluh tahun itu, dengan tega merenggut kesucian yang selama ini dia pertahankan sebagai wujud persembahannya pada suaminya nanti.

"Arggghhhhh!!" erang Dion saat puas melepaskan syahwatnya. Tepat saat itu, Aruna kehilangan kesadarannya.

***

'Tring' bunyi HP Aruna berdering sangat keras. Dia sedang mencoba meraba-raba di mana letak HP itu, dari sumber bunyi. Aruna mencoba mengumpulkan kesadarannya.

"Argggh! Kepalaku sakit sekali," keluh Aruna sambil mengambil tas yang tergeletak di meja depan sofa. Segera dia melihat ke arah jam ternyata sudah pukul sembilan pagi.

"Halo! Aruna, kenapa belum sampai kantor?" tanya pria itu sesaat telepon tersambung.

"Halo! Siapa ini?" jawab Aruna sambil bangun dan duduk di pinggir Sofa bed ruangan. Dia sedang mecoba memulihkan kesadarannya.

"Aruna sadar! Astaga kau ini sudah gila? Kau mabuk lagi ya! Gila kau! Kau pikir hari ini hari apa, Aruna! Ini hari senin, hari terpada dalam satu minggu, kenapa kau tak berangkat bekerja? Ini sudah jam sembilan pagi, gila kau! Cepat berangkat ke kantor! Ada beberapa meeting yang harus kau buatkan schedule!" bentak pria itu.

"Arggh! Iya, Iya! Kepalaku masih pusing sekali, kenapa kau pagi- pagi sudah cerewet," gumam Aruna sambil mengumpulkan semua kesadarnnya. Sepersekian detik Aruna baru menyadari hal aneh.

"Bagaimana dengan Pak Dion semalam? Apa dia baik-baik saja? Aku sangat khawatir semalam," ujar Hendi personal asisten Dion. Hening sesaat tak ada respon dari Aruna.

"Aruna! Jawab aku, kenapa kau kok diam saja? Cepat segera berangkat ke kantor! Tak ada waktu lagi," bentak Hendi.

Aruna tetap tak menjawab, dia justru langsung mematikan telepon itu. Bentakan Hendi menyadarkan pikiran Aruna. Dia langsung menutup mulutnya, air matanya menetes, rasa jijik, marah, sedih, bercampur aduk menjadi satu. Matanya menyapu ke seluruh ruangan sampai dia mendapati seorang pria yang saat ini berbaring di samping sofa bed yang sudah di gelar, Dion Hangga Wijaya. Pria itu masih tampak begitu tenang dalam mimpinya, wajah tampan Dion itu terlihat tanpa dosa setelah memusnahkan masa depannya.

Aruna tak menyangka, jika dia memiliki kekaguman pada sosok Dion akan berubah menjadi sebuah bencana. Wanita mana yang bisa menampik pesona dan wibawa Dion? Seorang CEO besar PT HADINATA WIJAYA GROUP, perusahaan besar dengan bidang property yang memiliki wajah rupawan. Akan tetapi semua perasaan itu hilang dalam sekejap saja. Ketika Dion lelaki yang telah lama dikaguminya dalam diam itu, menorehkan luka yang mendalam.

"Awww," pekik Aruna tertahan. Kedua kaki Aruna bergetar hebat. Nyeri sekali rasanya selakangannya saat mencoba beranjak dari sofa.

"Aku harus kuat," batin Aruna sambil menutup mulutnya agar tak bersuara.

Segera Aruna berdiri sambil berpegangan pada sofa, dia memunguti pakaian yang berserakan di lantai. Aruna berjalan tertatih sambil meraba dinding, lalu segera memakainya. Tanpa pikir panjang Aruna mengambil jas milik Dion untuk menutupi bagian dress nya tas yang tampak robek karena di paksa dibuka. Aruna segera mencuci muka di wastafel dan memesan taksi online. Dia segera pergi meninggalkan hotel laknat itu.

Tak lama taksi pun datang, Aruna segera masuk ke dalam mobil. Sepanjang perjalanan Aruna mencoba mengingat semua sebelum kejadian menyakitkan. Semua bermula saat Hendi personal asisten Dion tiba-tiba menghubunginya di tengah malam. Hendi memohon kepada Aruna agar mau mendampingi Dion untuk bertemu salah satu artis yang akan menjadi bintang brand ambassador perusahaannya di sebuah klub malam. Sesampainya di klub malam itu ternyata Dion bukan bersama seorang artis itu. Dion justru sedang bersama seorang wanita yang tak di kenalnya.

"Sepertinya wanita itu mencurigakan sekali," batin Aruna dalam hati, melihat tingkah wanita itu dengan sengaja melingkarkan lengannya ke pundak Dion, terlihat Dion risih dengan beberapa kali melepaskan tangan wanita itu.

Tak kehabisan akal, wanita penggoda itu menarik Dion paksa keluar dari klub. Karena takut terjadi apa-apa dengan atasannya itu, Aruna lantas membuntuti mereka dari jauh. Mereka masuk dalam lift yang sama, Aruna segera menyadari bahwa wanita itu terus berusaha menggoda Dion. Dion beberapa kali menolak bisikan dan ajakan manja dari wanita penggoda itu, tapi dengan gigih wanita itu memaksa dan berhasil menyeret dalam kamar hotel yang mungkin sudah di pesan sebelumnya.

Aruna memandang seksama raut wajah Dion, yang tak terlihat seperti biasanya. Tidak seperti orang mabuk tetapi tampak asing bagi Aruna yang telah sepuluh tahun menjadi sekretarisnya. Dia merasa ada sesuatu yang janggal. Aruna bergegas menghentikan pintu yang hampir tertutup sempurna itu dengan kakinya. Wanita itu cukup terperanjat dengan kehadiran Aruna.

"Siapa kau berani-beraninya membawa Pak Dion ke sini! Kau suruhan siapa? Elbara? Atau Elizabeth! Hah? Perusahaan mana yang menyuruhmu dengan cara kotor dan licik seperti ini?" bentak Aruna sambil meringis menahan sakit di kaki.

"Heh siapa kau? Tak usah ikut campur!" sanggah wanita itu.

Aruna dengan keberanian yang besar segera merangsek masuk ke dalam kamar hotel. Dengan sekuat tenaga dia menarik tali baju seksi dan mendorong wanita itu keluar kamar hotel. Wanita itu langsung berdiri dan mencoba menerobos masuk lagi. Dengan gesit Aruna langsung mengunci pintu hotel, sekarang dia dan Dion berada dalam kamar.

'Dok' 'Dok' 'Dok'

"Buka kau! Iblis! Kenapa kau menghancurkan tugasku! Bangsatt! Buka!" teriak wanita itu.

Aruna tak menghiraukan ketukan pintu itu. Dia fokus pada Dion yang terlihat seperti orang sakau di pikiran Aruna hanya satu, segera menelpon Hendi agar personal asisten Dion itu bisa segera menyusul.

'Tut' 'Tut' Telpon tersambung namun Hendi tak menjawab, saat sibuk dengan telponnya tiba -tiba Dion menarik tubuh Aruna. Akhirnya terjadilah sebuah kesalahan besar yang tak semestinya mereka lakukan.

"Apakah mungkin Pak Dion memang sengaja menyewa perempuan itu? Tidak. Jika memang wanita itu snegaja di sewa harusnya Pak Dion tak menolaknya saat di club malam! Jelas sekali Pak Dion menampik tangan wanita itu. Tapi, jika aja Aruna membiarkan wanita itu melakukan yang seharusnya dilakukan tentu dia tak akan mengalami semua ini. Mengapa aku bodoh sekali bertindak seperti pahlawan kesiangan?" gumam Aruna merutuki ke konyolannya sendiri yang membuatnya menjadi sengsara.

"Mbak! Kita sudah sampai," kata sopir taksi itu.

"Oh baik! Terima kasih," ucap Aruna sambil turun dari mobil itu.

Dia segera membuka kamar kosnya. Membuang jas Dion yang di pakai menutupi dress nya bagian dada yang robek sampai bawah. Aruna mengamati semua badannya memerah bekas cupangan sisa semalam. Tubuh Aruna luruh, semalam bukanlah mimpi melainkan kenyataan. Malam laknat itu benar- benar terjadi.

Aruna melepaskan semua baju sialan itu. Dia masuk ke kamar mandi, menyalakan shower dan menikmati guyuran air yang dingin, terlintas kembali adegan panas yang menyakitkan menyayat ulu hati. Semua peristiwa semalam itu berulang-ulang layaknya video yang terekam di kepala Aruna. Aruna mendongakkan kepalanya ke atas berharap air itu dapat meluruhkan segala kenangan pahit yang terjadi padanya semalam. Aruna menangis tanpa suara, sambil memukul dadanya yang sesak, dia menjambak rambut dan menggosok tubuh dengan keras, berharap dosa menjijikkan tadi malam luruh bersama sabun dan bilasan air. Dia merasa sangat hina sekali.

Entah berapa lama dia ada dalam kamar mandi, kukunya tampak mucat dan berwarna kebiruan. Dia sebenarnya menggigil kedinginan tapi tak berniat untuk pergi. Justru Aruna memutar keran airnya semakin deras agar menutupi suara tangisnya yang mulai mengeras. Dia tak peduli lagi akan hidupnya saat ini, karena dia merasa hancur sekali. Apalagi kesuciannya dirampas paksa oleh atasannya sendiri.

"Bapak! Ibu! Maafkan Aruna! Maaf," gumam Aruna lirih saat sekelebat bayangan orang tua terlintas, ya dia sadar hidupnya bukan hanya untuk dirinya sendiri. Selama ini dia bekerja keras sebagai tulang punggung keluarga. Membayar semua tanggungan hutang orang tuanya yang dulu pernah bangkrut dalam membuka usaha. Tanpa Aruna tentulah mereka akan kesulitan untuk terus bertahan hidup.

"Apakah aku harus mati?" batin Aruna dalam hati.

Namun Aruna teringat, tinggal selangkah lagi keluarga mereka bisa mendirikan usahanya kembali. Setelah sepuluh tahun Aruna berjuang melunasi semua hutang orang tuanya. Tinggal bersabar sedikit saja, Aruna bisa kembali ke desa dan memulai semua lebih baik. Apakah dia harus menyerah dengan keadaan ini?

"Tidak! Aku tidak boleh menyerah dan tidak boleh egois! Aku harus bertahan selama ini untuk melunasi semua hutang orang tuaku, biarpun tak ada seorangpun yang mau dengan perempuan kotor dan menjijikkan sepertiku tak masalah! Aku tak perlu lelaki, aku hanya butuh Bapak dan Ibu," tekat Aruna.

'Dok' 'Dok' 'Dok' pintu kamar kos Aruna di pukul dengan keras oleh seseorang.

"Sebentar!" teriak Aruna.

"Siapa yang datang ke kos ku ya? Apakah Hendi? Rasa nya aku tak ingin bekerja hari ini," gumam Aruna sendiri. Aruna segera berpakaian dan membuka pintu kosnya.

"Keluar atau aku dobrak sekarang juga!" bentak suara itu.

Aruna yang hendak membuka pintu kamar kos nya seketika terdiam mematung dan kaku. Dia meneguk ludahnya dengan kasar. Suara itu sangat di kenalnya. Dia bukan Hendi, Namun mengapa lelaki itu bisa sampai nekat ke sini.

"Astaga bagaimana ini?" kata Aruna dalam hati saat dia mendengar Dion datang dan berteriak di depan kamar kosnya.

Untung saja hari ini senin, semua penghuni kos bekerja. Namun di sisi lain, karena tempat kos itu sepi, Aruna sangat takut seki untuk menghadapi pria Itu. Dia mencoba menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. Berusaha meyakinkan diri sendiri bahwa semua akan baik-baik saja. 'Dok' 'Dok' gebrakan kedua pintu itu membuat Aruna terlonjak ke belakang sangking kagetnya.

"Jangan takut Aruna! Kau kuat! Tak apa-apa, Aruna! Kau pasti bisa, kau tak perlu takut di luar ada CCTV kos," batin Aruna dalam hati sebelum membuka handle kenop pintu kamarnya.

"I- iya Pak ,"kata Aruna terbata-bata.

Ketika Aruna mendongakkan kepalanya, sorot mata tajam Dion itu mengingatkan kejadian tadi malam. Sontak Aruna langsung menundukkan kepalanya. Tubuhnya bergetar hebat dan langsung melangkah ke belakang mencari pertahanan diri. Tangannya mencoba menggapai dinding dingin kamar kosnya.

"Kenapa kau bisa ada di kamar hotelku semalam?" tanya Dion dengan nada mengintimidasi, dia bertanya sambil berjalan maju mendekati Aruna merangsek masuk ke dalam kos Aruna.

"Apa yang kau lakukan di sini semalam bersamaku? Apa yang sebenarnya terjadi? Hah?"

BERSAMBUNG

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Helmy Rafisqy Pambudi
setengah baya Brati usia 40 keatas ya Lom menikah Mash jomblo ya Thor..BPK n kakek msh hidup
goodnovel comment avatar
Evano Hariono
next author
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status